Quantcast
Channel: Yusuf Abu Ubaidah Official
Viewing all 136 articles
Browse latest View live

NORMA-NORMA PENTING SEBELUM MENJATUHKAN VONIS KAFIR

$
0
0

NORMA-NORMA PENTING

SEBELUM MENJATUHKAN VONIS KAFIR

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Setiap muslim sampai yang awwam sekali pun, insya Allah mengerti bahwa membunuh merupakan salah satu perbuatan dosa besar yang dilarang dalam agama Islam. Namun, bagaimana halnya jika ada orang ahli ibadah yang meyakini bahwa membunuh kaum muslimin, merampok harta mereka dan menodai kehormatan wanita muslimah, termasuk satu bentuk ibadah yang paling agung? Di bawah ini, kami membawakan dua contoh nyata yang terjadi di zaman dahulu kala dan di zaman ini, yang menggambarkan adanya jenis tipe manusia di atas:

  1. Suatu hari Imran bin Hithan, ulama sekte Khawarij, bersyair memuji Ibnu Muljam1, pembunuh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a~:

يَا ضَرْبَةً مِنْ تَقِيِّ مَا أَرَادَ بِهَا

إِلاَّ لِيْبْلُغَ مِنْ ذِيْ الْعَرْشِ رِضْوَاناَ

إِنِّيْ لأَذْكُرُهُ يَوْمًا فَأَحْسِبُهُ

أَوْفَى الْبَرِيَّةِ عِنْدَ اللهِ مِيْزَانَا

Alangkah mulianya sabetan pedang orang yang bertakwa (Ibnu Muljam).

Dia tidak memiliki tujuan, selain menggapai ridho Allah Ta’ala.

Setiap aku teringat dirinya, aku selalu berharap

Bahwa dialah yang paling berat timbangan amal kebaikan di sisi Allah Ta’ala.2

  1. Para pelaku pengeboman yang belakangan ini cukup marak di berbagai penjuru dunia, dan banyak kaum muslimin yang menjadi korban tindak pengeboman tersebut. Apakah ketika mereka menjalankan tindak kriminal itu, mereka menganggapnya sebagai perbuatan dosa? Atau justru sebuah ibadah mulia yang diyakini akan mengantar pelakunya ke derajat paling tinggi di surga bersama para syuhada?!

Mengapa mereka meyakini tindak kejahatan itu sebagai amal shalih? Apakah seluruhnya itu dilakukan tanpa adanya latar belakang ideologi tertentu? Ideologi rusak yang mendalangi tindak kejahatan di atas itulah, yang sedang kita soroti pada pembahasan kali ini. Ya, ideologi itu adalah: “ideologi asal vonis kafir”! Dalang utama di balik kejahatan yang marak belakangan ini.

Tidak diragukan lagi bahwa takfir (penjatuhan vonis kafir) merupakan istilah syar’i, namun amat disayangkan, tidak sedikit oknum yang memanfaatkannya untuk mewujudkan niat-niat buruk mereka. Maka istilah tersebut harus dijelaskan dengan gamblang, beserta kaidah-kaidahnya. Selain itu, ideologi yang keliru tentangnya harus diluruskan juga.

Api hura-hura yang diakibatkan ideologi ini harus segera dipadamkan. Caranya: dengan menemukan sumber api tersebut, yaitu: “ideologi asal vonis kafir”, lalu memadamkannya terlebih dahulu sebelum menyibukkan diri dengan solusi-solusi lain.

Namun, meluruskan sebuah ideologi atau pemikiran yang menyimpang, bukan suatu pekerjaan yang mudah! Karena para pengusungnya telah menganggapnya sebagai ruh jiwa dan jalan hidup. Kita harus bisa membuat pengusungnya sadar dan bisa menerima dengan legowo bahwa ideologi yang sedang dia anut adalah keliru. Dan hal itu, dengan izin Allah Ta’ala, hanya bisa dihadapi dengan menggunakan ilmu yang murni dan benar, yang disampaikan dengan cara yang santun.3

Maka sepantasnya bagi kita untuk mempelajari norma-norma takfir agar kita tidak gegabah menvonis saudara kita kafir padahal akan menjadi boomerang bagi kita sendiri, sebab tidak sepantasnya seorang berkecimpung dalam masalah takfir sebelum dia memahami kaidah-kaidahnya. Jika bila tidak memahaminya, maka dia akan terjatuh dalam kehancuran dan dosa serta mendapatkan kemurkaan Allah. Hal itu karena pengkafiran adalah masalah besar dalam agama dan masalah yang sangat jeli, tidak mampu menerapkannya kecuali orang yang memiliki ilmu luas dan pemahaman yang tajam. Berikut ini beberapa kaidah-kaidah penting dalam masalah takfir:

A.Pengkafiran Adalah Hukum Syar’i dan Hak Allah

Takfir adalah hukum syar’i dan hak Allah, bukan hak suatu lembaga atau kelompok, bukan berdasar pada akal, perasaan, emosi, atau permusuhan, maka tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v~ berkata:

Hal ini berbeda dengan ucapan sebagian manusia seperti Abu Ishaq al-Isfirayini dan pengikutnya yang mengatakan: “Kita tidak mengkafirkan kecuali orang yang mengkafirkan kita.” Sebab, pengkafiran bukanlah hak mereka, melainkan hak Allah. Tidak boleh bagi manusia untuk membalas berdusta kepada orang yang pernah berdusta padanya, atau melakukan zina kepada istri orang yang berzina dengan istrinya, bahkan seandainya ada seorang yang memaksanya untuk homoseks maka tidak boleh baginya untuk membalasnya dengan paksaan untuk homoseks, karena semua itu adalah haram disebabkan hak Allah. Demikian juga seandainya orang-orang Nasrani mencela Nabi kita n~ maka tidak boleh bagi kita untuk mencela Isa al-Masih p~, dan kaum Rafidhah apabila mengkafirkan sahabat Abu Bakar dan Umar, maka tidak boleh bagi kita untuk mengkafirkan Ali.1

Al-Qarrafi berkata: “Sesuatu itu disebut kufur bukanlah berdasarkan logika melainkan berdasarkan syari’at, kalau syari’at mengatakan bahwa hal itu adalah kekufuran maka itu adalah kekufuran.” 2

Ibnul Wazir v~ berkata: “Sesungguhnya takfir itu berdasarkan dalil saja, tidak ada ruang untuk akal, dan dalilnya pun harus dalil yang pasti dan tidak ada perselisihan di dalamnya.” 3

Ibnul Qayyim v~ berkata dalam Nuniyah-nya:

الْكُفْرُ حَقُّ اللهِ ثُمَّ رَسُوْلِهُ

بِالشَّرْعِ يَثْبُتُ لَا بِقَوْلِ فُلَانِ

مَنْ كَانَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ وَعَبْدُهُ

قَدْ كَفَّرَاهُ فَذَاكَ ذُوْ الْكُفْرَانِ

Pengkafiran itu adalah hak Allah kemudian rasul-Nya

Yang ditetapkan dengan nash bukan dengan ucapan fulan

Siapakah yang dikafirkan oleh Rabb semesta alam dan rasul-Nya

Maka dialah orang yang kafir.4

B.Pada Asalnya Seorang Muslim Tetap Dalam Keislamannya

Ini kaidah penting yang harus dipahami, yaitu hukum asal seorang muslim adalah tetap dalam keislamannya sehingga ada dalil kuat yang mengeluarkannya dari keislaman. Tidak boleh bagi kita untuk gegabah dalam mengkafirkannya karena hal itu membawa dua dampak negatif yang sangat berbahaya:

    • Pertama: Membuat kedustaan atas Allah dalam hukum kafir kepada orang yang dia kafirkan.
    • Kedua: Terjatuh dalam ancaman kafir kalau ternyata yang dia kafirkan tidak kafir, sebagaimana dalam hadits: “Apabila seorang mengkafirkan saudaranya maka akan kembali kepada salah satu­nya.”

Oleh karena itu, seharusnya sebelum menghukumi seorang muslim dengan kekafiran hendaknya memperhatikan dua hal penting:

    • Pertama: Adanya dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menetapkan bahwa ucapan dan perbuatan tersebut merupakan kekufuran.
    • Kedua: Hukum tersebut betul-betul terpenuhi pada pelontar atau pelaku tersebut, dalam artian telah terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang-penghalangnya.5

Sesungguhnya kita hanya menghukumi secara zhahir saja baik dalam hukum atau keyakinan orang lain. Nabi Muhammad n~ yang mendapatkan wahyu, beliau menerapkan hukum zhahir pada orang-orang munafik.6

Orang-orang munafik secara zhahir shalat, puasa, haji, perang, nikah, dan saling mewarisi dengan kaum muslimin pada zaman Nabi n~, sekalipun demikian beliau tidak menghukumi orang-orang munafik dengan hukum orang kafir, bahkan tatkala Abdullah bin Ubai—tokoh munafik yang paling terkenal—meninggal dunia, Rasulullah n~ memberikan hak waris kepada anaknya yang notabene termasuk seorang sahabat sejati. Maka hukum Nabi n~ dalam masalah darah dan harta mereka sama seperti muslimin lainnya, beliau tidak menghalalkan harta dan darah mereka kecuali dengan perkara yang zhahir (tampak), padahal beliau mengetahui kemunafikan kebanyakan orang-orang munafik tersebut.7

Dalil yang sangat jelas tentang hal ini adalah hadits Usamah a~sebagai berikut:

بَعَثَنَا رَسُولُ اللهِ n فِي سَرِيَّةٍ فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا فَقَالَ لَا إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ. فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِى مِنْ ذٰلِكَ فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِىِّ n فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: « أَقَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَقَتَلْتَهُ ». قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ. قَالَ: « أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا ». فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَىَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّى أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ

Pernah Rasulullah n~ mengutus kami dalam peperangan kecil, lalu pagi-pagi kami mendatangi huruqat sebuah tempat kaum Juhainah, dan saya mengejar seorang lelaki, tapi dia mengatakan: “La Ilaha illa Allah.” Aku membunuhnya, hati tidak enak dengan hal itu maka aku tanyakan kepada Rasulullah n~, beliau bersabda: “Apakah setelah dia mengatakan La Ilaha illa Allah kamu membunuh­nya?!” Saya berkata: “Ya Rasulullah, dia mengatakannya karena takut pedang.” Beliau menjawab: “Kenapa engkau tidak membelah hatinya saja agar kamu tahu apakah benar dia mengatakannya karena takut ataukah tidak.” Beliau terus-menerus mengulang ucapan tersebut sehingga saya berangan-angan seandainya baru masuk Islam saat itu.8

Imam Nawawi v~ berkata:

Makna hadits ini kamu hanya dibebani dengan amalan yang tampak saja dan apa yang diucapkan oleh lisan. Adapun apa yang di dalam hati, maka kamu tidak mungkin mengetahuinya. Nabi n~ mengingkari Usamah tatkala dia tidak menerapkan hukum zhahir ini …. Dalam hadits ini terdapat kaidah yang terkenal dalam fiqih dan ushul bahwa “Hukum itu berdasarkan yang tampak saja, Allah yang mengurusi urusan hati”.9

C.Tidak Dikafirkan Kecuali yang Disepakati Ahlu Sunnah Kekafirannya

Berkata Imam Ibnu Abdil Barr v~:

Setiap orang yang telah tetap keislamannya dengan kesepakatan kaum muslimin, lalu dia melakukan suatu dosa sehingga mereka diperselisihkan tentang kekafiran mereka, perselisihan ini (tentang kafirnya) setelah kesepakatan mereka (tentang keislaman mereka) tidak memiliki arti yang bisa menjadikannya hujjah. Seorang tidak keluar dari keislaman yang disepakati kecuali dengan kesepakatan juga atau sunnah shahihah yang tidak ada penentangnya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah—ahli fiqih dan ahli hadits—telah bersepakat bahwa seorang yang melakukan dosa—sekalipun dosa besar—tidak keluar dari agama Islam, sekalipun ahli bid’ah menyelisihi mereka dalam hal ini. Maka sewajibnya untuk tidak mengkafirkan kecuali yang disepakati oleh semuanya tentang kekafiran mereka atau adanya dalil paten dari al-Qur’an dan sunnah tentang kekafirannya.10

Ibnu Bathal v~ berkata:

Kalau ada perselisihan dalam hal itu—kafirnya Khawarij—maka tidak bisa dipastikan keluarnya mereka dari Islam, karena orang yang sudah jelas keislamannya dengan yakin maka tidak keluar dari Islam kecuali dengan yakin juga.11

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab v~ berkata: “Kita tidak mengkafirkan kecuali apa yang disepakati oleh ulama semuanya.” 12

D.Wajibnya Menegakkan Hujjah Kepada yang Dikafirkan

Banyak sekali dalil yang mendasari hal ini yaitu bahwa seorang muslim tidaklah kafir dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan kecuali setelah tegaknya hujjah padanya dan dihilangkannya segala kerancuan yang melekat pada dirinya. Allah q~ berfirman:

… وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًۭا ﴿١٥﴾

Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. al-Isra’: 15)

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ﴿١١٥﴾

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisa’: 115)

Dan masih banyak lagi ayat dan hadits lainnya yang menunjukkan secara jelas bahwa Allah q~ tidak menyiksa seorang pun kecuali setelah ditegakkan hujjah dan dihilangkan kerancuannya, sehingga jelas baginya jalan petunjuk dan jalan kesesatan.

Imam Bukhari v~ berkata: “Bab memerangi khawarij dan para penyeleweng setelah ditegakkan hujjah atas mereka.” Firman Allah q~:

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًۢا بَعْدَ إِذْ هَدَىٰهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ ﴿١١٥﴾

Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. at-Taubah: 115)

Al-’Aini v~ berkata:

Imam Bukhari mengisyaratkan dengan ayat yang mulia ini bahwa memerangi khawarij dan penyeleweng tidak wajib kecuali setelah tegaknya hujjah pada mereka dan menampakkan kebatilan dalil-dalil mereka. Dalilnya adalah ayat ini, di mana ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak menyiksa hamba-Nya sehingga menjelaskan kepada mereka apa yang harus mereka kerjakan dan apa yang harus mereka tinggalkan.13

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v~ berkata:

Adapun takfir (menganggap kafir), ini termasuk ancaman yang keras. Memang barangkali seseorang melakukan perbuatan kufur, tetapi pelakunya bisa jadi baru masuk Islam, atau hidup di perkampungan yang jauh dari agama, maka orang seperti ini tidak dapat dikafirkan sehingga tegak hujjah atasnya, atau bisa jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash, atau mendengarnya tetapi masih rancu, maka orang seperti ini sama seperti yang di atas, sekalipun dia salah.

Dan seringkali aku mengingatkan saudara-saudaraku dengan hadits Bukhari-Muslim tentang seorang yang mengatakan: “Jika aku telah meninggal maka bakarlah aku, kemudian tumbuklah halus-halus, lalu buanglah ke lautan. Kalau memang Allah q~ membangkitkanku, maka Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak pernah ada di alam ini.” Akhirnya mereka pun melaksanakan wasiat tersebut. Tatkala Allah q~ membangkitkannya, Allah q~ bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu melakukan ini?” Jawabnya: “Aku takut kepada-Mu.” Lantas Allah mengampuninya.14

Lihatlah orang ini, yang ragu akan kemampuan Allah dan kebangkitan manusia setelah mati bahkan ia meyakini bahwa dia tidak akan dibangkitkan, jelas ini merupakan kekufuran dengan kesepakatan kaum muslimin, tapi dia jahil atau bodoh, tidak mengetahui hal itu dan dia takut siksaan Allah q~, maka Allah pun mengampuninya.15

E.Harus Dibedakan Antara Pengkafiran Secara Umum dan Secara Individu

Pengkafiran secara umum adalah menghukumi suatu perkataan atau perbuatan dengan kekufuran dan menghukumi pelakunya dengan kufur secara umum tanpa vonis individu orang, seperti mengatakan: “Barang siapa mengatakan al-Qur’an makhluk maka kafir.”

Adapun pengkafiran secara khusus adalah menghukumi seseorang yang mengatakan atau melakukan kekufuran dengan kafir, seperti mengatakan: “Si fulan (nama orang tertentu, Edt.) yang mengatakan al-Qur’an makhluk adalah kafir.”

Termasuk kaidah dalam takfir adalah membedakan antara takfir secara umum dan takfir secara khusus karena tidak semua orang yang mengatakan atau melakukan kafir pasti dia kafir disebabkan adanya beberapa penghalang atau tidak terpenuhinya beberapa syarat pada dirinya, seperti kalau dia baru masuk Islam atau tidak mengerti hukumnya dan lain sebagainya.16

Di antara dalil yang membuktikan kaidah ini adalah kisah Muadz bin Jabal a~ tatkala ada beberapa gadis kecil yang menabuh rebana dan mengingat ayah-ayah mereka yang meninggal pada Perang Badar, tiba-tiba ada seorang di antara mereka mengatakan: “Di tengah-tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.” Mendengar hal itu, maka Nabi n~ bersabda: “Tinggalkanlah ini, katakanlah yang lain saja seperti tadi.” 17

Perhatikanlah hadits ini, Nabi n~ tidak mengkafirkan gadis tersebut karena kejahilannya, beliau hanya melarangnya saja, padahal kita tahu semua bahwa mengatakan akan adanya selain Allah yang mengetahui ilmu ghaib adalah suatu kekufuran.18

Sungguh, ini kaidah yang amat sangat penting, banyak orang tidak memahaminya, sehingga tak aneh kalau mereka terjatuh dalam kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v~ berkata:

Barang siapa yang tidak memperhatikan perbedaan antara mengkafirkan secara umum dan ta’yin (vonis perorangan) niscaya dia akan jatuh dalam banyak ketimpangan, dia menyangka bahwa ucapan salaf: “Barang siapa yang mengatakan seperti ini kafir” atau “Barang siapa yang melakukan ini maka kafir” mencakup semua orang yang mengatakannya tanpa dia renungi terlebih dahulu, sebab mengkafirkan itu memiliki syarat-syarat dan penghalang pada hukum perorangan, jadi mengkafirkan secara umum tidak mengharuskan mengkafirkan secara individu orang kecuali apabila terpenuhi persyaratannya dan hilang segala penghalangnya.19

Barang siapa yang memperhatikan sirah ulama salaf, niscaya dia akan mengetahui kebenaran kaidah ini dan mengetahui bahwa mereka di atas kebenaran. Dan sungguh menakjubkanku ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v~:

Saya sering mengatakan kepada kaum Jahmiyyah dari Hululiyyah yang mengingkari ketinggian Allah q~ di atas langit: “Saya kalau menyetujui kalian, maka saya kafir karena saya mengetahui bahwa pendapat kalian ini adalah kekufuran, sedangkan kalian menurutku tidak kafir karena kalian adalah orang-orang bodoh.” 20

 

1 Minhaj Sunnah 5/244

2 Tahdzib al-Furuq 4/158

3 Al-Awashim wal Qawashim 4/178

4 Syarh Qashidah Nuniyah 2/412 oleh Syaikh Dr. Muhammad Khalil Harras

5 Al-Qawa’id al-Mutsla fi Shifatillah wa Asmaihi Husna hlm. 87–89 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin

6 Al-Muwafaqat 2/271 oleh asy-Syathibi

7 Al-Iman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hlm. 198–201

8 HR. Bukhari: 4269 dan Muslim: 159

9 Syarh Muslim 2/104

10 At-Tamhid 17/21

11 Fathul Bari 12/314

12 Ad-Durar Saniyyah 1/70

13 Umdatul Qari 24/84

14 HR. Bukhari: 6481 dan Muslim: 2756

15 Majmu’ Fatawa 3/229–231

16 Lihat secara luas dalam Dhawabith Takfir al-Mu’ayyan oleh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin.

17 HR. Bukhari: 5147

18 Lihat Ahkamul Qur’an 2/259 oleh Ibnul Arabi

19 Majmu’ Fatawa 12/489

20 Ar-Radd ’ala al-Bakri hlm. 47

21 Lihat al-Qawa’id wal Ushul Jami’ah karya as-Sa’di hlm. 33–35, Syarh Qawa’id as-Sa’diyyah karya Syaikh Abdul Muhsin az-Zamil hlm. 85–89, Syarh Mandhumah Qawa’id Fiqhiyyah karya Dr. Abdul Aziz al-’Uwaid hlm. 235–237.

 

Related posts:

  1. Pelajaran Penting dalam Khutbah Hajah Nabi

Ensiklopedi Amalan Setiap Bulan Shofar

$
0
0

BULAN SHOFAR

Tidak ada keutamaan khusus dari Nabi tentang bulan ini. Al-Allamah Shiddiq Hasan Khon berkata: “Saya tidak mendapati adanya hadits tentang keutamaan bulan Shofar atau celaan padanya”. [61]

Yang beliau maksud adalah hadits yang shohih, adapun hadits yang tidak shohih maka diriwayatkan bahwa Nabi bersabda:


مَنْ بَشَّرَنِيْ بِخُرُوْجِ صَفَرٍ بَشَّرْتُهُ بِدُخُوْلِ الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang mengkhabarkan padaku dengan keluarnya bulan shofar maka saya akan memberi kabar gembira padanya untuk masuk surga.

Hadits ini adalah maudhu’ seperti ditegaskan oleh al-Iraqi[62]. Apalagi matan hadits ini mengisyaratkan adanya “kesialan” dengan bulan shafar yang telah dibatalkan oleh Islam. Maka hadits ini adalah lemah, ditinjau dari segi sanad dan matan. Wallahu A’lam.[63]

Tidak ada nukilan khusus dari Nabi tentang amalan di bulan shofar, hanya saja ada beberapa khurafat dan keyakinan yang masih bercokol di masyarakat padahal pada dasarnya itu adalah keyakinan jahiliyyah yang telah dibatalkan oleh Islam, di antaranya:

  1. Merasa Sial Dengan Bulan Shofar


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

 عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak ada penyakit menular dan thiyarah (merasa sial dengan burung dan sejenisnya), dan hamah (burung gagak) dan Shofar.[64]

Yang menarik perhatian kita dari hadits ini adalah sabda Nabi: “Dan shofar”. Sebagian ulama al-Hafizh Ibnu Rojab[65] dan Syaikh Ibnu Utsaimin[66] menguatkan bahwa maksudnya adalah bulan Shofar. Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya (3915) dari Muhammad bin Rasyid berkata:


سَمِعْتُ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ يَسْتَشْئِمُونَ بِصَفَرٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَفَرَ

Saya pernah mendengar bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu merasa sial dengan bulan shofar maka Nabi bersabda (membatalkan keyakinan tersebut): “Tidak ada shofar”.

            Syaikh Sulaiman bin Abdullah berkata: “Kebanyakan orang-orang jahil merasa sial dengan bulan shofar dan kadang mereka melarang bepergian pada bulan tersebut. Tidak ragu lagi bahwa hal ini termasuk thiyaroh (merasa sial) yang dilarang dalam agama. Demikian pula merasa sial dengan suatu hari seperti hari rabu. Dahulu orang-orang jahiliyyah juga merasa sial untuk mengadakan acara pernikahan di bulan Syawal”.[67]

  1. Acara Rebo Wekasan

Rebo wekasan diambil dari bahasa jawa. Rebo artinya hari rabu dan wekasan artinya terakhir. Adapun yang dimaksud di sini adalah acara ritual yang biasa dilakukan sebagian masyarakat pada hari rabu akhir bulan shofar karena menurut persepsi mereka saat itu adalah saat petaka. Acaranya adalah sholat empat rakaat, setiap rakaat membacasuratal-Fatihah satu kali,suratal-Kautsar tujuh belas kali,suratal-Ikhlaslimabelas kali,suratal-Falaq dan an-Nas dua kali kemudian membaca doa bikinan mereka yang berisi kesyirikan dan kesesatan. Demikian juga mereka berkumpul-kumpul di masjid menunggu rajah-rajah bikinan kyai mereka lalu menaruhnya di gelas dan meminumnya. Tidak hanya di situ, mereka juga mengadakan perayaan makan-makan lalu berjalan di rumput-rumput dengan keyakinan agar sembuh dari segala penyakit.

Tidak ragu lagi bahwa semua itu termasuk ritual jahiliyyah yang meruyak disebabkan kejahilan terhadap agama, lemahnya tauhid, suburnya ahli bid’ah dan penyesat umat serta minimnya para penyeru tauhid. [68]

Bila kita cermati dua khurofat di atas, niscaya akan kita dapati keduanya kembali pada masalah Tathoyyur yaitu merasa sial dengan burung atau lainnya yang hal ini termasuk kategori perkara jahiliyyah yang dibatalkan Islam. Perlu diketahui bahwa khurafat ini sampai sekarang masih bercokol di sebagian masyarakat. Sebagai contoh, sebagian masyarakat masih meyakini bila ada burung gagak melintas di atas maka itu pertanda akan ada orang mati, bila burung hantu berbunyi pertanda ada pencuri, bila mau beergian lalu di jalan dia menemui ular menyebrang maka pertanda kesialan sehingga perjalanan harus diurungkan.

Demikian pula ada yang merasa sial dengan bulan Dzulqo’dah (selo; jawa) dan bulan Muharram (suro: jawa), hari jum’at keliwon, ada juga yang merasa sial dengan angka seperti angka 13 dan sebagainya. [69]

Sebaliknya, hendaknya kita bertawakkal yakni menyerahkan segala urusan sepenuhnya kepada Allah, karena salah satu hikmah di balik peniadaan Nabi terhadap khurafat-lhurafat jahiliyyah dalam hadits ini adalah agar seorang muslim benar-benar bertawakkal bulat kepada Allah tanpa melirik kepada selainNya. Kalau sekirannya dia bimbang dalam melangkah, maka hendaknya dia melakukan shalat istikharah, berdoa kepada Allah dan bermusyawarah kepada orang-orang yang berpengalaman. Dengan demikian insyallah dia akan melangkah dengan penuh optimis diri.

Artikel: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar bin Munthohir as-Sidawi

http://abiubaidah.com/

Footnote:_______________________________________

[61] Al-Mauidhoh al-Hasanah hlm. 180.

[62] Lihat al-Fawaid al-Majmu’ah asy-Syaukani hlm. 438.

[63] Bida’ wa Akhtho’ Tata’allaqu bil Ayyam wa Syhuhur, Ahmad as-Sulami hlm. 251-252.

[64] HR. Bukhori 5757 dan Muslim: 2220.

[65] Lathoiful Ma’arif hlm. 74

[66] Al-Qoulul Mufid 2/82.

[67] Taisir Aziz Hamid hlm. 380.

[68] Lihat Tahdzirul Muslimin ‘anil Ibtida’ fi Din, Ibnu Hajar Alu Abu Thomi, hlm. 281, Ishlahul Masajid al-Qosimi hlm. 116, al-Bida’ al-Hauliyyah at-Tuwaijiri hlm. 126-132.

[69] Lihat secara lebih luas masalah ini dalam risalah Ath-Tathoyyur oleh Syaikh Ibrahim al-Hamd.

Related posts:

  1. ENSIKLOPEDI AMALAN SETIAP BULAN MUHARROM
  2. ENSIKLOPEDI AMALAN BULAN SYA’BAN
  3. ENSIKLOPEDI AMALAN BULAN ROJAB

ENSIKLOPEDI AMALAN BULAN SYAWAL

$
0
0

BULAN SYAWAL

Termasuk rahmat Allah kepada para hambaNya, Dia menjadikan amalan sunnah pada setiap jenis amalan wajib, seperti shalat, ada yang wajib ada yang sunnah, demikian pula puasa, shodaqoh, haji dan lain sebagainya.

Ketahuilah wahai saudaraku seiman –semoga Allah merahamtimu- bahwa adanya amalan-amalan sunnah tersebut memiliki beberapa faedah bagi umat manusia:

  1. Menyempurnakan kekurangan pada amalan wajib, sebab bagaimanapun seorang telah berusaha agar ibadah wajibnya sempurna semaksimal mungkin namun tidak luput dari kekurangan. Di sinilah peran amalan sunnah untuk menutup lubang-lubang tersebut.
  2. Menambah pahala disebabkan bertambahnya amal shaleh
  3. Menggapai kecintaan Allah
  4. Menambah keimanan seorang hamba
  5. Menambah kuatnya hubungan seorang hamba dengan Robbnya
  6. Merupakanmedanuntuk berlomba-lomba dalam ketaatan
  7. Mendorong hamba dalam melakukan  amalan wajib, sebab sepertinya mustahil kalau ada seorang yang rajin mengamalkan perkara sunnah tetapi mengabaikan amal yang wajib
  8. Pembuka  amalan wajib
  9. Penutup pintu bid’ah dalam agama
  10. Mencontoh Nabi dan para salaf shalih.[194]

       Diantara amalan sunnah tersebut adalah puasa syawwal. Berikut ini beberapa pembahasan tentang puasa syawal. Semoga bermanfaat.

1. Disyari’atkannya Puasa Enam Hari Pada Bulan Syawwal

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadits, di antaranya hadits Abu Ayyub dan Tsauban berikut:

عَنْ أبِي أَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِيِّ  أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ n قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَ أَْتبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَهْرِ

Dari Abu Ayyub al-Anshari a/ bahwasanya Rasulullah n/ bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari bulan Syawwal, maka dia seperti berpuasa satu tahun penuh.”[195]

عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ n عَنْ رَسُوْلِ اللهِ n أَنَّهُ قَالَ: مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَنَّةِ. مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشَرُ أَمْثَالِهَا

Dari Tsauban, budak Rasulullah n/, bahwasanya beliau n/ bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fithri, maka seperti telah berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.”[196]

Puasa enam hari bulan syawwal hukumnya sunnah, baik bagi kaum pria maupun wanita. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka’b al-Akhbar, Sya’bi, Thawus, Maimun bin Mihran, Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hanbal dan Syafi’i.[197]

Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya mengenai sunnahnya puasa enam hari bulan Syawwal.”[198]

Ibnu Hubairah berkata: “Mereka bersepakat tentang sunnahnya puasa enam hari Syawal kecuali Abu Hanifah dan Malik yang mengatakan bahwa hal itu dibenci dan tidak disunnahkan”.[199]

Alangkah bagusnya ucapan Al-Allamah al-Mubarakfuri: “Pendapat yang menyatakan dibencinya puasa enam hari Syawwal merupakan pendapat yang bathil dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih. Oleh karena itu, mayoritas ulama Hanafiyah berpendapat tidak mengapa seorang berpuasa enam hari Syawwal tersebut. Ibnu Humam berkata[200]: “Puasa enam hari Syawwal menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf makruh (dibenci) tetapi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu tidak mengapa”.[201]

2. Keutamaan puasa enam hari Syawwal.

                 Yaitu dihitung seperti puasa setahun penuh, karena satu kebaikan berkelipatan sepuluh. Satu bulan 30 hari x 10 = 10 bulan, dan enam hari 6 x 10 = 2 bulan. Jadi, jumlah seluruhnya 12 bulan = 1 tahun. Hal ini sangat jelas dalam riwayat Tsauban.

                 Namun hal ini bukan berarti dibolehkan atau disunnahkan puasa dahr (setahun) sebagaimana anggapan sebagian kalangan, karena beberapa sebab:

     Pertama: Maksud perumpamaan Nabi di atas adalah sebagai anjuran dan penjelasan tentang keutamaannya, bukan untuk membolehkan puasa dahr (setahun) yang jelas hukumnya haram dan memberatkan diri, apalagi dalam setahun seorang akan berbenturan dengan hari-hari terlarang untuk puasa seperti hari raya dan hari tasyriq.

     Kedua: Nabi telah melarang puasa dahr. Kalau demikian, lantas mungkinkah kemudian hal itu dinilai sebagai puasa yang dianjurkan?!

     Ketiga: Nabi bersabda: “Sebaik-baik puasa adalah puasa Dawud, beliau sehari puasa dan sehari berbuka”. Hadits ini sangat jelas sekali menunjukkan bahwa puasa Dawud lebih utama daripada puasa dahr sekalipun hal itu lebih banyak amalnya.[202]

3. Beberapa Faedah Puasa Syawal

Membiasakan puasa setelah ramadhan memiliki beberapa faedah yang cukup banyak, diantaranya:

  1. Puasa enam hari syawal setelah ramadhan berarti meraih pahala puasa setahun penuh
  2. Puasa syawal dan sya’ban seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu, untuk sebagai penyempurna kekurangan yang terdapat dalam fardhu
  3. Puasa syawal setelah ramadhan merupakan tanda bahwa Allah menerima puasa ramadhannya, sebab Allah apabila menerima amal seorang hamba maka Dia akan memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan shalih setelahnya
  4. Puasa syawal merupakan ungkapan syukur setelah Allah mengampuni dosanya dengan puasa ramadhan
  5. Puasa syawwal merupakan tanda keteguhannya dalam beramal shalih, karena amal shalih tidaklah terputus dengan selesainya ramadhan tetapi terus berlangusng selagi hamba masih hidup.[203]

4. Haruskah berturut-turut setelah Idul Fithri?!

Ash-Shon’ani berkata: “Ketahuilah bahwa pahala puasa ini bisa didapatkan bagi orang yang berpuasa secara berpisah atau berturut-turut, dan bagi yang berpuasa langsung setelah hari raya atau di tengah-tengah bulan”.[204]

An-Nawawi berkata: “Afdhalnya, berpuasa enam hari berturut turut langsung setelah Idhul Fithri. Namun jika seseorang berpuasa Syawwal tersebut dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, dia masih mendapatkan keutamaan puasa Syawwal, berdasarkan konteks hadits ini.”[205] Yakni keumuman sabda Nabi “enam hari bulan syawal”.[206]

Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah maupun di akhir bulan Syawwal. Namun, yang lebih utama adalah bersegera melakukan puasa Syawwal karena beberapa sebab:

Pertama: Bersegera dalam beramal shalih

Kedua: Agar tidak terhambat oleh halangan dan godaan syetan sehingga menjadikannya tidak berpuasa

Ketiga: Manusia tidak tahu kapan malaikat maut  menjemputnya.

Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui kesalahan keyakinan sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa puasa sunnah syawwal harus pada hari kedua setelah hari raya, bila tidak maka sia-sia puasanya!!

5. Bila Masih Punya Tanggungan Puasa Ramadhan

            Apabila seorang ingin berpuasa Syawwal tetapi dia masih memiliki tangungan puasa ramadhan, bagaimana hukumnya?!

            Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, kemudian dia memulai puasa enam syawal, maka dia tidak mendapatkan keutamaan pahala orang yang puasa ramadhan dan mengirinya dengan enam syawal, sebab dia belum menyempurnakan puasa ramadhan”.[207]

            Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin berkata: “Puasa enam syawal berkaitan dengan ramadhan, dan tidak dilakukan kecuali setelah melunasi tanggungan puasa wajibnya. Seandainya dia berpuasa syawal sebelum melunasinya maka dia tidak mendapatkan pahala keutamaannya, berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa puasa ramadhan kemudian dia menyertainya dengan enam hari syawal maka seakan-akan dia berpuasa setahun penuh”.

            Dan telah dimaklumi bersama bahwa orang yang masih memiliki tanggungan puasa ramadhan berarti dia tidak termasuk golongan orang yang telah puasa ramadhan sampai dia melunasinya terlebih dahulu. Sebagian manusia keliru dalam masalah ini, sehingga tatkala dia khawatir keluarnya bulan syawal maka dia berpuasa sebelum melunasi tanggungannya. Ini adalah suatu kesalahan”.[208]

6. Kalau Memang Ada Udzur Sehingga Keluar Bulan Syawwal

            Bagaimana kalau seseorang tidak bisa melakukan puasa syawal karena ada udzur seperti sakit, nifas atau melunasi hutang puasanya sebanyak sebulan, sehingga keluar bulan syawal. Apakah dia boleh menggantinya pada bulan-bulan lainnya dan meraih keutamaannya, ataukah tidak perlu karana waktunya telah keluar?! Masalah ini diperselisihkan oleh ulama:

1. Boleh menggodho’nya karena ada udzur. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di[209] dan Syaikh Ibnu Utsaimin[210]. Alasannya adalah menqiyaskan dengan ibadah-ibadah lain yang bisa diqodho’ apabila ada udzur seperti shalat.

2. Tidak disyariatkan untuk mengqodho’nya apabila telah keluar bulan syawal, baik karena ada udzur atau tidak, karena waktunya telah lewat. Pendapat ini dipilih oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz[211].

            Pendapat kedua inilah yang tentram dalam hati penulis, karena qodho’ membutuhkan dalil khusus dan tidak ada dalil dalam masalah ini. Wallahu A’lam.[212] Alhamdulillah, kalau memang dia benar-benar jujur dalam niatnya yang seandainya bukan karena udzur tersebut dia akan melakukan puasa syawal, maka Allah akan memberikan pahala baginya, sebagaimana dalam hadits:

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلَ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا

Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, maka dia ditulis seperti apa yang dia lakukan dalam muqim sehat. [213]

7. Menggabung Niat Puasa

            Kalau ada orang yang berpuasa syawwal dan ingin menggabungnya dengan qodho’ puasa ramadahan, atau dengan puasa senin kamis, atau tiga hari dalam sebulan, bagaimana hukumnya?! Menjawab masalah ini, hendakanya kita mengetahui terlebih dahulu sebuah kaidah berharga yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Rojab, yaitu “Apabila berkumpul dua ibadah satu jenis dalam satu waktu, salah satunya bukan karena qodho’ (mengganti) atau mengikut pada ibadah lainnya, maka dua ibadah tersebut bisa digabung jadi satu”.[214]

            Jadi, menggabung beberapa ibadah menjadi satu itu terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Tidak mungkin digabung, yaitu apabila ibadah tersebut merupakan ibadah tersendiri atau mengikut kepada ibadah lainnya, maka di sini tidak mungkin digabung.

Contoh: Seorang ketinggalan shalat sunnah fajar sampai terbit matahari dan datang waktu sholat dhuha, di sini tidak bisa digabung antara shalat sunnah fajar dan shalat dhuha, karena shalat sunnah fajar adalah ibadah tersendiri dan shalat dhuha juga ibadah tersendiri.

Contoh lain: Seorang sholat fajar dengan niat untuk shalat sunnah rawatib dan shalat fardhu, maka tidak bisa, karena shalat sunnah rawatib adalah mengikut kepada shalat fardhu.

Kedua:  Bisa untuk digabung, yaitu kalau maksud dari ibadah tersebut hanya sekedar adanya perbuatan tersebut, bukan ibadah tersendiri, maka di sini bisa untuk digabung.

Contoh: Seorang masuk masjid dan menjumpai manusia sedang melakukan shalat fajar, maka  dia ikut shalat dengan niat shalat fajar dan tahiyyatul masjid, maka boleh karena tahiyyatul masjid bukanlah ibadah tersendiri.[215]

            Nah, dari sini dapat kita simpulkan bahwa kalau seorang menggabung puasa syawwal dengan mengqodho’ puasa ramadhan maka hukumnya tidak boleh karena puasa syawal di sini mengikut kepada puasa ramadhan[216]. Namun apabila seseorang menggabung puasa syawwal dengan puasa tiga hari dalam sebulan, puasa dawud, senin kami maka hukumnya boleh. Wallahu A’lam.

            Demikianlah beberapa pembahasan yang dapat kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.

_______________________________________________

Footnote:

[194] Min Fawaid Syaikhina Sami Abu Muhammad atas kitab Ar-Raudh al-Murbi’ al-Bahuti, kitab puasa.

[195] HR. Muslim 1164.

[196] Diriwayatkan Ibnu Majah 1715, ad-Darimi 1762, Nasa’i dalam Sunan Kubra 2810, 2861, Ibnu Khuzaimah 2115, Ibnu Hibban 928, dan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya 5/280, ath-Thobarani dalam Mu’jamul Kabir 1451 dan Musnad Syamiyyin 485, ath-Thohawi dalam Musykil Atsar 1425, dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 4/107.

[197] Al-Mughni Ibnu Qudamah 4/438 dan Lathoiful Ma’arif Ibnu Rojab hal. 389

[198] Syarah Shahih Muslim 8/138,

[199] Al-Ifshoh 1/252

[200] Fathul Qodir 2/349

[201] Tuhfatul Ahwadzi 3/389

[202] Tahdzib Sunan 7/70-71 dan al-Manarul Munif hal. 39 Ibnu Qayyim

[203] Lathoiful Ma’arif Ibnu Rojab hal. 393-396

[204] Subulus Salam 4/127

[205] Syarh Muslim 8/238,

[206] lihat pula Masail Imam Ahmad 2/662

[207] Latha’iful Ma’arif  hal. 397

[208] Liqa’athi Ma’a Samahatis Syaikh Ibnu Utsaimin Dr. Abdullah ath-Thoyyar 2/79 dan Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 20/17-20

[209] Al-Fatawa Sa’diyyah hal. 230

[210] Syarh Mumti’ 7/467

[211] Majmu Fatawa Ibnu Baz 3/270, al-Fatawa Ibnu Baz -Kitab Da’wah 2/172, Fatawa Shiyam 2/694-695 kumpulan Asyrof Abdul Maqshud

[212] Simak kaset Fatawa Jeddah oleh Syaikh al-Albani no. 7  dan Ahkamul Adzkar Zakariya al-Bakistani hal. 51

[213] HR. Bukhari: 2996.

[214] Taqrir Qowaid 1/142

[215] Liqa’ Bab Maftuh Ibnu Utsaimin hal. 20. Lihat penjelasan tentang kaidah ini dan contoh-contohnya secara panjang dalam Taqrir Qowa’id Ibnu Rojab 1/142-158

Related posts:

  1. ENSIKLOPEDI AMALAN BULAN ROJAB
  2. ENSIKLOPEDI AMALAN BULAN RAMADHAN
  3. ENSIKLOPEDI AMALAN BULAN SYA’BAN

HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU YANG POPULER DI BULAN PUASA

$
0
0

HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU

YANG POPULER DI BULAN PUASA

 

Sesungguhnya telah mutawatir dalam timbangan ahli hadits[1] bahwa Rosululloh e bersabda:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa berdusta padaku dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat di Neraka.

Berangkat dari hadits ini, kami terdorong untuk membuat bab ini sebagai nasehat dan peringatan kepada kita agar tidak terjatuh dalam berdusta kepada Nabi, atau menceritakannya atau juga mengamalkannya.

Berikut beberapa contoh hadits lemah dan palsu dalam masalah ini yang banyak beredar dan popular di masyarakat padahal tidak shahih dari Nabi, maka hendaknya kita mewaspadainya:

1. Keutamaan Bulan Ramadhan

لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فيِ رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِيْ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلَّهَا …. الخ

Seandainya sekalian hamba mengetahui keutamaan bulan Ramadhan, niscaya mereka berangan-angan agar setiap tahun dijadikan bulan Ramadhan seluruhnya .… (hadits panjang)

MAUDHU’. Diriwayatkan Ibnu Khuzaimah 1886, Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 2/88-89 dari jalan Jarir bin Ayub al-Bajali dari Sya’bi dari Nafi’ bin Burdah dari Abu Mas’ud al-Ghifari.

Jarir bin Ayub adalah seorang rawi pendusta yang sangat masyhur, bahkan Abu Nu’aim berkata tentangnya, “Pemalsu hadits.”.

2. Awal Ramadhan Adalah Rahmat

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلٍ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ … وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَوَسْطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَأَخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ…. الخ

Wahai manusia! Sesungguhnya bulan Ramadhan ini telah menaungi kalian semua. Bulan penuh berkah, bulan yang mempunyai suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, bulan yang Alloh menjadikan puasa pada bulan tersebut suatu kewajiban dan shalat malamnya sebagai sunnah. Barangsiapa berbuat suatu kebaikan pada bulan itu, maka sama halnya dia telah melakukan suatu kewajiban pada bulan lainnya …. Bulan yang awalnya berupa rahmat, pertengahannya berupa ampunan, dan akhirnya berupa pembebasan dari neraka …. (hadits panjang)

LEMAH. Hadits ini diriwayatkan Ibnu Khuzaimah 1887, al-Mahamili dalam al-Amali 50 dari jalan Ali bin Zaid bin Jud’an dari Sa’id bin Musayyib dari Salman al-Farisi.

Hadits ini lemah, sebab, Ali bin Zaid adalah seorang rawi yang lemah. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Dia tidak kuat.”. [2]

Faedah: Syaikh Ali Hasan al-Halabi memiliki risalah khusus tentang kelemahan hadits ini berjudul “Tanqihul Andhor…”, cet Darul Masir.

3. Sehat Dengan Puasa

صُوْمُوْا تَصِحُّوْا

Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.

LEMAH SEKALI. Diriwayatkan Ibnu Adi dalam al-Kamil 7/2521 dari jalan Nahsyal bin Sa’id dari Dhahak dari Ibnu Abbas h/. Nahsyal adalah rawi yang matruk dan suka berdusta. Ishaq bin Rahawaih berkata tentangnya, “Kadzdzab (pendusta).”.[3]

Makna hadits ini shahih, sebab telah terbukti bahwa puasa merupakan faktor kesehatan dan dapat mengusir beberapa penyakit yang berbahaya bagi manusia.[4] Syaikh al-Albani memiliki pengalaman menarik tentang hal ini, beliau bercerita: “Pada akhir tahun 1379 H, aku pernah melaparkan diriku selama empat puluh hari berturut-turut, saya tidak merasakan makanan sedikitpun, saya hanya minum air saja! Semua itu saya lakukan untuk pengobatan dari sebagian penyakit, akhirnya saya diberi kesembuhan dari sebagian penyakit, padahal sebelumnya saya telah berobat kepada sebagian dokter selama sepuluh tahun lamanya, tanpa ada hasil yang nampak jelas”.[5]

4. Doa Buka Puasa

كَانَ النَّبِيُّ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ (بِسْمِ اللهِ)(اَللَّهُمَّ) لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Apabila Nabi berbuka puasa, beliau berdo’a, “Dengan nama Alloh. Wahai Alloh, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka. Maka terimalah puasaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

LEMAH SEKALI. Diriwayatkan ath-Thobarani dalam Mu’jamul Kabir: 12720, ad-Daraquthni dalam Sunannya 240 dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah 474 dari jalan Abdul Malik bin Harun bin Antharah dari bapaknya dari kakeknya dari Ibnu Abbas secara marfu’ (sampai kepada Nabi).

Hadits ini lemah sekali, sebab Abdul Malik seorang rawi yang lemah sekali. Ibnul Qayyim berkata tentang hadits ini: “Tidak shahih.”. Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya lemah.” Al-Haitsami berkata: “Dalam hadits ini, terdapat Abdul Malik, dia seorang rawi yang lemah.”.[6]

Adapun do’a berbuka puasa yang shahih dari Nabi n/ sebagai berikut:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

Telah hilang rasa dahaga dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahalanya, Insya Alloh.[7]

5. Berbuka Tanpa Udzur

مَنْ أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ

Barangsiapa tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa ada udzur atau sakit, maka dia tak dapat ditebus dengan puasa setahun sekalipun dia berpuasa.

LEMAH. Diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahihnya 4/160 (al-Fath) secara mu’allaq, tanpa sanad. Dan diriwayatkan secara bersambung sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 1987, Tirmidzi 723, Abu Dawud 2397, Ibnu Majah 1672, dari jalan Abu Muthawwis dari bapaknya dari Abu Hurairah.

Ibnu Hajar berkata: “Dan diperselisihkan pada diri Habib bin Abu Tsabit perselisihan yang banyak sekali. Kesimpulannya, hadits ini mempunyai tiga kecacatan: idhtirab (kegoncangan), tidak diketahuinya keadaan Abu Muthawwis tersebut, dan diragukan apakah bapaknya mendengar dari Abu Hurairah.”[8]

Ibnu Khuzaimah juga berkata setelah membawakan riwayat ini: “Kalau memang hadits ini shahih, maka aku tidak mengetahui keadaan Abu Muthawwis maupun bapaknya.” Abu Isa at-Tirmidzi berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Ismail (Bukhari) berkata: “Abu Muthawwis namanya Yazid bin Muthawwis, saya tidak mengetahui haditsnya selain hadits ini.’” [9]

6. Tidurnya Orang Puasa adalah Ibadah

صَمْتُ الصَّائِمِ تَسْبِيْحٌ, وَنَوْمُهُ عِبَادَةٌ ,وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ , وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

Diamnya orang yang puasa adalah tasbih, tidurnya adalah ibadah, doa’nya mustajab dan amalnya dilipatgandakan.

LEMAH SEKALI. Diriwayatkan ad-Dailami 2/253 dari Rabi’ bin Badr dari Auf al-A’rabi dari Abul Mughirah al-Qawwas dari Abdullah bin Umar secara marfu’.

Sanad ini lemah sekali, sebab Rabi’ bin Badr adalah seorang rawi yang ditinggalkan haditsnya.[10]

Diantara dampak negatif hadits ini adalah menjadikan sebagian orang malas dan banyak tidur di bulan puasa dengan alasan hadits ini. [11]

Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang seorang yang ketika bulan puasa, dia tidur sepanjang hari, bagaimana hukumnya? Dan bagaimana juga kalau dia bangun untuk melakukan kewajiban lalu tidur lagi?!

Beliau menjawab: Pertanyaan ini mengandung dua permasalahan:

Pertama: Seorang yang tidur seharian dan tidak bangun sama sekali, tidak ragu lagi bahwa dia telah bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan sholat, maka hendaknya dia bertaubat kepada Allah dan menjalankan shalat tepat pada waktunya.

Kedua:  Seorang yang tidur tetapi bangun menjalan shalat secara berjama’ah kemudian tidur lagi dan seterusnya, hukum orang ini tidak berdosa (dan tidak batal puasanya -pent) hanya saja luput darinya kebaikan yang banyak, sebab orang yang berpuasa hendaknya menyibukkan dirinya dengan shalat, dzikir, doa, membaca Al-Qur’an dan sebagainya sehingga mengumpulkan beraneka macam ibabah pada dirinya. Maka nasehatku kepada orang ini agar tidak menghabiskan waktu puasanya dengan banyak tidur, tetapi hendaknya bersemangat dalam ibadah.[12]

Namun, jangan difahami dari penjelasan di atas, bahwa orang yang sedang berpuasa tidak boleh tidur, itu pemahaman yang keliru, bahkan kalau seorang tidur sekedarnya dan meniatkan dengan tidurnya untuk istirahat, mengembalikan stamina tubuh, menyegarkan semangat ibadah, dan agar tidak ngantuk dalam sholat malam/tarawih maka dia telah melakukan ibadah dan diberi pahala atas niatnya, sebagaimana ucapan salah seorang sahabat Nabi:

أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُوْمُ, وَأَرْجُوْ فِيْ نَوْمَتِيْ مَا أَرْجُوْ فِيْ قَوْمَتِيْ

Adapun saya, maka saya tidur dan bangun. Dan saya berharap dalam tidur saya (karena niat tidurnya adalah untuk semangat ibadah berikutnya) apa yang saya harapkan dalam bangun (shalat)  saya. (HR. Bukhari 4086 Muslim 1733)

7. Ramadhan Bergantung Pada Zakat Fithr

شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ إِلَى اللهِ إِلاَّ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ

Bulan Ramadhan tergantung antara langit dan bumi, dan dia tidak diangkat kepada Allah kecuali dengan zakat fithr.

LEMAH. Dikeluarkan oleh Ibnu Syahin dalam at-Targhib dan adh-Dhiya’ dari Jarir. Hadits ini dha’if (lemah). Ibnul Jauzi membawakannya dalam al-Wahiyat seraya mengatakan: “Tidak shahih, di dalamnya terdapat Muhammad bin Ubaid al-Bashri, dia seorang yang majhul (tak dikenal)”.

Makna hadits inipun tidak benar, sebab dia menunjukkan bahwa diterima tidaknya puasa Ramadhan seorang itu tergantung pada zakat fithr, dan barangsiapa yang tidak mengeluarkannya maka puasanya tidak diterima. Saya tidak mengetahui seorangpun dari ahli ilmu yang berpendapat seperti ini[13].

 

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Artikel: http://abiubaidah.com/

Footnote:

[1] Al-Hafizh al-’Iraqi berkata dalam al-Arbauna al-’Usyariyyah hal. 136: “Hadits ini termasuk hadits yang sangat populer, sehingga dijadikan contoh hadits mutawatir, diriwayatkan dari  seratus sahabat lebih, diantara mereka adalah sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira sebagai calon  penghuni surga”. (Lihat pula Fathul Bari Ibnu Hajar 1/203, Syarh Shahih Muslim an-Nawawi 1/28, Nadzmul Mutanatsir al-Kattani hal.35, Ada’u Ma Wajab Ibnu Dihyah hal. 26, Silsilah adh-Dha’ifah al-Albani 3/71-73, Juz Hadits Man Kadzaba ath-Thobarani).

[2] Silsilah Ahadits Dha’ifah: 871, lihat juga no. 1569

[3] Silsilah Ahadits Dhaifah: 253

[4] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 28/8

[5] Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 1/419

[6] Irwaul Gholil: 919

[7] Hasan. Diriwayatkan Abu Dawud 2357, Baihaqi 4/239, al-Hakim 1/422, dan ad-Daraquthni 240 dan berkata, “Sanadnya hasan.” Dan disetujui al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhis Habir 2/802 dan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 920.

[8] Fathul Bari 4/161

[9] Tuhfatul Ahwadzi 3/341

[10] Silsilah Ahadits Dha’ifah: 3784, 4696

[11] Ahadits Muntasyiroh Lam Tatsbutu Ahmad bin Abdullah as-Sulami hal. 366

[12] Majmu Fatawa wa Rosail Ibnu Utsaimin 19/170-171 -secara ringkas-

[13] Silsilah Ahadits Dha’ifah: 43

Related posts:

  1. PUASA DAN HARI RAYA BERDASARKAN HISAB ATAU RU’YAH?
  2. Hadits Palsu: Cinta Tanah Air adalah Sebagian dari Iman
  3. BID’AH-BID’AH DI BULAN RAMADHAN

PUASA DAN HARI RAYA BERDASARKAN HISAB ATAU RU’YAH?

$
0
0

PUASA DAN HARI RAYA BERDASARKAN HISAB ATAU RU’YAH?

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi

Bulan puasa dan hari raya adalah dua peristiwa yang penuh makna bagi umat Islam. Sudah pasti, semua kaum muslimin akan menyambutnya dengan penuh gembira. Namun, makna bulan puasa seringkali terusik dengan adanya perbedaan awal penentuan puasa. Hari raya-pun terasa kurang bahagia jika kita berbeda-beda saat merayakannya. Sungguh benar ungkapan orang: “Bersatu itu indah, berbeda itu susah”.

Sungguh, masyarakat sangat merasakan perbedaan tersebut sebagai polemik yang tak ringan di tengah kehidupan mereka. Sekalipun banyak para tokoh sudah menghibur mereka bahwa perbedaan ini merupakan rohmat , namun dalam praktek di lapangan ternyata banyak menimbulkan kepiluan yang mengarah pada perpecahan .

Bila kita telusuri, ternyata salah satu sumber perbedaan di atas adalah masalah cara penentuan awal mulai masuknya bulan puasa dan hari raya di kalangan ormas-ormas Islam. Sebagian mereka bersandar pada ru’yah dan sebagian lagi bersandar pada hisab.

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, kami akan sedikit membahas masalah ini sebagai sumbangsih sederhana menuju kebaikan bagi kita semua . Semoga Allah melapangkan hati kita semua untuk menerima kebenaran dan meninggalkan kesombongan dan fanatik golongan. Amiin.

Defenisi Ru’yah dan Hisab

Ru’yah adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtima’ (bulan baru). Ru’yah dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu potik seperti teleskop . Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan baru hijriyyah.

Sedangkan hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam dimulainnya awal bulan hijriyyah.

Cara Penentuan Bulan Secara Islami

Tatkala Allah mensyari’atkan kepada para hambaNya untuk melakukan ibadah puasa dan hari raya, maka sudah pasti Allah juga tidak lupa untuk menjelaskan cara untuk menentukan waktunya. Oleh karenanya, melalui lisan rasulNya, Allah menjelaskan hal ini secara gamblang. Nabi bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا.

Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka sempurnakanlah tiga puluh hari. (HR. Bukhori 4/106 dan Muslim 1081)

Hadits ini dan hadits-hadits semisalnya yang banyak sekali menunjukkan kepada kita bahwa Syari’at Islam hanya menggunakan dua cara yang meyakinkan untuk mengetahui masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan yaitu ru’yah (melihat hilal) atau ikmal (menyempurnakan 30 hari apabila tidak kelihatan bulan sabit), karena hal itu lebih mudah dan lebih meyakinkan.

Bolehkah Penentuan Puasa dan Hari Raya Dengan Hisab?

Bila kita cermati dalil-dalil tentang masalah ini berdasarkan Al-Qur’an, hadits dan keterangan para ulama, niscaya kita akan dapati bahwa penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan ilmu hisab adalah pendapat yang lemah dan tidak dibangun di atas kekuatan dalil. Berikut sebagian dalil tentang tidak bolehnya penggunaan hisab:

1. Dalil Al-Qur’an

 فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Barangsiapa di antara kamu hadir (melihat) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al-Baqoroh: 185)
Makna syahadah dalam ayat ini adalah melihat.

2. Dalil Hadits

Hadits-hadits Nabi banyak sekali yang memerintahkan untuk melihat hilal atau menyempurnakan, dan tak pernah sekalipun beliau menganjurkan untuk menetapkannya dengan ilmu hisab.

إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا

Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka sempurnakanlah tiga puluh hari. (HR. Bukhori 4/106 dan Muslim 1081)

3. Dalil Ijma’

Ijma’ tentang tidak bolehnya penggunaan hisab dalam penentuan ini telah dinukil oleh sejumlah ulama seperti al-Jashosh dalam Ahkamul Qur’an 1/280, Al-Baaji dalam Al-Muntaqo Syarh Muwatho’ 2/38, Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid 1/283-284, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa 25/132-207, As-Subuki dalam Al-Ilmu Al-Mantsur hlm. 6, Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya 2/387 dan lain sebagainya .

4. Dalil Akal

Penentuan puasa dengan ru’yah sesuai dengan pokok-pokok syari’at Islam yang dibangun di atas kemudahan di mana ru’yah bisa dilakukan oleh semua manusia dan cara ini juga akan membawa kepada persatuan dan kebersamaan, berbeda dengan ilmu hisab yang masing-masing akan mempertahankan pendapat dan penelitiannya sendiri-sendiri.

Mengurai Beberapa Syubhat

Sebagian kalangan berpendapat bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan boleh ditentukan dengan ilmu hisab. Mereka membawakan beberapa argumen yang bila diteliti ternyata argumen tersebut adalah lemah . Berikut penjelasannya secara ringkas:

1. Dalil Al-Qur’an

Mereka berdalil dengan ayat berikut:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ مَا خَلَقَ اللَّـهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ﴿٥

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus ayat: 5)

Jawab:
1. Mana konteks dari ayat tersebut yang menunjukkan ketentuan masuknya bulan puasa dan hari raya dengan ilmu hisab? Apakah Nabi dan para sahabatnya memahami ayat di atas dengan pemahaman tersebut?! Lantas, kenapa mereka tidak menerapkannya?! Ataukah ini adalah cara kalian untuk mencari-cari dalil untuk mendukung suatu pendapat?!

2. Ayat di atas hanyalah menjelaskan tentang fungsi manzilah-manzilah bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

2. Dalil Hadits

Mereka berdalil dengan hadits:

إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا ثَلاَثِينَ يَوْمًا

Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka sempurnakanlah tiga puluh hari. (HR. Bukhori 4/106 dan Muslim 1081)
Mereka mengartikan

فَاقْدُرُوْا

yakni perkirakanlah dengan ilmu hisab.
Jawab:
1. Makna hadits ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits lainnya dengan lafadz menyempurnakan. Tentu saja, penafsiran Rasulullah harus didahulukan karena hadits itu saling menjelaskan antara satu dengan yang lainnya. Dan inilah yang difahami oleh para ulama ahli hadits dan fiqih bahwa makna hadits tersebut adalah sempurnakanlah bukan perkirakanlah.

2. Dalam riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrok 1/423 dan Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro 4/204 dengan sanad shohih, Rasulullah menggabung penafsiran tersebut dengan “sempurnakanlah”. Lalu adakah yang lebih jelas lagi dari penafsiran Rasulullah?!

3. Dalil Ucapan Ulama

Mereka mengatakan bahwa penggunaan hisab telah diperbolehkan oleh ulama-ulama sejak dahulu seperti Muthorrif bin Abdillah, Ibnu Qutaibah dll.

Jawab:
1. Ucapan dan pendapat tersebut tidak shohih penisbatannya sampai kepada mereka.

2. Anggaplah shohih, tetap ucapan ulama bukanlah dalil bila bertentangan dengan nash yang jelas.

3. Maksud ucapan mereka adalah khusus pada saat cuaca pada malam 30 Sya’ban/Ramadhan adalah mendung, bukan jauh-jauh hari telah ditetapkan bahwa hari puasa atau hari raya akan jatuh pada hari ini atau itu, baik mendung atau cerah sebagaimana dilakukan oleh sebagian organisasi yang menggunakan hisab.

4. Dalil Qiyas

Menggunakan qiyas (analogi) waktu puasa dengan waktu sholat. Sebagaimana boleh menggunakan hisab untuk waktu sholat demikian juga boleh untuk puasa.

Jawab:
1. Ini adalah qiyas yang bathil, karena qiyas yang bertentangan dengan nash/dalil yang jelas. Perlu diingat juga bahwa qiyas harus terpenuhi syarat-syaratnya, apakah hal itu telah terpenuhi pada masalah ini?

2. Dalam sholatpun apabila kalender bertentangan dengan waktu sholat, maka yang menjadi patokan adalah waktu sholat dan kalender yang salah tidak boleh digunakan.

3. Allah membedakan antara sholat dan puasa, karena Allah menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat zhuhur, demikian juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu, maka hisab yang yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua perkara: Pertama: Melihat Hilal. Kedua: Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak terlihat hilal. Wallahu A’lam.

5. Dalil Akal

Mereka mengatakan bahwa Islam mendukung perkembangan modern dan dengan hisab akan terwujud persatuan kaum muslimin dalam puasa dan hari raya.

Jawab;
1. Benar, Islam mendukung perkembangan modern, tetapi bukan berarti dengan melanggar rambu-rambu syari’at.

2. Persatuan dengan hisab menyelisihi fakta, bahkan inilah salah satu faktor utama perbedaan yang ada. Bukankah sesama ahli hisab juga berbeda?! Aduhai, katakanlah padaku bukankah seandainya ormas-ormas Islam mau bersepakat bersama pemerintah dalam puasa dan hari raya niscaya akan minim sekali perbedaan yang ada?! Apalagi pemerintah dalam ini memilih ru’yah yang disepakati bersama bolehnya dan kebenarannya?! Kenapa kita tidak bersama pemerintah dalam hal ini dan meninggalkan pendapat kita untuk kemaslahatan persatuan bersama?! Ataukah ini adalah kesombongan dan fanatisme golongan yang membutakan pandangan?!

Hisab Bukanlah Sesuatu Yang Yakin

Sebagian orang yang menyangka bahwa alat-alat modern untuk ilmu hisab sekarang bisa dikatakan pasti dan yakin. Namun pada kenyataan di lapangan, ternyata itu hanyalah prasangka belaka saja . Berikut beberapa buktinya:

  1. Banyak beberapa fakta di lapangan yang membuktikan terjadinya beberapa kesalahan dalam perhitungan ilmu hisab, di mana seringkali diberitakan di media bahwa ahli hisab mengatakan tidak mungkin terlihat bulan, tetapi ternyata bulan dapat dilihat dengan jelas oleh beberapa saksi yang terpercaya.
  2. Kegoncangan ilmu hisab, di mana sebagian Negara berpedoman pada ilmu hisab, namun aneh bin ajaibnya bahwa jarak selisihnya sampai 2 hingga 3 hari. Nah, apakah ada di dunia ini selisih jarak seperti ini dalam kelender hijriyyah?!!
  3. Adanya perbedaan kalender antara sesama ahli hisab sendiri dalam satu Negara.
  4. Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa ilmu kedokteran sekarang telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan peralatan-peralatan yang sangat canggih. Namun, sekalipun demikian tetap saja terjadi kesalahan di sana sini, padahal berkaitan langsung dengan panca indra manusia. Lantas, bagaimana dengan ilmu hisab yang sangat tersembunyi hasilnya?! Akankah kita meninggalkan sesuatu yang yakin dan mengambil yang ragu-ragu?!
  5. Ilmu hisab dibangun di atas alat-alat modern yang seperti halnya alat-alat lainnya terkadang terjadi kesalahan, baik penggunanya merasakan atau tidak.

Hisab Bertentangan Dengan Syari’at

Tatkala hisab keluar dari jalur syari’at maka menimbulkan beberapa hal yang bertentangan dengan syari’at, di antaranya:

  1. Ada perbedaan dalam penetapan bulan antara cara perhitungan syari’at dan ilmu hisab, di mana bilangan bulan dalam pandangan syari’at mungkin 29 hari atau 30 hari, sedangkan dalam pandangan ilmu hisab satu bulan itu sebanyak 29 hari hari, 12 jam ditambah 44 detik.
  2. Dalam pandangan syari’at bahwa saat awan tertutup maka disempurnakan 30 hari, sedangkan dalam ilmu hisab mungkin ditetapkan 29 hari.
  3. Dalam pandangan ilmu hisab, awal bulan dimulai keluar dari sinar matahari, sedangkan dalam pandangan syari’at awal bulan dimulai dengan terlihatnya hilal baik keluar dari sinar matahari maupun tidak.
  4. Dalam pandangan syari’at, awal bulan dapat diketahui dengan panca indra mata dan secara tabi’at, tidak menyesatkan seorang dari agama, tidak menyibukkannya dari kemaslahatan, serta semua kaum muslimin dapat ikut serta di dalamnya. Adapun dalam ilmu hisab, semua kebaikan tersebut tidak ada.

Sebagai kata penutup, cukuplah sebagai bukti otentik tidak bolehnya penggunaan hisab dalam hal ini bahwa kesalahan dalam ilmu hisab tidak dimaafkan, berbeda halnya dengan kesalahan dalam ru’yah, hal itu dimaafkan, bahkan sekalipun mereka salah mereka mendapatkan pahala karena mereka mengikuti perintah syari’at yaitu menggunakan ru’yah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh as-Suyuthi: “Ketahuilah bahwa termasuk kaidah fiqih adalah bahwa lupa dan bodoh menggugurkan dosa…Adapun apabila kesalahan dikarenakan ilmu hisab maka hal itu tidak dianggap karena mereka meremehkan”.

Sebuah Himbauan

Tulisan ini sengaja kami paparkan untuk mengajak seluruh umat Islam untuk kembali pada pedoman dasar beragama kita, sebagaimana firman Allah:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا﴿٥٩

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59)

Tinggalkan segala fanatik golongan karena semua itu hanya akan menjauhkan kita dari menerima kebenaran. Munculkan dalam hati kita semua rasa ingin mencari kebenaran meskipun hal itu harus bertentangan dengan sesuatu yang selama ini kita yakini , karena tidak ada yang ma’shum kecuali para nabi dan rosul. Semua orang bisa menolak dan ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah.

Hendaknya kita selalu bertaqwa kepada Allah dan ingat bahwa masalah ini bukan masalah pribadi dan golongan tetapi masalah syi’ar Islam yang membutuhkan persatuan dan kebersamaan. Semoga semua itu segera terwujudkan. Amiin.

Daftar Referensi
1. Ahkamul Ahillah wal Atsaar Al-Mutarottibah Alaiha, Ahmad bin Abdillah al-Furoih, Dar Ibnul Jauzi, KSA.
2. Fiqhu Nawazil, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Bairut, cet Pertama 1427 H.
3. Fiqhul Al-Mustajaddat fii Babil Ibadat, Thohir Yusuf Ash-Shiddiqi, Dar Nafais, Yordania, cet pertama 1425 H.
4. Pilih Hisab atau Ru’yah, Abu Yusuf al-Atsari, Pustaka Darul Muslim, Solo, tanpa tahun.
5. Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi, karya Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet keempat 2007.

Related posts:

  1. HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU YANG POPULER DI BULAN PUASA
  2. BID’AH-BID’AH DI BULAN RAMADHAN
  3. Puasa Syawal: Benarkah Disyariatkan ???

BID’AH-BID’AH DI BULAN RAMADHAN

$
0
0

BID’AH-BID’AH

DI BULAN RAMADHAN

 

Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat mulia, hanya saja sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, ia telah tercampuri oleh beberapa ritual bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama. Berikut ini kami sampaikan beberapa bid’ah yang biasa dilakukan oleh kebanyakan manusia. Semoga Allah menyelamatkan darinya. Di antaranya adalah hal-hal sebagai berikut[1]:

1. Melafadzkan Niat Puasa Di Malam Hari

Tidak diragukan lagi bahwa niat merupatkan syarat sahnya ibadah dengan kesepakatan ulama.[2] Hanya saja perlu diketahui bahwa niat tempatnya adalah di dalam hati, barangsiapa yang terlintas di dalam hatinya bahwa dia besk akan puasa maka sudah berarti dia telah berniat. Adapun melafadzkan niat puasa di malam hari baik dengan berjamaah maupun sendiri-sendiri dengan mengucapkan:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ ِللهِ تَعَالَى

Aku berniat puasa besok untuk melaksanakan fardhu puasa Romadhan pada tahun ini karena Alloh Ta’ala.

Do’a ini sangat masyhur bahkan diucapkan secara berjama’ah di masjid setelah sholat tarawih padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits, bahkan ini adalah kebid’ahan dalam agama sekalipun manusia menganggapnya kebaikan[3].

Jadi, melafadzkan niat seperti itu tidak ada contohnya dari Nabi, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan sebagainya, bahkan kata Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi: “Tak seorangpun dari imam empat, baik Syafi’i maupun lainnya yang mensyaratkan melafadzkan niat, karena niat itu di dalam hati dengan kesepakatan mereka”.[4] Maka jelaslahh bahwa melafadzkan niat termasuk bid’ah dalam agama.[5]

Abu Abdillah Muhammad bin Qosim al-Maliki berkata: “Niat termasuk pekerjaan hati, maka mengeraskannya adalah bid’ah”.[6]

2. Menetapkan Waktu Imsak

Menetapkan waktu imsak bagi orang yang makan sahur 5 atau 7 menit sebelum adzan Subuh dan mengumumkannnya melalui pengeras suara ataupun radio adalah bid’ah dan menyelisihi sunnah mengakhirkan sahur.

Syari’at memberikan batasan seseorang untuk makan sahur sampai adzan kedua atau adzan Subuh dan syari’at menganjurkan untuk mengakhurkan sahur, sedangkan imsak melarang manusia dari apa yang dibolehkan oleh syari’at dan memalingkan manusia dari menghidupkan sunnah mengakhirkan sahur.

“Maka lihatlah wahai saudaraku keadaan kaum muslimin pada zaman sekarang, mereka membalik sunnah dan menyelisihi petunjuk Nabi, dimana mereka dianjurkan untuk bersegera berbuka tetapi malah mengakhirkannya dan dianjurkan untuk mengakhirkan sahur tetapi malah menyegerakannya. Oleh karenanya,  mereka tertimpa petaka dan kefakiran dan kerendahan di hadapan musuh-musuh mereka”.[7]

Kami memahami bahwa maksud para pencetus Imsak adalah sebagai bentuk kehati-hatian agar jangan sampai masuk waktu Subuh, sedangkan masih masih makan atau minum, tetapi ini adalah ibadah sehingga harus berdasarkan dalil yang shohih. Jika kita hidup di zaman Nabi, apakah kita berani membuat-buat waktu imsak, melarang Rosululloh makan sahur jauh-jauh sebelum waktu Subuh tiba?!![8]

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Termasuk bid’ah yang mungkar yang telah tersebar pada zaman sekarang adalah mengumandangkan adzan kedua sebelum shubuh sekitar 15 menit pada bulan Romadhan, dan mematikan lampu-lampu sebagai tanda peringatan haramnya makan dan minum bagi orang yang hendak puasa. Mereka mengklaim bahwa hal itu sebagai bentuk kehati-hatian dalam ibadah. Mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur, mereka menyelisihi sunnah. Oleh karenanya sedikit sekali kebaikan yang mereka terima, bahkan mereka malah tertimpa petaka yang banyak, Allohul Musta’an.[9]

3. Membangunkan Dengan Kentongan atau Pengeras Suara

            Biasanya di sebagian kampung dan desa ada segerombolan anak muda atau juga orang tua menabuh kentongan sekitar 2-3 jam sebelum shubuh untuk membangunkan mereka agar segera sahur, seraya mengatakan: “Sahur!!  Sahur!! Sahur!! Bahkan ada sebagian yang menggunakan mikrofun masjid untuk melakukan panggilan ini.

Tidak ragu lagi bahwa ini adalah suatu kebiasaan yang dianggap ibadah, padahal tidak ada ajarannya dalam agama. Seandainya itu baik tentu akan diajarkan oleh agama. Apalagi, kebiasaan dapat mengganggu kenyamanan tidur orang di malam hari, padahal Allah berfirman:

إِذْ جَاءُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّـهِ الظُّنُونَا﴿١٠

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)[10]

Syaikh Abdul Qodir al-Jazairi berkata: “Apa yang dilakukan oleh sebagian orang jahil pada zaman sekarang di negeri kita berupa membangunkan otang puasa dengan kentongan merupakan kebid’ahan dan kemunkaran yang seharusnya dilarang dan diingatkan oleh orang-orang yang berilmu”.[11]

4. Memperingati nuzulul qur’an

Biasanya pada pada tanggal 17 Romadhon, kebanyakan kaum muslimin mengadakan peringatan yang disebut dengan perayaan Nuzulul Qur’an sebagai bentuk pengagungan kepada kitab suci Al-Qur’an. Namun ritual ini perlu disorot dari dua segi:

Pertama: Dari segi sejarah, adakah bukti otentik baik berupa dalil ataupun sejarah bahwa Al-Qur’an diturunkan pada tanggal tersebut?! Inilah pertanyaan yang kami sodorkan kepada saudara-sauadaraku semua.

Kedua: Angggaplah memang terbukti bahwa Al-Qur’an  diturunkan pada tanggal tersebut, namun menjadikannya sebagai perayaan membutuhkan dalil dan contoh dari Nabi. Bukankah, orang yang paling gembira dengan turunnya al-Qur’an adalah Rosululloh  dan para sahabatnya?!  Namun sekalipun demikian, tidak pernah dinukil dari mereka tentang adanya peringatan semacam ini, maka hal itu menunjukkan bahwa peringatan tersebut bukan termasuk ajaran Islam tetapi kebid’ahan dalam agama.

Ketahuilah wahai saudaraku bahwa perayaan tahunan dalam Islam hanya ada dua macam; idhul fithri[12] dan idhul adha, berdasarkan hadits:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا, فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ :كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

Dari Anas bin Malik berkata: Tatkala Nabi datang ke kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenag gembira sebagaimana di waktu jahiliyyah, lalu beliau bersabda: “Saya datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya untuk bersenang gembira sebagaimana di waktu jahiliyyah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, idhul adha dan idhul fithri”. [13]

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak ingin kalau umatnya membuat-buat perayaan baru yang tidak disyari’atkan Islam. Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rojab: “Sesungguhnya perayaan tidaklah diadakan berdasarkan logika dan akal sebagaimana dilakukan oleh Ahli kitab sebelum kita, tetapi berdasakan syari’at dan dalil”.[14]

Beliau juga berkata: “Tidak disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk membuat perayaan kecuali perayaan yang diizinkan Syari’at yaitu idhul fithri, idhul adha, hari-hari tasyriq, ini perayaan tahunan, dan hari jum’at, ini perayaan mingguan. Selain itu, menjadikannya sebagai perayaan adalah bid’ah dan tidak ada asalnya dalam syari’at”.[15]

5. Komando Di antara Roka’at Sholat Tarawih

Berdzikir dan mendo’akan para Khulafaur Rosyidin di antara dua salam sholat Tarawih dengan cara berjama’ah di pimpin oleh satu orang dengan mengucapkan:

اَلصَّلاَةُ سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَحِمَكُمُ اللهُ  . . .

Tidak pernah dinukil dari al-Qur’an dan dalam Sunnah tentang dzikir ini. Kalau tidak pernah kenapa kita tidak mencukupkan diri dengan apa yang dibawa Nabi dan para sahabatnya? Oleh karenanya maka hendaknya bagi setiap muslim untuk menjauhi hal ini, karena hal ini termasuk kebid’ahan dalam agama yang hanya dianggap baik oleh logika.

Jangan ada yang mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja karena berisi sholawat dan doa kepada sahabat yang merupakan amalan baik dengan kesepakatan ulama, itu memang benar tetapi masalahnya manusia menganggapnya sebagai syi’ar sholat tarawih padahal itu merupakan tipu daya Iblis kepada mereka.

Bagaimana mereka menganggap baik sesuatu yang tidak ada ajarannya dalam agama, padahal hal itu diingkari secara keras oleh Imam Syafi’I tatkala berkata:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

Barangsiapa yang istihsan maka ia telah membuat syari’at.[16]

Asy-Syaukani berkata: “Maksud istihsan adalah ia menetapkan suatu syariat yang tidak syar’i dari pribadinya sendiri”.[17]

Jadi, ritual ini termasuk kebid’ahan yang harus diwaspadai dan ditinggalkan.[18]

6. Tadarrus al-Qur’an berjama’ah dengan pengeras suara

Pada dasarnya kita dianjurkan untuk banyak membaca Al-Qur’an di bulan ini. Namun ritual Tadarus al-Qur’an berjama’ah yang biasa dilakukan oleh keum muslimin di masjid dengan mengeraskan suara adalah suatu hal yang perlu diluruskan.

Membaca al-Qur’an termasuk ibadah mulia yang diharapkan dengannya dapat dipahami dan diamalkan kandungannya serta dilakukan sesuai tuntunan Nabi n\ yaitu dengan suara pelan dan merendahkan diri karena itu lebih menjauhkan seseorang dari riya’ dan mendekatkan seseorang kepada Robbnya. Alloh Ta’ala berfirman:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿٥٥

Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-A’rof [7]: 55)

Rosululloh n\ pernah menegur sebagian sahabat yang berdo’a atau berdzikir dengan suara keras dengan perkataan beliau:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ

Wahai manusia, kasihanilah dirimu! Sesungguhnya kalian tidaklah berdo’a kepada Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya Ia bersama kalian dan sesungguhnya Alloh Maha Mendengar dan Maha Dekat, Maha Suci NamaNya dan Maha Tinggi KemuliaanNya. (HR. al-Bukhori 2292, Muslim 2704)

Terlebih lagi apabila ibadah mulia ini dilakukan dengan cara campur-baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom dan tidak halal untuk saling melihat. Apakah ini ibadah atau permainan?! Wallohul Muwaffiq.[19]

7. Mengkhususkan Ziarah Kubur

Pada bulan Ramadhan dan hari raya sering kita dapati manusia ramai ke kuburan dengan keyakinan bahwa waktu itu adalah waktu yang sangat istimewa dalam ziarah kubur. Namun, adakah dalam Islam ketentuan waktu khusus untuk ziarah kubur?!

Jawabannya: Tidak ada waktu khusus untuk ziaroh kubur. Para ahli fiqih dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah telah menegaskan anjuran memperbanyak ziarah kubur kapanpun waktunya.[20] Para ulama Malikiyyah mengatakan: “Ziarah kubur tidak ada batasan dan waktu khusus”.[21]

Hal ini dikuatkan dengan keumuman dalil-dalil perintah ziarah kubur, tidak ada keterangan bahwa ziarah kubur terbatasi dengan waktu tertentu, karena diantara hikmah ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran, ingat akherat, melembutkan hati, sedangkan hal itu dianjurkan setiap waktu tanpa terbatasi oleh waktu khusus.[22]

Jadi, kita tidak boleh mengkhususkan waktu-waktu khusus untuk ziarah, kapanpun ziarah adalah boleh.

Demikianlah beberapa bid’ah yang dapat kami sampaikan. Kita memohon kepada Allah agar menyelamatkan kita semua darinya dan memberikan hidayah kepada kaum muslimin yang masih melakukannya. Amiin.

8. Bid’ah Sholat Lailatul Qodr

Sebagian manusia ada yang mengerjakan shalat Lailatul Qodr dengan tata cara; shalat dua raka’at dengan berjama’ah setelah shalat taraweh. Kemudian di akhir malam, mereka shalat lagi seratus raka’at. Shalat ini mereka kerjakan pada malam yang menurut persangkaan kuat mereka adalah lailatul qodr. Oleh karena itu shalat ini dinamakan shalat lailatul qodr. Tidak ragu lagi bahwa ini adalah bid’ah yang nyata.[23]


[1] Pembahasan ini banyak mengambil manfaat dari buku “30 Tema Pilihan Kultum Ramadhan” hlm. 166-173 oleh al-Akh Abu Bakar Muhammad, cet Majelis Ilmu, dengan beberapa tambahan referensi penting lainnya.

[2] Syarh Hadits Innamal A’mal bin Niyyat, hlm. 119 oleh Ibnu Taimiyyah.

[3] Lihat Shifat Shoum Nabi hlm. 30 oleh Syaikh Salim al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan.

[4] Al-Ittiba’ hlm. 62, tahqiq Muhammad Atho’ullah Hanif dan Dr. Ashim al-Qoryuthi,

[5] Lihat secara luas Al-Amru bil Ittiba’ hlm. As-Suyuthi hlm. 295, Majmu’ah Rosail Kubro 1/254-257, Zadul Ma’ad 1/51, Al-Qoulul Mubin fii Akhtoil Mushollin hlm. 91-96 oleh Syaikh Masyhur Hasan, tulisan “Hukum Melafadzkan Niat” oleh al-Usradz Abu Ibrahim dalam Majalah Al Furqon edisi 9, hlm. 37-42, tahun ketujuh.

[6] Majmuah Rasail Kubra 1/254, Ibnu Taimiyyah. Lihat al-Qoul al-Mubin Fi Akhthoil Mushallin hal.91, Masyhur Hasan Salman

[7] Shofwatul Bayan fii Ahkamil Adzan wal Iqomah hlm. 116 oleh Abdul Qodir al-Jazairi.

[8] Lihat Fathul Bari 4/109-110 oleh Ibnu Hajar, Islahul Masajid hlm. 118-119 oleh al-Qosimi, Tamamul Minnah hlm. 417-418 oleh al-Albani, Fatawa Ibnu Utsaimin hlm. 670, Taisir Alam  1/ 496 oleh Abdullah al-Bassam, Mukholafat Romadhan hlm. 22-23 oleh Abdul Aziz As-Sadhan.

[9] Fathul Bari 4/199

[10] Lihat Kullu Bid’atin Dholalah oleh Muhammad al-Muntashir hlm. 194.

[11] Shofwatul Bayan fii Ahkamil Iqomah wal Adzan hlm. 115-116, muroja’ah Syaikh al-Albani dan Syaikh Masyhur bin Hasan.

[12] Faedah: Banyak orang Indonesia menerjemahkan idhul fithri dengan “Kembali Suci”. Terjemahan ini salah kaprah ditinjau dari segi bahasa dan syara’, sebagaimana dijelaskan oleh Ustadzuna Abdul Hakim Abdat dalam Majalah As Sunnah 05/Th. 1 hlm. 34-35 dan Ustadzuna Abu Nu’aim dalam Majalah Al Furqon 03/Th. 1 hlm. 12-13. Semoga Allah membalas kebaikan untuk keduanya.

[13] HR. Ahmad 3/103, Abu Dawud 1134 dan Nasai 3/179).

[14] Fathul Bari 1/159, Tafsir Ibnu Rojab 1/390.

[15] Lathoiful Ma’arif hlm. 228.

[16] Ucapan ini populer dari Imam Syafi’i sebagaimana dinukil oleh para imam madzhab Syafi’i seperti al-Ghozali dalam al-Mankhul hlm. 374 dan al-Mahalli dalam Jam’ul Jawami’ 2/395 dan lain sebagainya. (Lihat Ilmu Ushul Bida’ hlm. 121 oleh Syaikh Ali Hasan).

[17] Irsyadul Fuhul hlm. 240.

[18] Lihat Al-Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ hlm. 265-286 oleh Syaikh Ali Mahfudh, Al-Burhanul Mubin fi Tashoddi lil Bida’ wal Abathil 1/524,  Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’ oleh as-Suyuthi hlm. 192, ta’liq Syaikh Masyhur Hasan, Mu’jamul Bida’ hlm. 98-99 oleh Raid Shobri.

[19] Lihat pula Al-Ibda’ fii Madhoril Ibtida’ hlm. 183 oleh Syaikh Ali Mahfudh, Al-Bid’ah hlm, 31 oleh Syaltut, Mu’jamul Bida’ hlm. 53 oleh Raid Shabri, Tashihu Du’a oleh Bakr Abu Zaid hlm. 270

[20] Ahkam al-Maqobir hal. 302

[21] Mukhtashor al-Khalil Ala Mawahib al-Jalil 2/237.

[22] Ahkam al-Maqobir hal. 302. Lihat pula risalah kami “Agar Ziarah Membawa Berkah” hlm. 17, cet Media Tarbiyah Bogor.

[23] Al-Bida’ al-Hauliyyah 2/431, Bida’ Wa Akhtho’ hal.396

Related posts:

  1. ENSIKLOPEDI AMALAN BULAN RAMADHAN
  2. HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU YANG POPULER DI BULAN PUASA
  3. PUASA DAN HARI RAYA BERDASARKAN HISAB ATAU RU’YAH?

TAYAMMUM

$
0
0

TAYAMMUM

Defenisi Tayammum

Secara bahasa Tayammum diambil dari kata تَيَمَّمَ bermakna قَصَدَ [AZ1] , yang artinya: menuju, memaksudkan, menyengaja. Sedangkan secara syara’ adalah mempergunakan sho’id (sesuatu di permukaan bumi) dan mengusapkan ke wajah dan kedua telapak tangan dengan niat untuk sholat. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/347 dan Fathul Bari1/574 Karya Ibnu Hajar).

Dalil Al-Qur’an:

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُمْ مِنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَايُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih): sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Alloh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah: 6).

Dalil Hadits:

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  قَالَ الصَّعِيْدُ الطَّيِّبُ طَهُوْرُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشَرَ سِنِيْنَ

Dari Abu Dzar bahwasanya Rosululloh n bersabda: “Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci bagi seorang muslim sekalipun dia tidak mendapatkan air sepuluh tahun”. ((HR. Nasa’i (321) Tirmidzi (124) Abu Daud (332) Ahmad (5/180). Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shohih” dan dishohihkan Ibnu Hibban, Daruqutni, Abu Hatim, Al-Hakim, Dzahabi, Nawawi sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil (153) karya Al-Albani).   DalilError! Bookmark not defined. Ijma’: Para ulama telah bersepakat tentang disyari’atkkannya tayammum sebagaimana dinukil oleh Imam Abu Muhammad bin Hazm dalam kitabnya Marotibul Ijma’ (hal. 18) dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (21/350).

Tayammum merupakan kekhususan yang diberikan Alloh kepada umat Islam berdasarkan hadits:

أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِيْ نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِيْ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِيْ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِيْ الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِيْ وَأُعْطِيْتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خاَصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

Dari Jabir bahwasanya Rasululloh bersabda: “Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada seorangpun sebelumku: aku ditolong dengan dengan rasa takut (yang muncul di hati musuh) sebulan perjalanan: dijadikan untuk diriku tanah sebagai masjid dan alat bersuci, maka siapapun orang dari umatku yang menjumpai waktu sholat, hendaklah sholat, dihalalkan bagiku ghonimah (harta rampasan perang) yang tidak dihalalkan bagi seorangpun sebelumku, aku diberi syafa’at dan seorang Nabi (sebelumku) hanya diutus kepada kaumnya saja tetapi aku diutus kepada seluruh manusia.(HR. Bukhori no. 335 Muslim no.521)

Tayammum tidak digunakan dalam setiap waktu, namun hanya dalam keadaan-keadaan tertentu sebagai berikut:

1. Ketika tidak ada air, baik dalam keadaan safar maupun tidak. Hal ini berdasarkan hadits sebagai berikut:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  رَأَى رَجُلاً مُعْتَزِلاً لَمْ يُصَلِّ مَعَ الْقَوْمِ فَقَالَ يَا فَلاَنُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّيَ مَعَ الْقَوْمِ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَصَابَتْنِيْ جَنَابَةٌ وَلاَ مَاءَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّعِيْدِ فَإِنَّهُ يِكْفِيْكَ

Dari ‘Imron bin Hushoin berkata: Kami pernah bersama Rasululloh dalam suatu safar lalu beliau sholat mengimami manusia, tiba-tiba ada seseorang yang menyendiri. Melihatnya, beliau bersabda: “Mengapa engkau tidak ikut sholat?” Jawabnya: “Saya jinabat sedangkan tidak ada air”. Rasululloh bersabda: “Hendaknya engkau (bertayammum) dengan tanah, karena itu mencukupimu”. (HR. Bukhori (348) Nasa’i (320) Darimi (749) Ahmad (4/434-435) Ibnu Huzaimah dalam Shohihnya (271) dan Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (122-Ghoutsul Makdud-).

2. Ketika menderita luka atau penyakit yang dikhawatirkan akan bertambah parah atau tertunda sembuhnya jika terkena air. Baik berdasarkan pengalaman ataupun pemberitahuan dari dokter terpercaya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِيْ سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فَيْ رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُوْنَ لِيْ رُخْصَةً فِيْ التَّيَمُّمِ فَقَالُوْا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فاَغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلىَ النَّبِيِّ  أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوْهُ قَتَلَهُمُ اللهُ أَلاَ سَأَلُوْا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوْا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعَيِّ السُّؤَالُ

Dari Jabir berkata: “Kami pernah mengadakan safar, ada seorang sahabat kami yang tertimpa batu hingga terluka kepalanya lalu dia mimpi basah dan bertanya kepada para sahabatnya: apakah kalian memandang ada rukhsoh (keringanan) padaku untuk bertayammum? Mereka menjawab: Menurut kami engkau tidak mendapatkan keringanan selagi engkau mampu menggunakan air. Diapun mandi lalu meninggal dunia. Tatkala kami datang kepada Rasululloh, beliau dikhabarkan dengan peristiwa tadi kemudian beliau bersabda: Mereka telah membunuhnya, maka Alloh akan mematikan mereka, mengapa mereka tidak bertanya bila tidak mengetahuinya karena obat kejahilan adalah bertanya”. (HR. Abu Daud (336) Ibnu Majah (572) Daruqutni dalam Sunan-nya (1/189) dihasankan Syaikh Al-Albani dalam Ats- Tsamarul Mustatob1/ 33). Perlu diketahui bersama bahwa dalam hadits ini ada tambahan yang mungkar yaitu:

إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ ويَعْصِرُ أَوْ يَعْصِبُ عَلَى جَرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحُ عَلَيْهَا وَيَغْسِلُ سَائِرَ جَسَدِهِ

“Sesungguhnya dia hanya cukup untuk bertayammum Dan hendaknya dia membalut lukanya dengan kain lalu mengusap bagian atasnya dan membasuh seluruh badannya”. Syaikh Syaroful Haq berkata dalam Aunul Ma’bud (1/535): “Riwayat penyatuan antara tayammum dengan mandi tidaklah diriwayatkan kecuali oleh Zubair bin Huraiq. Rowi ini disamping memang tidak kuat haditsnya, dia juga telah menyelisihi seluruh para perowi yang meriwayatkan dari Atho’ bin Abi Robah. Maka riwayat penyatuan antara tayammum dan mandi adalah riwayat yang lemah, tidak dapat dijadikan hukum”. (Lihat pula Tamamul Minnahhal.131-132 karya Al-Albani). Perhatikanlah masalah ini karena ada hubungannya dengan masalah berikutnya!.

3. Apabila air sangat dingin sekali dan dikhawatirkan membahayakan dirinya serta tidak mampu memanaskannya. Hal ini berdasarkan hadits sebagai berikut:

عَنْ عَمْرٍو بْنِ الْعَاصِ قَالَ احْتَلَمْتُ فِيْ لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فِيْ غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِيْ الصُّبْحَ فَذَكَرُوْا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ  فَقَالَ يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِيْ مَنَعَنِيْ مِنَ الْاِغْتِسَالِ وَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ  وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا

Dari ‘Amr bin ‘Ash berkata “Aku pernah mimpi basah pada suatu malam yang sangat dingin sekali dalam perang Dzat Salasil, saya khawatir bila saya mandi, saya akan mati karenanya. Maka saya tayammum dan sholat Shubuh bersama para sahabat, tatkala kami datang kepada Rasululloh, para sahabat menceritakan kejadianku. Nabi bersabda: Wahai ‘Amr, benarkah engkau sholat bersama para sahabatmu padahal engkau junub? Maka saya kabarkan kepada beliau suatu yang mnghalangiku untuk mandi. Dan saya berkata: Aku mendengar firman Alloh: “Janganlah engkau membunuh diri kalian, sesungguhnya Alloh Maha Penyayang kepada kalian” Sebab itulah saya tayammum kemudian sholat. Rasululloh tertawa dan tidak mengatakan sedikitpun”. (HR. Abu Daud (334) Ahmad (4/203) Daruqutni dalam Sunan-nya (1/178) Ibnu Hibban (202) Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (647) Bukhori dalam Shohihnya secara mu’allaq dan dikuatkan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 1/603 dan Al-Albani dalam Irwaul Gholilno.154)

Tayammum harus dengan Debu?

Dalam Al-Qur’an, Alloh menyebutkan dengan lafadz “As-Sho’id” artinya adalah tanah dan segala yang ada dipermukaan bumi sebagaimana dijelaskan oleh para ahli bahasa. Al-Fairuz Abadi bekata dalam Al-Qomus Muhith (1/318): “As-Sho’id” adalah tanah dan segala yang ada di permukaan bumi”. Dalam kamus “Mukhtar Shihah” (hal.363) dinyatakan: “As-Sho’id adalah tanah. Tsa’lab berkata: “Segala yang ada di permukaan bumi”. Ibnu Mandzur dalam Lisan Arob(3/254) menjelaskan: “As-Sho’id artinya tanah, dikatakan juga tanah yang bersih. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:

فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Maka bertayammumlah dengan sho’id yang baik (bersih) Abu Ishaq berkata: “As-Sho’id adalah permukaan bumi, manusia boleh bertayammum dengan permukaan bumi baik berdebu maupun tidak berdebu. Sebab maksud As-Sho’id bukan hanya debu semata, tetapi segala yang ada di permukaan bumi baik tanah maupun selainnya. Beliau juga mengatakan: Seandainya ada sebuah batu yang tidak berdebu lalu seorang bertayammum dengan batu tersebut, ini sudah mencukupi”. Kesimpulannya, alat tayammum tidaklah disyaratkan harus tanah/debu sekalipun tanah/debu itu lebih baik untuk digunakan. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Malik, dipilih oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (2/158-161) serta disetujui Syaikh Al-Albani dalam Ats-Tsamarul Mustatob(1/31).

Bertayammum dengan dinding

Diperbolehkan bagi seorang untuk bertayammum dengan tembok atau dinding, baik terbuat dari beton maupun kayu, dicat maupun tidak. Demikian ditegaskan Syaikh Al-Albani secara lisan sebagaimana diceritakan oleh Syaikh Abdul Adhim Al-Badawi dalam kitabnya Al-Wajiz fi Fiqh Sunnah(Hal. 51) kemudian beliau (Al-Albani) membacakan ayat Alloh: 

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan tidaklah Robbmu lupa. (QS. Maryam: 64).Hal ini berdasarkan keumuman hadits berikut:

عَنْ عُمَيْرٍ مَوْلىََ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَقْبَلْتُ أَنَا وَعَبْدُ اللهِ بنُ يَسَارٍ مَوْلَى مَيْمُوْنَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ  حَتَّى دَخَلْنَا عَلىَ أَبِيْ جُهَيْمِ بنِ الْحَارِثِ بْنِ الصِّمَّةِ الأَنْصَارِيِّ فَقَالَ أَبُوْ جُهَيْمِ أَقْبَلَ النَّبِيُّ  مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ  حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ

Dari ‘Umair maula Ibnu Abbas berkata: Saya dan Abdulloh bin Yasar -pembantu Maimunah, istri Nabi n- pernah menemui Abu Juhaim bin Harits bin Shimmah Al-Anshori. Abu Juhaim bercerita: “Nabi kembali dari Bi’r Jamal (sebuah kota terkenal dekat kota Madinah) lalu seseorang bertemu dengan beliau seraya mengucapkan salam, Nabi tidak menjawabnya hingga beliau menemukan tembok dan mengusap wajah dan tangannya kemudian menjawab salam orang tadi”. (HR. Bukhori no. 337 dan Muslim no. 369).

Tata cara Tayammum.

Tata cara Tayammum secara gamblang dijelaskan dalam hadits Ammar sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّيْ أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ فَقاَلَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فَيْ سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ وَأَمَّا أَناَ فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ  فَقَالَ النَّبِيُّ  إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ هَكَذَا فَضَرَبَ النَّبِيُّ  بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ

Dari Abdurrohman bin Abza berkata: Telah datang seorang laki-laki kepada Umar bin Khottob seraya berkata: “Saya junub sedangkan aku tidak mendapati air”, Amar (bin Yasir) berkata kepada Umar bin Khottob: “Ingatkah engkau ketika kita dahulu pernah dalam suatu safar, engkau tidak sholat sedangkan aku mengguling-guling badanku dengan tanah lalu aku sholat. Setelah itu kuceritakan kepada Nabi kemudian beliau bersabda: “Cukuplah bagimu seperti ini.” Nabi menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah lalu meniupnya dan mengusapkan ke wajah dan telapak tangannya”.(HR. Bukhori no. 338 dan Muslim no.368). Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadz:

التَّيَمُّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ

Tayammum itu satu tepukan untuk wajah dan kedua telapak tangan. (HR. Abu Daud (327) Ahmad (4/263) Tirmidzi (144) Darimi (751) Ibnu Huzaimah dalam Shohihnya (266, 267) dan Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (126) dan dishohihkan oleh Imam Darimi dalam Sunan-nya dan Al-Albani dalam Irwaul Gholil no.161). Hadits diatas memberikan penjelasan kepada kita tentang beberapa perkara:

1. Bolehnya tayammum bagi orang junub. Imam Al-Baghowi mengatakan dalam Syarh Sunnah (1/109-110): “Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah. Salah satunya, bolehnya tayammum bagi orang junub apabila tidak menjumpai air. Ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu. Demikian pula wanita haidh dan nifas apabila telah suci (yang sebenarnya harus mandi) tetapi tidak menjumpai air, hendaknya bertayammum…” (Periksa pula Al-Majmu’ (2/239-240) karya Nawawi, Nailul Author 1/248 karya Syaukani).

2. Anggota tayammum hanyalah wajah dan telapak tangan saja. Inilah pendapat yang benar. Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa tayammum sampai ke siku atau ketiak seluruhnya tidak ada yang shohih sebagaimana dijelaskan secara bagus oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/590-891). Lanjut beliau: “Di antara hal yang memperkuat riwayat Bukhori Muslim yang hanya mencukupkan wajah dan telapak tangan saja adalah fatwa Ammar bin Yasir sepeninggal Nabi bahwa anggota tayammum adalah wajah dan telapak tangan. Tidak ragu lagi, perowi hadits lebih mengerti tentang makna hadits daripada orang selainnya, lebih-lebih seorang sahabat mujtahid (seperti Ammar bin Yasir)”. (Lihat pula At-Talkhis Habir 1/237-239 karya Ibnu Hajar, Nasbu Royah 1/150 karya Az-Zaila’i).

3. Tayammum hanyalah sekali tepukan saja Tidak boleh lebih lantaran seluruh hadits yang menjelaskan bahwa tayammum dua atau tiga tepukan seluruhnya tidak ada yang shohih. Syaikh Al-Albani berkata: “Ketahuilah bahwa dalam sebagian lafadz hadits Ammar terdapat lafadz “dua tepukan” sebagaimana juga terdapat lafadz “siku” pada sebagian riwayat. Semua ini tidak shohih. Dalam kitabnya At-Talkhis hal. 56 Al-Hafidz mengatakan: Berkata Ibnu Abdil Barr: Kebanyakan riwayat hadits yang shohih dari Ammar adalah dengan lafadz “satu tepukan” adapun riwayat yang menyebutkan dengan lafadz “dua tepukan” seluruhnya Mudhtorib (goncang)”. (Lihat Irwaul Gholil (1/185-186). Pendapat satu tepukan ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sebagaimana dinukil Ibnu Mundzir dan beliau memilihnya. (Lihat pula Sailul Jaror 1/133 karya Syaukani dan Tuhfatul Ahwadzi 1/374-384 karya Al-Mubarokfuri).

4. Sunnahnya meniup kedua telapak tangan. Bukhori membuat bab hadits di atas dengan bentuk pertanyaan “Bab: Apakah seorang bertayammum meniup tangannya?”. Adapun Ibnu Huzaimah beliau membuat bab dalam Shohihnya (1/135) dengan tegas “Bab meniup kedua tangan setelah mengusapkannya dengan tanah untuk tayammum”. Imam Ahmad berkata: “ Tidak apa-apa seorang mengerjakan atau meninggalkannya sekalipun debunya hanya sedikit” (Lihat Al-Muqhni 1/324 Ibnu Qudamah). As-Shon’ani juga berpendapat sunnah dalam Subul Salam (1/197). Dalam kitabnya Al-Muhalla (1/368), imam Ibnu Hazm cenderung menguatkan pendapat ini (sunnah).

5. Apakah disyaratkan tertib dalam tayammum? Tertib dalam tayammum tidaklah disyaratkan. Karenanya, maka boleh bagi seorang untuk mendahulukan wajahnya dulu atau mendahulukan telapak tangannya terlebih dahulu. Inilah madzhab imam Malik dan disetujui Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/606 dan As-Shon’ani dalam Subulus Salam 1/196. (Lihat pula Al-Munakholah Nuniyyah hal.28 oleh Syaikh Murod Syukri). Sekalipun mendahulukan wajah lebih utama sebagaimana Alloh mendahulukannya dalam Al-Qur’an.

Tayammum Gantinya Wudhu

Tayammum adalah gantinya wudhu. Hal itu mengandung konsekwensi bahwa hukum asal tayammum menduduki kedudukan wudhu. Karenanya, seorang yang hendak bertayammum diperbolehkan bertayammum sebelum masuk waktu sholat ataupun sesudahnya, untuk melaksanakan sholat fardhu maupun sunnah, untuk menjadi imam maupun makmum sebagaimana halnya dia berwudhu. Hasan Al-Basri berkata: “Tayammum berkedudukan seperti wudhu, apabila anda bertayammum berarti anda seperti berwudhu hingga berhadats”. (HR. Said bin Mansur sebagaimana dalam Fathul Bari1/593).

وَأَمَّ ابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ مُتَيَمِّمٌ

Ibnu Abbas pernah menjadi imam padahal beliau bertayammum. (HR. Bukhori secara muallaq, Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi secara bersambung dengan sanad shohih sebagaimana kata Al-Hafidz Ibnu Hajar). Demikian pula taqrir (persetujuan) Nabi kepada sahabat ‘Amr bin Ash yang sholat bersama para sahabat dengan tayammum sebagaimana hadits di atas tadi. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah yang dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Author(1/252).

Pembatal Tayammum

Pembatal Tayammum sama halnya dengan pembatal wudhu seperti hadats besar maupun kecil, tidur nyenyak, menyentuh farji dan sebagainya. Demikian pula adanya air bagi yang bertayammum karena tidak ada air, serta kemampuan menggunakan air bagi yang bertayammum karena tidak mampu menggunakan air seperti sakit, luka dan lain sebagainya. Adapun sholat yang telah ditunaikan tetap sah dan tidak perlu diulang lagi. Hal ini berdasarkan hadits sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ رَجُلاَنِ فِيْ سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِيْ الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلاَةَ وَالْوُضُوْءَ وَلَمْ يُعِدِ الآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُوْلَ اللهِ  فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِيْ لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلاَتُكَ وَقاَلَ لِلَّذِيْ تَوَضَّأَ وَأَعَادَ لَكَ الأَجْرُ مَرَّتَيْنِ

Dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Ada dua orang laki-laki keluar dalam suatu safar (perjalanan). Kemudian tiba waktu sholat sedang tidak ada air bersama keduanya lalu keduanya bertayammum dengan tanah yang suci sekaligus sholat. Tak lama kemudian, keduanya menjumpai air, maka seorang mengulangi wudhu dan sholatnya sedangkan seorang lainnya tidak mengulangi. Keduanya kemudian datang kepada Rasululloh serta menceritakan halnya, lantas sabda Nabi kepada yang tidak mengulangi sholat: “Engkau telah mencocoki sunnah dan sholatmu sudah cukup” sedangkan sabda beliau kepada yang mengulangi sholat: “Engkau mendapatkan dua pahala”. (HR. Abu Daud (338), Nasai (431), Darimi (750), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (651) dan berkata: Hadits shohih menurut syarat Bukhori Muslim. Ibnu Sakan juga meriwayatkan secara maushul (bersambung) dalam Shohihnya sebagaimana disebutkan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Talkhis1/244).

Tayammum bagi orang terluka

Apabila seorang mempunyai balutan luka maupun patah dan sebagainya, maka tidak ada kewajiban untuk mengusapnya baik dalam wudhu maupun tayammum. Dalilnya adalah firman Alloh:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqoroh: 286) Dan juga sabda Nabi:

إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Apabila aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. (HR. Bukhori no. 7288 dan Muslim no. 369). Berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan hadits di atas, maka hal-hal yang tidak dapat dikerjakan itu gugurlah [AZ2] hukumnya. Bila dikatakan: Mengusap balutan adalah gantinya mengusap anggota badan, maka akan kami jawab bahwa perbuatan tersebut (mengusap balutan) termasuk syari’at sedangkan syari’at adalah Al-Qur’an dan sunnah. Ternyata tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an dan Sunnah untuk mengusap balutan luka atau obat. Dengan demikian maka gugurlah perkataan ini. (Lihat Al-Muhalla 2/74 karya Imam Ibnu Hazm).

Bolehkan menggauli istri ketika tidak ada air?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini tetapi pendapat yang kuat adalah boleh dan tidak dibenci. Dalil bolehnya adalah sebagai berikut: Perkataan Abu Dzar Al-Ghifari: “Saya tidak mendapatkan air dan keluarga saya (istri) bersamaku, ketika aku jinabat aku sholat tanpa bersuci. Mengetahui hal itu, Nabi bersabda: “Tanah yang bersih merupakan alat bersuci”. (HR. Ahmad (5/146-147) Abu Daud (333) Lihat Shohih Sunan Abu Daud (1/99-100) karya Al-Albani). Pendapat boleh ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyib, Jabir bin Zaid, Hasan Al-Basri, Qotadah, Tsauri, Auza’i, Ahmad, Ishaq bin Rohawaih, Abu Hanifah, Syafi’i dan mayoritas ahli hadits.Dipilih oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Hazm. (Lihat Al-Mughni 1/354 karya Ibnu Qudamah, Al-Muhalla 1/365 karya Ibnu Hazm). Imam Nawawi berkata: “Para sahabat kami telah bersepakat tentang bolehnya tanpa ada sedikitpun kebencian”. (Al-Majmu’ 2/241).

Bolehkah Membeli Air Untuk Wudhu[AZ3] ?

Diperbolehkan bagi seorang untuk membeli air untuk wudhu apabila tidak memberatkannya. Demikian ditegaskan Syaikh Al-Albani sebagaimana diceritakan oleh muridnya Husain Al-Awaisyah yang terekam dalam kaset kajian fikih pada dauroh syari’yyah di Yordania. Demikianlah pembahasan tentang tayammum pada edisi kali ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

(Abu Ubaidah Al-Atsari).

Artikel: http://abiubaidah.com/

­­


 [AZ1]arab
 [AZ2]gugurlah
 [AZ3]Berwudhu, donk!

Related posts:

  1. BID’AH-BID’AH DI BULAN RAMADHAN

SHALAT BERJAMAAH

$
0
0

SHALAT BERJAMAAH

Sebuah fakta yang ada di depan mata kita, banyaknya kaum muslimin sekarang yang meremehkan shalat terlebih shalat berjamaah di masjid. Tidak ragu lagi bahwa fakta di atas merupakan kemungkaran yang tidak boleh didiamkan dan diremehkan.

Sebagai seorang muslim kita pasti mengerti tentang kedudukan shalat yang begitu tinggi dalam Islam. Betapa sering Alloh dan RasulNya menyebut kata shalat, memerintah melaksanakannya secara tepat waktu dan berjamaah, bahkan bermalas-malasan darinya merupakan salah satu tanda kemunafikan.

Tanyakan pada hati kita masing-masing, “pantaskah bagi seorannnng muslim meremehkan suatu perkara yang sangat diagungkan oleh Robbnya, nabinya dan agamanya? Apa yang kita harapkan di dunia ini? Bukankah surga yang penuh kenikmatan dan kelezatan yang kita harapkan? Dan siapakah diantara kita yang mau meniru gaya hidup orang-ornag munafiq?

Berikut ini pembahasan singkat tentang shalat berjamaah sebai nasehat dan peringatan bagi saudara-saudara saya seagama. Semoga Alloh menjadikannya bermanfaat bagi kita semua.

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Adz-Dzariyat: 55)

SYARIAT SHALAT BERJAMAAH

Shalat berjamaah bagi muslim laki-laki adalah disyariatkan tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama. Imam Nawawi berkata, “Shalat berjamaah diperintahkan berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan masyhur serta ijma’ (kesepakatan)kaum muslimin. (Al Majmu’ 4/84)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Para ulama bersepakat bahwa shalat berjamaah termasuk amal ibadah dan syi’ar Islam yang sangat agung. Barangsiapa yang beranggapan shalatnya yang sendirian lebih utama dari pada berjamaah maka dia telah keliru dan tersetsat. Lebih tersesat lagi jika beranggapan tidak ada shalat berjamaah kecuali dibelakang imam yang ma’sum sehingga mereka menjadikan masjid sepi dari shalat berjamaah yang diperintahkan Alloh dan RasulNya. Sebaliknya mekera meramaikan masjid dengan kebid’ahan dan kesesatan yang dilarang Alloh dan RasulNya. (Majmu’ Fatawa 23/222 Al Fatawa Al kubro 2/267).

HUKUM SHALAT BERJAMAAH

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat berjamaah sehingga terpolar menjadi empat pendapat (sunnah mu’akkad, fardhu kifayah, fardhu ain dan syarat sah) namun pendapat yang kuat –Wallohu a’lam- pendapat ulama yang mengatakan fardhu ain dikarenakan dalil-dali yang mereka paparkan begitu banyak dan kuat sekali[1] diantaranya:

Dalil Al Qur’an

Alloh berfirman,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan  satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu ( QS. An Nisa’ 102)

Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ain bukan hanya sunnah atau fardhu kifayah,  Seandainya hukumnya sunnah tentu keadaan takut dari musuh adalah udzur yang utama. Juga bukan fardhu kifayah karena Alloh menggugurkan kewajiban berjamaah atas rombongan kedua dengan telah berjamaahnya rombongan pertama. (Kitab Sholah hal. 138, Ibnu Qoyyim)

Al Alamah As- Sinqithi berkata dalam Adwaul Bayan 1/216, “ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang wajibnya shalat berjamaah.”

Alloh berfirman,

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ (QS. Al-Baqarah: 43)

Imam Ibnu katsir berkata dalam tafsirnya 1/162, Mayoritas ulama[2]  berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya wajibnya shalat berjamaah.

DALIL HADITS

Dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan dengan kayu bakar lalu dibakar, kemudian aku memerintahkan agar adzan dikumandangkan. Lalu aku juga memerintah seorang untuk mengimami manusia, lalu aku berangkat kepada kaum laki-laki (yang tidak shalat) dan membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari 644 dan Muslim 651)

Imam Bukhari membuat bab hadits ini “Bab Wajibnya Shalat Berjamaah”. Al-Hafizh  Ibnu Hajar berkata, “hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa shalat berjamaah fardhu ain, sebab jika hukumnya sunnah maka tidak mungkin Rasulullah mengancam orang yang meninggalkannya dengan acaman bakar seperti itu.” (Fathul Bari 2/125).

Ibnu Mudzir [3] juga mengatakan serupa, “Dalam hadits ini terdapat keterangan yang sangat jelas tentang wajibnya shalat berjamaah, sebab tidak mungkin Rasulullah mengancam seorang yang meninggalkan suatu perkara sunnah yang bukan wajib.” (Dinukil Ibnu Qoyyim dalam kitan Sholah hal. 136).

Ibnu Daqiq Al-I’ed berkata, “Para ulama yang berpendapat fardhu ain berdalil dengan hadits ini, sebabb jika hukumnya fardhu kifayah tentunya telah gugur dengan perbuatan Rasulullah dan para sahabat yang bersamanya. Dan seandainya hukunya sunnah tentu pelanggarnya tidak dibunuh. Maka jelaslah bahwa hukunya adalah fardhu ain. (ikamul Ahkam I/164)

Dari Abu Hurairah berkata, “Ada seorang buta [4] datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, tidak ada seorang yang menuntunkuke masjid, adakah keringanan bagiku?” Jawab Nabi, “Ya.” Ketika orang itu berpaling, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Jawab orang itu, “Ya.” Kata Nabi selanjutnya, “kalau begitu penuhilah.” (HR . Muslim 653)

Ibnu Qudamahberkata dalam Al-Mughni2/130, “Kalau nabi saja tidak memberi keringanankepada orang buta yang tidak ada penuntun baginya[5] maka selainya tentu lebih utama.”

Al-Khoththobi berkata dalam Ma’alim Sunnah I/160-161, “Dalam hadits ini tekandung dalil bahwa menghadiri shalat berjamaah adalah wajib. Seandainya hukumnya sunnah niscaya orang yang paling berhak mendapatkan udzur adalah kaum lemah seperi Ibnu Ummi Maktum.”

PERKATAAN SAHABAT

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Alloh besuk (hari kiamat) dalam keadaan muslim, maka hendaknya dia menjaga shalat fardhu dan memenuhi panggilannya, karena hal itu temasuk jalan-jalan petunjuk. Alloh telah mensyaratkan jalan-jalan petunjuk kepada nabi kalian. Seandainya kalian shalat di rumah kalian masing-masing sungguh kalian telah meninggalkan sunnah nabi kalian, niscaya kalian tersesat.

Sungguh tak seorangpun yang berwudzu dengan sempurna lalu pergi ke masjid kecuali Alloh akan menulis atas setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkat satu derajat dan menghapus satu dosa.   Sungguh saya berpendapat bahwa tidak ada yang meninggalkannya (shalat berjamaah) kecuali orang munafik yang sangat nyata atau orang yang sakit. Sungguh ada seorang diantara kami yang datang dengan dipapah oleh dua orang lalu didirikan di shaf (Muslim: 654)

Ibnu Qoyyim menjelaskan, “Segi pendalilannya, Ibnu Mas’ud menggolongkan orang yang meninggalkan jamaah dalam koridor orang-orang munafiq yang nyata sedang tanda munafiq bukanlah dengan meninggalkan perkara sunnah atau melakukan yang makruh.” (Kitab Sholah hal. 146)

Beliau juga menukil atsar-atsar serupa dari sahabat lainya seperti Abu Musa Al-Asy’ari, Ali bin Abi Tholib, Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas, lalu berkata, “inilah ucapan para sahabat –sebagaimana kamu lihat- shohih, masyhur dan menyebar. Tak ada seorangpun dari sahabat yang menyelisinya. Sungguh satu atsar saja sudah cukup sebagai dalil masalah ini (wajibnya shalat berjamaah), lantas bagaimana kiranya apabila dalil tersebut saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya?!!” (Kitab Sholah hal. 146)

Beliau juga menukil atsar-atsar serupa dari sahabat lainya seperti Abu Musa Al-Asy’ari, Ali bin Abu Tholib, Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas, lalu berkata, “inilah ucapan para sahabat –sebagaimana engkau lihat- shahih dan menyebar. Tak ada seorangpun dari sahabat yang menyelisihinya. Sungguh satu atsar saja sudah cukup sebagai dalil masalah ini (waibnya shalat berjamaah) lantas bagaimana kiranya jika dalil tersebut menguatkan satu sama lainnya?! (Kitab Sholah hal. 153-154)

Walhasil shalat berjamaah hukumnya fardhu ain [6] berdasarkan argumen-argumen yang telah kami ketengahkan sebagiannya –dan masih banyak lagi lainnya-. Maka setelah jelas dalil-dalil tersebut diatas, sungguh tidak pantas seseorang untuk mengburkan masalah ini dengan ucapan yang sering kita dengar, “Masalah ini kan diperselisihkan para ulama, kenapa kita mesti ngotot. Bukankah kita harus toleran dan berlapang dada dalam masalah khilafiyah?! Kami katakan, “Kalimatul Haq urida biha bathil (Ucapan benar tap dimaksudkan untuk kebatilan” bukankah alasan di atas hanya untuk……………. Tahukah anda maksud mereka di balik itu?! Sesungguhnya mereka hanya ingin lari dari shalat berjamaah dan merasa sudah banyak pahala, tidakkah mereka membaca ayat Alloh,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan ta’atilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa’: 59)

Yang perlu diketahui bahwasannya sekalipun para ulama berselisih tentang hukum shalat berjamaah, tetapi mereka sepakat bahwa, “Tidak ada rukhsah (keringanan) dalam meninggalkan jama’ah, baik kita katakan sunnah atau wajib/fardhu kifayah kecuali karena udzur umum atau khusus.” (Raudhah Tholibin I/344 oleh Imam Nawawi).

HIKMAH SHALAT BERJAMAAH

Syariat Islam mengandung hikmah yang tinggi dan menakjubkan, tidakada untaian kata yang dapat menerangkan dan akal yang bisa mengunggulinya. Bila kita mengetahui hikmah dari sebuah syari’at tertentu, kita akan semakinmantap sekalipun jika kita tidak mengetahuinya kita tetap wajib mematuhinya.

Diantara hikmah disyariatkannya shalat berjamaah;

1. Mengokohkan persaudaraan sesama muslim

  • Mereka saling mencintai antar sesama, karena kebersamaan dan berkumpulnya mereka di satu tempat, satu ibadah, satu imam.
  • Mereka akan saling mengenal, betapa banyak perkenalan dan persahabatan yang terjalin di masjid.
  • Mereka mempunyai perasaan sama dalam ibadah, tiada perbedaan antara si miskin dan si kaya, petinggi dan petani dan seterusnya.
  • mereka saling membantu dan mengetahui keadaan saudaranya yang fakir atau sakit kemudian berusaha memenuhi dan meringankannya.

2. Menampakkan syiar Islam dan izzah kaum muslimin. Karena syiar Islam yang paling utama adalah shalat. Seandainya kaum muslimin shalat di rumahnya masing-masing, mungkinkah syiar Islam akan tampak?! Sungguh dibalik keluar masuknya umat Islamke masjid terdapat izzah (kemuliaan/kejayaan) yang sangat dibenci musuh-musuh Islam[7].

3. Kesempatan menimba ilmu. Betapa banyak orang mendapat hidayah, ilmu dan cahaya lewat perantara shalat berjamaah.

4. Belajar disiplin (lihat syarh Mumti 4/135-137, Ibnu Utsaimin)

BEBERAPA MASALAH SEPUTAR SHALAT BERJAMAAH

A. Shalat berjamaah bagi wanita

Kaum wanita tidak wajib shalat berjamaah di masjid dengan kesepakatan ulama (Mausu’ah Ijma 2/622). Namun mereka boleh berjamaah di masjid dengan syarat tidak boleh bersolek/berdandan dan memakai parfum. Shalat di rumah lebih baik bagi mereka. (Lihat “Shalat Berjamaah Bagi Wanita “, Majalah AL FURQON Ed 6/II)

Dan disyari’atkan bagi sekumpulan wanita untuk menunaikan shalat secara berjama’ah baik di rumah, ma’had dll dengan kesepakatan ulama. (Al-Majmu 4/96 Nawawi. Al-Muhalla 3/171 Ibnu Hazm). Barangsiapa yang menyelisihi ini maka pendapatnya tertolak. (I’lam Muwaqqi’in 3/357, Ibnu Qoyyim).

Faedah: Posisi imam kaum wanita sesama mereka adalah di tengah-tengah makmum shaf pertamasebagaimana praktekUmmul mukminin Aisyah dan Ummu Salamah. (Lihat Al-Muhalla 3/171-172).

B. BERJAMAAH DI RUMAH?

Ketahuilah bahwa asal syariat shalat berjamaah adalah di masjid, tidak boleh meninggalkan masjid tanpa udzur(Ihkam Ahkam 2/114, Ibnu Daqiq). Ibnu Qoyyim berkata, “Barangsiapa yang mengkaji sunnah dengan seksama, niscaya akan jelas baginya bahwa jamaah di masjid adalah fardhu ain kecuali karena udzur, dengan demikian meninggalkan masjid tanpa udzur seperti halnya meninggalkan jama’ah.” (Kitab Sholah, 166)

C. BATAS MINIMAL SHALAT BERJAMAAH

Batas minimalnya dua orang, semakin banyak semakin utama. Hal ini merupakan kesepakatan ulama sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 2/177 dan Ibnu hubairah dalam al Ifshah I/155.

D. UDZUR TIDAK BERJAMAAH

“Tidak ada rukhsah (keringanan) untuk meninggalkan jamaah, baik kita katakan sunnah atau fardhu kifayah kecuali karena udzur umum atau khusus.” (Raudhah Thalibin I/344 Nawawi).

Contoh udzur umum seperti hujan deras, baik siang atau malam, angin kencang sekali dan udara dingin yang sangat. Para ulama talah bersepakat tentang bolehnya. (Tharhu Tatsrib 2/317, Al-Iraqi)

Contoh udzur secara khusus seperti; sakit parah, takut terhadap dirinya , harta dan kehormatannya. Hal ini tidak ada perselisihan tentang bolehnya. ( Al-Mushanaf  I/351). Contoh lainnya, menahan berak/kencing, dan masih banyak lagi lainnya. Imam Suyuti berkata, “Udzur tidak shalat berjamaah ada empat puluh jenis.” (Al-Asybah wa Nadhoir Hal. 439-440)

E. BOLEHKAH MENINGGALKAN JAMA’AH KARENA KEMUNGKARAN MASJID/IMAM

Sebagian orang terkadang meninggalkan jamaah dengan alasan karena masjid di kampungnya terdapat bid’ah seperti sholawatan/dzikir jama’ah atau semisalnya, maka perlu diketahui bahwa alasan tersebut tidak menghalangi shalat berjamaah. Lihat fatawa Lajnah Daimah 7/305)

Ada juga yang beralasan karena imam shalatnya terjerumus dalam kemaksiatan, dosa dan bid’ah (yang tidakmengkafirkan), maka inipun alasan yang tidak dibenarkan, bahkan sebagaimana kata Hasan Al-bashri ketika ditanya tentang hukum shalat di belakang ahli bid’ah, beliau menjawab, “Shalatlah dan dosa bid’ahnya dia yang menanggungnya.”

Tetapi jika ada masjid/imam yang utama maka itu lebih utama.

F. BERJAMAAH DI BELAKANG TV/RADIO

Termasuk Kebid’ahan modern yang dimunculkan orang-orang pemalas. Perbuatan ini jelas tidak boleh, baik bagi kaum pria maupun wanita, ada udzur maupun tidak sebagaimana fatwa lajnah Daimahno. 2437 tangggal 25/5/1399

PENUTUP

Setelah kita mengetahui bersama hakekat hukum shalat berjamaah, maka merupakan kewajiban bagi setiap untuk memperhatikan masalah ini dengan baik dan bersegera merealisasikannya serta mendakwahkannya kepada anak, keluarga, tetangga dan seluruh saudarnya sesama muslimin untuk menjalankan perintah Alloh dan Rasulullah n/ dan menghindarkan diri dari sifat kaum munafiqin yang telah disifati Alloh dengan sifat-sifat yang jelek , diantaranya adalah malas menjalankan shalat.   Alloh berfirman,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَاقَامُوا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَآءُونَ النَّاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.(QS. An-Nisa’ 142)

Semoga Alloh memberi taufiq kepada kita semua. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 12/18).

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Artikel: http://abiubaidah.com/


Footnote:

[1] Lihat secara luas Kitab Sohlah oleh Ibnu Qoyyim, beliau t/ telah memaparkan 13 dalil dengan pembahasan memuaskan sebagaimana biasanya.

[2] Sebagian ulama ada yang berpendapat abhwa ayat ini tidak menunjukkan wajibnya shalat berjamaah, diantaranya Syaikh Ibnu Utsaimin dalam tafsirnya 1/157. Ajaibnya beliau menyelisihi kedua gurunya As-Sa’di dalam tafsirnya I/59 dan Ibnu Baz dalam fatawanya 12/15. Ajaibnya lagi ketika penulis mengadu masalah ini kepada tiga masayikh kami (murid-murid Ibnu Utsaimin) yaitu Syaikh Abdur Rahman Ad-Dahsy, Syaikh Sami Ash-Shiggir dan Syaikh Khalid Al-Muslih. Pertama menegaskan bisa dijadikan hujjah, kedua menegaskan tidak bisa dijadikan hujjah ketiga mengatakan bisa tapi tidak secara jelas, namun hanya isyarat!!!

[3] Berkata iImam Nawawi dalam Majmu 4/86, “Pendapat ketiga: Fardhu ain tetapi bukan syrat sah shalat. Hal ini merupakan pendapat dua pakar madzhab Syafi’i  yang mapan dalam bidang fiqih dan hadits, yaitu Abu Bakar bin Khuzaimah, dan Ibnu Mudzir.”

[4] Imam Nawawi berkata, “Maksud orang buta di sini adalah Ibnu Ummi Maktum, sebagaimana ditafsurkan dalam riwayat Abu Dawud dan selainnya.” (Syarah Musli 5/157)

[5] “Bahkan jalannya abnyak pohon dan bebatuab sebagaimana dalam riwayat yang shahih. Apakah setelah ini dikatakan bahwa shalat berjamaah tidak wajib?” (Lihat Tamamul Minnah hal. 275 oleh Al-Albani.

[6] Pendapat inilah yang dikuatkan oleh para ulama sunnah abad ini, seperti Syaikh Ibnu Baz dalam fatawanya 12/14, Al Albani dalam Tamamul Minnah hal 275 dan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh Mumti’ 4/133.

[7] Di bulan Ramadhan , di hari-hari shalat tarawih, dimana kaum muslimin dan muslimat banyak berbondong-bondong ke masjid, sering kali hati penulis trennyuh dengan pemandangan tersebut dan berandai-andai, “Aduhai seandainya semua bulan seperti bulan Ramadhan.”

No related posts.


SUCI dengan AIR

$
0
0

SUCI dengan AIR

 

Air merupakan alat thoharoh (bersuci) yang paling dominan. Karenanya, hampir seluruh kitab fiqih, selalu diawali dengan pembahasan air terlebih dahulu. Berikut ini pembahasan tentang air secara ringkas.

 A. Air Mutlak

Air mutlak adalah  air asli dari sumbernya baik turun dari langit atau keluar dari bumi, yang bila disebut lafadz air berarti itulah maksudnya. Seperti: air hujan, air laut, air sungai, air telaga, air sumur dan sebagainya. Hukum air ini adalah suci dan mensucikan  bagaimanapun rasa, warna dan baunya. Baik asin rasanya, keruh warnanya maupn tidak sedap aromanya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut:

Dalil Al-Qur’an:

وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً طَهُورًا

Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih (QS. Al-Furqon: 48)

Dalil Hadits

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ  يَقُوْلُ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ  فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيْلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِهِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Dari Abu Hurairah berkata: Telah datang seorang laki-laki kepada Rosululloh n seraya bertanya: Wahai Rosululloh n, sesungguhnya kami berlayar di lautan dan kami hanya membawa sedikit air, bila kami berwudhu dengan air tersebut maka kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut? Rosululloh n menjawab: Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (Shohih. Diriwayatkan Malik dalam Al-Muwatho’ (1/22) Syafi’i dalam Al-Umm (1/16) Ahmad (2/237,361, 392) Abu Daud (83) Tirmidzi (69) Nasa’i (59) Ibnu Majah (386) Darimi (735) Ibnu Huzaimah (111) Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo’ (43) Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (505) Al-Baghowi dalam Syarh Sunnah (281) dan dishohihkan Bukhori, Tirmidzi, Ibnu Huzaimah, Ibnu Mandah, Al-Hakim, Ibnu Hazm, Baihaqi, Abdul Haq dan lain-lain sebagaimana diceritakan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Tahdzib (5/489). Lihat pula Irwa’ul Gholil  (no.9) dan As-Shohihah (480) oleh Al-Albani).

Dalil Ijma’

Al-Allamah Shidiq Hasan Khon berkata dalam Ar-Roudhoh Nadiyyah (1/53): “Tidak ada perselisihan kalau air mutlak adalah suci dan mensucikan sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ serta hukum asal”.

B. Air Musta’mal

Air Musta’mal yaitu …………….Para ulama berselisih pendapat tentang hukum air musta’mal ini, apakah suci atau tidak? Pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa air musta’mal adalah suci dan mensucikan berdasarkan dalil-dalil yang banyak sekali, diantaranya:

عَنْ أَبِيْ جُحَيْفَةَ يَقُوْلُ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ  بِالْهَاجِرَةِ فَأُتِيَ بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُوْنَ مِنْ فَضْلِ وَضُوْئِهِ فَيَتَمَسَّحُوْنَ بِهِ

Dari Abu Juhaifah berkata: Rosululloh pernah keluar kepada kami pada siang hari, beliau diberi tempat wudhu dan berwudhu dengannya lalu manusia (para sahabat) mengambil sisa air wudhunya dan mengusapkan dengannya. (HR. Bukhori no.187).

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (1/395): “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas akan sucinya air musta’mal”.

عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ أَنَّ النَّبِيَّ  مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِيْ يَدِهِ

Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidh bahwasanya Nabi  mengusap kepalanya dengan sisa air yang ada di tangannya. (HR. Abu Daud (130) dan dihasankan Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Daud (1/45).

عَنْ جَابِرٍ يَقُوْلُ جَاءَ رَسُوْلُ اللهِ يَعُوْدُنِيْ وَأَنَا مَرِيْضٌ لاَ أَعْقِلَ فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَيَّ مِنْ وَضُوْئِهِ فَعَقَلْتُ…

Dari Jabir bin Abdillah  berkata: Rosululloh pernah mengunjungiku ketika saya sakit, tidak sadarkan diri (pingsan) lalu beliau berwudhu dan menuangkan kepadaku dari tempat wudhunya tadi. (HR. Bukhori no.194 Muslim no.1616).

Pendapat tentang sucinya air musta’mal ini dikuatkan oleh sejumlah para ulama salaf terdahulu maupun sekarang seperti Hasan Bashri, Ibrohim Nakho’i, Atho bin Abi Robah, Sufyan Tsauri, Abu Tsaur dan seluruh Dhohiriyyah serta sebuah riwayat dari Imam Ahmad dan Syafi’i sebagaimana diceritakan Imam Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (1/182) dan membelanya. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam Syaukani dalam Nailul Author (1/22) dan Al-Albani dalam Ats-Tsamarul Mustatob (1/5).

C. Bila Air Tercampur Barang Suci

Apabila air tercampur dengan sesuatu yang suci, seperti: minyak wangi, sabun, tepung dan sejenisnya maka hukumnya tidak lepas dari dua keadaan:

1. Apabila kemutlakan air masih terjaga, maka hukumnya suci dan mensucikan berdasarkan dalil sebagai berikut:

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الأَنْصَارِيَّةِ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ  حِيْنَ تُوُفِّيَتْ اِبْنَتُهُ فَقَالَ اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِيْ الآخِِرَةِ كَافُوْرًا  أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُوْرٍ

Dari Ummu ‘Athiyyah Al-‘Anshoriyyah berkata: Rosululloh n pernah masuk pada kami ketika putrinya meninggal dunia seraya bersabda: Bersihkanlah tiga kali atau lima kali atau lebih bila kalian memandang perlu dengan air dan daun bidara. Dan campurlah basuhan terakhir dengan kafur (minyak wangi). (HR. Bukhori no.1258 dan Muslim no.939).

عَنْ أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  اغْتَسَلَ هُوَ وَمَيْمُوْنَةُ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فِيْ قَصْعَةٍ فِيْهَا أَثَرُ الْعَجِيْنِ

Dari Ummu Hani’ berkata: “Saya melihat rasululloh  pernah mandi bersama Maimunah dari satu bejana yang tercampur tepung. (HR. Ibnu Khuzaimah (240), Nasa’i (240), Ibnu Majah (378) Ibnu Hibban (227-Mawarid) dan Ahmad (6/342) dengan sanad shohih sebagaimana dikatakan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil (1/64) dan Al-Misykah (485) ).

Dalam hadits-hadits ini terdapat campuran antara air dengan minyak wangi dan antara air dengan tepung. Tetapi campurannya tidak sampai menyebabkan hilangnya kemutlakan air. Oleh karenanya, boleh bersuci dengan air tersebut sebagaimana pendapat mayoritas ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/25).

2. Apabila kemutlakan air tidak terjaga seperti air susu, air teh, air kelapa, air sirup, air kopi dan lain sebagainya maka hukumnya suci tapi tidak mensucikan. Imam Ibnu Qudamah berkata: “Kami tidak mendapati perselisihan pendapat dalam masalah ini di kalangan ahli ilmu yang kami ketahui”. (Lihat Al-Mughni: 1/25).

D. Bila Air Tercampur Barang Najis

Apabila air tercampur dengan sesuatu yang najis maka hukumnya tidak luput dari dua keadaan:

1.  Apabila air yang tercampur dengan barang najis tadi berubah rasa, warna dan baunya maka tidak boleh bersuci dengan air tersebut berdasarkan ijma’ para ulama sebagaimana dinukil oleh Ibnu Mundzir dalam Al-Ijma’ (10) Nawawi dalam Al-Majmu’ (1/110) dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/53) dan lain-lain.

Adapun hadits yang berbunyi:

إِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ إِلاَّ إِنْ تَغَيَّرَ رِيْحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيْهَا

Sesungguhnya air itu suci kecuali apabila berubah baunya, rasanya dan warnanya dengan najis yang mengenainya..

Hadits ini adalah lemah dengan kesepakatan ahli hadits seperti Nawawi dalam Al-Majmu’ (1/110-111) Baihaqi dalam Sunan Kubro (1/260) Daruqutni dalam Sunannya (1/28-29) dan Az-Zaila’i dalam Nashbur Royah (1/94-95).

2.  Apabila air tercampur yang tercampur dengan barang najis tadi tidak berubah warna, rasa, dan baunya. Hukum air semacam ini suci dan mensucikan berdasarkan dalil sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ  أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةٍ وَهِيَ بِئْرُ يُطْرَحُ فِيْهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلاَبِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  الْمَاءُ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Dari Abu Said Al-Khudry berkata: Rosululloh pernah ditanya: Bolehkan kita bewudhu dari air Budho’ah yaitu sumur yang padanya terdapat kain darah haidh, kotoran dan daging anjing? Rosululloh menjawab: Air itu suci, tidak dinajiskan oleh sesuatupun. (Shohih. Diriwayatkan Ahmad dalam Musnadnya (3/15, 31, 86) Abu Daud (96) Tirmidzi (66) Nasa’i (325) Daruqutni (1/30-32) Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (47) Al-Baghowi dalam Syarh Sunnah (283). Tirmidzi berkata: Hadits hasan. Dan dishohihkan Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main dan Ibnu Hazm sebagaimana dalam At-Talkhis (1/18) dan dishohihkan Syaukani, Ahmad Syakir dan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil no.14).

Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Bashri, Said bin Musayyib, Ikrimah, ibnu Abi Laila, Sufyan Tsauri, Daud dzohiri, Nakho’i, Malik dan sebuah riwayat dari Ahmad serta dipilih oleh sebagian Syafi’iyyah. Al-Ghozali berkata: “Saya suka jikalau madzhab Syafi’i dalam masalah air seperti madzhab Malik”. (Lihat Fiqih Sunnah (1/20) oleh Syaikh Sayyid Sabiq). Dan tidak ada perbedaan baik airnya sedikit maupun banyak, lain halnya dengan  pendapat-pendapat yang mensyaratkan adanya syarat-syarat lain. (Lihat Al-Munakholah Nuniyyah (hal.13) oleh Syaikh Murod Syukri).

E. Air Musyammaas

Hukum asal air adalah suci sebagaimana dinyatakan oleh para ulama. Demikian pula air musyammas hukumnya adalah suci karena tidak ada dalil yang mengeluarkannya dari kesucian. Adapun hadits ‘Aisyah x bahwasanya dia pernah berkata: Rosululloh n masuk kepadaku ketika aku tengah sedang memanaskan air di matahari maka Nabi bersabda:

لاَ تَفْعَلِيْ يَا حُمَيْرَاءُ فَإِنَّهُ يُوْرِثُ الْبَرَصَ

Janganlah engkau lakukan hal itu wahai Humairo’.  Sebab hal  itu akan mengakibatkan penyakit kudis.

Hadits tidak dapat dijadikan hujjah karena sanadnya tidak shohih. Imam Nawawi berkata dalam Al-Majmu’ (1/133): “Hadits ini lemah dengan kesepakatan ahli hadits”. Kemudian lanjut beliau: “Pendapat sucinya air musyammas adalah pendapat yang benar dan sesuai dengan dalil serta sesuai dengan pendapat Syafi’i karena beliau berkata dalam Al-Umm: “Saya tidak membenci air musyammas kecuali dari segi kesehatan”. Demikian saya (Nawawi) melihat di kitab Al-Umm dan dinukil oleh Baihaqi dalam kitab Ma’rifah Sunan Wal Atsar dengan sanadnya sampai kepada Syafi’i. Inilah yang kami yakini dalam masalah ini. Dan madzhab Malik, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama berpendapat bahwa air musymamas tidak dibenci. Inilah pendapat yang terpilih”. (Lihat pula At-Talkhis (1/27) oleh Ibnu Hajar dan Irwa’ul Gholil (1/50-54) oleh Al-Albani).

Bahkan kita mendapati beberapa atsar yang mengisyaratkan tentang sucinya air musyammas.

عَنْ أَسْلَمَ مَوْلَى عُمَرَ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يُسَخَّنُ لَهُ مَاءٌ فِيْ قُمْقُمٍ فَيَغْتَسِلُ بِهِ

Dari Aslam maula Umar menceritakan bahwa pernah dipanaskan air untuk Umar  di sebuah bejana  lalu beliau mandi dengan air tersebut. (Dikeluarkan Daruqutni (14) dan Baihaqi dalam Sunannya (1/6) dishohihkan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil no.16).

عَنْ أَيُّوْبٍ قَالَ سَأَلْتُ نَافِعًا عَنِ الْمَاءِ الْمُسَخَّنِ فَقَالَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَتَوَضَّأُ بِالْحَمِيْمِ

Dari Ayyub berkata: “Saya bertanya kepada Nafi’ tentang air yang dipanaskan. Maka dia menjawab: Ibnu Umar pernah berwudhu dengan air panas”. (Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (1/3) dan dishohihkan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 17).

Sahabat Salamah bin Akwa’ juga pernah memanaskan air lalu berwudhu dengannya. (Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dan dishohihkan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 1/31).

Bila dikatakan: “Atsar-atsar di atas hanya menunjukkan air yang dipanaskan dengan api bukan dengan matahari”. Kami akan menjawab: “Benar… Tapi apa bedanya api dengan matahari? Bukankah keduanya sama-sama suci?!”.

Demikian pembahasan air secara ringkas. Semoga bermafaat.

(Abu Ubaidah Al-Atsari).

Related posts:

  1. Ada Apa Dengan Bank Konvensional?
  2. Sujud Dengan Tangan Atau Lutut Dahulu?
  3. Kita Tidak Mungkin Bersatu dengan Allah !!!

Sekelumit Tentang Sutrah

$
0
0

Sekelumit Tentang Sutrah

Oleh Abu Ubaidah Al-Atsari Rubrik Fiqih Sebagaimana dimaklumi bersama, shalat merupakan amal ibadah yang sangat agung dan mulia. Betapa tidak, Alloh dan RasulNya selalu menyebutnya, memuji orang-orang yang menegakkannya dan mengancam keras orang-orang yang melalaikannya, lebih-lebih meninggalkannya. Terlalu panjang masalah ini uraiannya! Setiap muslim dan muslimah pasti mendambakan agar shalatnya diterima oleh Alloh. Namun bagaimanakah caranya agar amal ibadah ini diterima olehNya, berpahala, dan tak sia-sia belaka?! Sebagaimana lazimnya seluruh ibadah, shalat seorang hamba sia-sia kecuali memenuhi dua syarat: Pertama: Ikhlas.[1] Seorang harus benar-benar memurnikan niatnya hanya untuk Alloh, bukan karena pamrih kepada manusia, bangga terhadap dirinya, atau penyakit hati lainnya. Syarat ini, sekalipun memang berat—bahkan lebih sulit dari syarat kedua—tetapi barangsiapa yang berusaha dan bersungguh-sungguh, niscaya akan dimudahkan oleh Alloh. Kedua: Al-Ittiba’. Seorang harus berupaya untuk mencontoh tata cara shalat yang telah dituntunkan oleh Nabi yang mulia. Hal ini sebagaimana tertera dalam hadits:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ

Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad) Konsekuensi syarat kedua ini adalah ilmu. Sebab bagaimana mungkin kita akan dapat shalat sesuai tuntunan Nabi padahal kita tidak mengilmuinya?! Di antara petunjuk Nabi dalam shalat adalah “sutrah”. Mengingat begitu pentingnya masalah ini dan terabaikannya sunnah ini di lapisan mayoritas masyarakat kita sekarang, maka penulis terdorong untuk membahasnya, sekalipun secara ringkas. Definisi Sutrah[2] Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan oleh seorang yang shalat di depannya sebagai pembatas antaranya dengan orang yang lewat di depannya. Perintah Bersutrah Ketahuilah wahai saudaraku yang mulia—semoga Alloh menambahkan ilmu bagimu—bahwasanya Nabi selalu menjadikan sutrah dalam shalatnya, baik ketika safar ataupun tidak, di bangunan atau tanah lapang, di masjid, di rumah, dan sebagainya. Beliau terkadang bersutrah dengan tembok, tiang, ranjang, pelepah kurma, dan sebagainya. Tak hanya itu, Nabi juga memerintahkan secara lisan sebagaimana tertera dalam banyak hadits, di antaranya:

عَنِ ابْنِ عُمَرَقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبىَ فَلْتُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ

Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda, “Janganlah engkau shalat kecuali menghadap sutrah dan janganlah engkau biarkan seorangpun lewat di depanmu. Apabila dia enggan, maka perangilah[3] karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan).”(Muslim 260)

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَالْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ

Dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Rasulullah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat, maka hendaknya dia bersutrah dan mendekat kepadanya. Dan janganlah dia membiarkan seorangpun lewat di depannya, apabila dia enggan maka perangilah karena dia adalah setan.”(HR. Abu Dawud 697, Ibnu Majah 954, dll. dengan sanad hasan)

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلىَ سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ. وَفيِ لَفْظٍ عِنْدَ ابْنِ خُزَيْمَةَ: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ وَلْيَقْتَرِبْ مِنَ السُّتْرَةِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ

Dari Sahl bin Abu Hatsmah dari Nabi bersabda, “Apabila seorang di antara kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaknya dia mendekat pada sutrah, janganlah setan memotong shalatnya.” (Shahih. Riwayat Ibnu Abi Syaibah 1/279, Ahmad 4/2, Abu Dawud 695, dan lain-lain). Dan dalam lafazh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2/10, “Apabila salah seorang di antara kalian shalat, maka hendaknya dia bersutrah dan mendekat padanya, karena setan lewat di depannya.” Hadits-hadits di atas menjelaskan secara gamblang disyari’atkannya bersutrah, baik dia imam atau shalat sendirian, dan baik di bangunan atau tanah lapang sebagaimana disepakati oleh para ulama, seperti dinukil oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid 1/116, Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ hal. 30, Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 4/197, An-Nawawi dalam Al-Majmu’ 3/209, Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 2/237, dan As-Saffarini dalam Syarh Tsulatsiyat Ahmad 2/786. Bahkan lebih dari itu, sebagian ulama berpendapat wajibnya bersutrah sebagaimana madzhab Imam Ahmad, Abu Awanah, Ibnu Habib Al-Maliki, Ibnul Majisyun, Mutharrif, Mahmud As-Subuki, Al-Albani, dll. (Lihat Ithaf Al-Ikhwah bi Ahkam Shalat ila Sutrah hal. 102-113, Farikh bin Shalih Al-Bahlal) Berkata Imam Asy-Syaukani tatkala mengomentari hadits Abu Sa’id di atas, “Hadits ini menunjukkan bahwa bersutrah hukumnya wajib.” (Nailul Authar 2/4). Beliau juga berkata, “Zhahir perintah menunjukkan wajib, kalau memang dijumpai dali yang memalingkannya kepada sunnah, maka hukumnya sunnah.” (Sailul Jarrar 1/176) Salaf dan Sutrah Syari’at dan sunnah[4] yang mulia ini menempati posisi yang tinggi dalam hati para salaf dari kalangan sahabat Nabi. Hal ini tak aneh, lantaran mereka adalah generasi yang dikenal sangat mengagungkan perintah Nabi dan bersegera dalam pelaksanaannya. Semua itu buah keikhlasan dan kejujuran mereka dalam cinta kepada Alloh dan RasulNya. Dari Anas berkata, “Aku melihat para sahabat Nabi mengerumuni tiang-tiang ketika Maghrib sampai Nabi keluar.” (HR. Bukhari 503). Dalam lafazh lainnya, “Dalam keadaan seperti itu, mereka melakukan shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari 625) Dalam atsar ini, Anas menceritakan dari sahabat dalam waktu yang sempit ini mereka mengerumuni tiang-tiang untuk menjalankan shalat sunnah sebelum Maghrib. Dari Qurrah bin Iyas berkata: Umar (bin Khaththab) pernah melihatku shalat di antara dua tiang, lalu dia memegang tengkukku dan mendekatkanku ke sutrah, seraya berkata: “Shalatlah menghadapnya.” (HR. Bukhari 1/557) Abdullah bin Mas’ud berkata, “Empat perkara termasuk kelalaian: seorang yang shalat tidak menghadap sutrah … atau mendengar adzan tetapi tidak memenuhinya.” (Shahih. Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/61 dan Al-Baihaqi 2/285) Perhatikanlah! Bagaimana beliau menyandingkan shalat seorang tanpa sutrah dengan tidak memenuhi panggilan adzan! Dari Nafi’ berkata: Adalah Ibnu Umar z/ apabila tidak mendapati peluang tiang masjid, maka beliau mengatakan kepadaku, “Berikan pundakmu padaku (untuk sutrah–pent).” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 1/279 dengan sanad shahih) Dan adalah Salamah bin Al-Akwa’ meletakkan beberapa batu di tanah lapang. Apabila dia ingin shalat, maka dia shalat menghadapnya. (Ibnu Abi Syaibah 1/279 dengan sanad shahih) Atsar-atsar seperti ini masih banyak. Tetapi cukuplah sebagian di atas sebagai ibrah bagi kita. Manfaat Sutrah Syari’at menjadikan sutrah dalam shalat ini memiliki beberapa manfaat, di antaranya: 1. Melaksanakan perintah Nabi dan mengikuti petunjuk beliau yang merupakan kebaikan di dunia dan akhirat. Alloh berfirman:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِّنْهُمْ ۖ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا ﴿٦٦

Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). (QS. An-Nisa’: 66) 2. Menjadikan pandangan seorang yang shalat terpusat padanya dan tidak melayang ke mana-mana, sehingga dia betul-betul menghadirkan hatinya dengan penuh kekhusyukan. 3. Menutupi kekurangan shalat seorang dan mencegah setan untuk lewat di depannya dan merusak shalatnya. 4. Sebagai tanda bagi manusia bahwa seorang sedang dalam shalat. 5. Menghindarkan manusia agar tidak terjatuh dalam larangan melewati orang yang sedang shalat. 6. Memperirit tempat shalat dan memberikan tempat selebihnya kepada yang lain. (Lihat Syarh Al-Mumti’ 3/275 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin) Demikian beberapa faedah yang dapat dipetik. Namun bagi seorang muslim hendaknya yakin seyakin-yakinnya bahwa seluruh hukum Alloh dan RasulNya pasti membawa maslahat dan menyimpan faedah, baik kita ketahui atau tidak. Bahkan seorang yang mengamalkan suatu hukum karena pasrah dan tunduk kepada pembuat syari’at sekalipun dia tidak mengetahui faedahnya, lebih baik daripada seorang yang mengamalkannya hanya karena faedah yang ada padanya. Wallahu A’lam. Ukuran Sutrah Tentang ukurannya, telah dijelaskan dalam berbagai hadits, di antaranya:


عَنْ طَلْحَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ

: إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُأَخِّرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَلاَ يُبَالِيْ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ

Dari Thalhah / berkata: Rasulullah n/ bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian meletakkan di depannya semisal kayu yang terletak di belakang kendaraan (untuk sandaran) maka hendaknya dia shalat dan tidak usah menghiraukan orang yang lewat di belakang benda tersebut.”(Muslim 499)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ فيِ غَزْوَةِ تَبُوْكٍ عَنْ سُتْرَةِ الْمُصَلِّيْ فَقَالَ: كَمُأَخِّرَةِ الرَّحْلِ

Dari Aisyah  berkata: Rasulullah pernah ditanya pada perang Tabuk tentang sutrah bagi orang shalat, maka beliau menjawab, “Semisal kayu yang terletak di belakang kendaraan yang dijadikan sandaran oleh pengendaranya.”(Muslim 500)


عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ

: إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرْهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّةُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الأَسْوَدُ

Dari Abu Dzar berkata: Rasulullah  bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat, maka sesungguhnya sutrahnya adalah jika di depannya semisal kayu yang terletak di belakang kendaraan. Dan apabila tidak ada di depannya semisal kayu yang terletak di belakang kendaraan, maka shalatnya akan terpotong oleh khimar (keledai), wanita, dan anjing hitam.” (Muslim 510) Hadits-hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang ukuran panjang sutrah, yaitu seukuran kayu yang diletakkan di belakang kendaraan. Tidak boleh kurang apabila mampu. Sebab ketika Nabi ditanya tentang sutrah, beliau menjawab dengan semisal kayu yang terletak di belakang kendaraan. Seandainya boleh kurang darinya, tentu Nabi tidak mungkin menyembunyikannya. Kayu yang diletakkan di belakang kendaraan seukuran satu hasta sebagaimana ditegaskan Atha’, Qatadah, Tsauri, dan Nafi’. (Lihat Al-Mushannaf 2/9, 14, 15 dan Shahih Ibnu Khuzaimah 2/11). Dan satu hasta yaitu ukuran dari siku lengan sampai ujung jari tengah (Lisanul Arab 3/1495) atau seukuran 46,2 cm (Mu’jam Lughah Al-Fuqaha’ hal. 450-451) Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan ukuran di sini adalah panjang, bukan lebarnya. Imam Ibnu Khuzaimah berkata, “Telah tegak dalil hadits Nabi bahwasanya maksud beliau dengan seukuran kayu di belakang kendaraan adalah panjangnya, bukan lebarnya. Di antaranya, bahwa beliau menancapkan tombak sebagai sutrah, padahal lebarnya tombak tidak seukuran dengan kayu di belakang kendaraan.” (Shahih Ibnu Khuzaimah 2/12) Dari sini dapat diambil faedah bahwa tidak boleh bersutrah dengan garis kalau dia mampu bersutrah dengan benda lainnya seperti tongkat, barang, kayu, dan sebagainya, hatta sekalipun dia harus menumpuk bebatuan seperti dilakukan sahabat Salamah bin Al-Akwa’. (Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/278) Perlu disampaikan pula di sini bahwa hadits tentang sutrah dengan garis adalah lemah menurut pendapat terkuat. Seandainya shahih, maka hal itu merupakan usaha terakhir sebagaimana sangat jelas dari konteks hadits tersebut. (Lihat kembali majalah Al-Furqon Edisi 8/Th. III hal. 6) Mendekat ke Sutrah Dalam hadits-hadits yang telah kami nukilkan di awal terdapat keterangan tentang perintah Nabi untuk mendekat ke sutrah. Oleh karenanya, hendaknya hal ini diperhatikan dan tidak disepelekan. Ada sebuah kisah menarik dalam masalah ini, diceritakan Imam Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 5/87 dan Al-Khaththabi dalam Ma’alim Sunan 342 bahwasanya suatu hari Imam Malik pernah shalat jauh dari sutrah, lalu lewatlah seseorang yang tidak mengenalnya seraya berkata, “Wahai orang yang shalat, mendekatlah ke sutrahmu!” Maka Imam Malik lalu maju ke depan, sedangkan beliau saat itu membaca ayat:

وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّـهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّت طَّائِفَةٌ مِّنْهُمْ أَن يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ ۖ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِن شَيْءٍ ۚ وَأَنزَلَ اللَّـهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّـهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا ﴿١١٣

Dan (Alloh) telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Alloh sangat besar atasmu. (QS. An-Nisa’: 113) Jarak Dengan Sutrah


 عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُوْلِ اللهِ

 وَبَيْنَ الْجِدَارِ مَمَرَّ شَاةٍ. وَفيِ رِوَايَةٍ كَانَ بَيْنَ مَقَامِ النَّبِيِّ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مَمَرَّ عَنْزٍ

Dari Sahl bin Sa’ad berkata, “Jarak antara tempat shalat Rasulullah dengan dinding adalah seukuran tempat lewatnya kambing.” (HR. Bukhari 1/574 dan Muslim 4/225). Dalam riwayat lain, “Jarak antara tempat berdirinya Nabi dengan kiblat adalah seukuran tempat berlalunya domba.” (Shahih. Abu Dawud 1/11) Keadaan ini adalah yang sering dipraktekkan Nabi karena hadits di atas adalah menceritakan tentang kejadian di masjid beliau. Dengan demikian, berarti jarak dengan sutrah sangat dekat, sehingga tatkala sujud, kepala berdekatan dengan sutrah. Tidak ragu lagi, bahwa ini lebih utama karena dua sebab: Pertama: Melaksanakan perintah mendekat kepada sutrah. Kedua: Memperirit tempat shalat sehingga bisa digunakan oleh yang lain. Sekalipun ini adalah yang afdhal, namun boleh bagi seseorang untuk bersutrah lebih dari itu, hingga batas maksimalnya adalah tiga hasta sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi juga ketika shalat di Ka’bah. (Bukhari 1/579) Imam Nawawi berkata, “Para sahabat kami (madzhab Syafi’i) mengatakan: Hendaknya seseorang mendekat ke sutrahnya dan tidak lebih dari tiga hasta jarak antaranya dengan sutrah.” (Syarh Shahih Muslim 4/217) Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ad-Dawudi mengkompromikan bahwa batas minimalnya adalah seukuran tempat berlalunya domba, sedang jarak maksimalnya adalah tiga hasta.” (Fathul Bari 1/575) Imam Ibnu Hazm berkata, “Para ulama sepakat bahwa seorang yang mendekat ke sutrahnya dengan jarak antara seukuran lewatnya domba sampa tiga hasta, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (Maratibul Ijma’ hal. 30) Sutrah Imam, Sutrahnya MakmumMakmum tidak berkewajiban bersutrah karena sutrah dalam shalat jama’ah merupakan tanggung jawab imam. Dan karena para sahabat shalat bersama Nabi, namun tidak dinukil kalau mereka membuat sutrah. Jangan ada yang berkeyakinan bahwa setiap makmum sutrahnya adalah makmum di depannya, karena hal itu tidak ada bagi makmum shaf pertama, kemudian konsekuensinya, setiap makmum harus mencegah orang yang lewat di depannya, padahal telah shahih dalil yang menyelisihinya.


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جِئْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ عَلَى أُتَانٍ وَرَسُوْلُ اللهِ

 بِعَرَفَةَ فَمَرَرْنَا عَلَى بَعْضِ الصَّفِّ فَنَزَلْنَا فَتَرَكْنَاهَا تَرْتَعُ وَدَخَلْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ فيِ الصَّلاَةِ فَلَمْ يَقُلْ لَنَا رَسُولُ اللهِ  شَيْئًا وَفيِ رِوَايَةٍ  أَنَّ اْلأُتَانَ مَرَّتْ بَيْنَ يَدَيِ اْلصَّفِّ اْلأَوَّلِ

Dari Ibnu Abbas berkata, “Saya pernah datang bersama Fadhl dengan mengendarai keledai ketika Rasulullah di Arafah. Lalu kami melewati sebagian shaf kemudian turun, dan kami biarkan keledai tersebut makan rumput, lalu kami ikut bergabung shalat bersama Nabi. Nabi tidak mengatakan sesuatupun kepada kami (tidak mengingkari).” (Muslim 504). Dalam riwayat Bukhari 1857: “Bahwasanya keledai melewati di depan shaf pertama.” Dalam hadits ini, Ibnu Abbas dan Fadhl melewati di shaf pertama dengan kendaraan keledai betina, lalu tidak ada seorangpun dari sahabat yang mencegahnya atau mencegah keledainya. Demikian pula Nabi tidak mengingkarinya. Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits Ibnu Abbas ini mengkhususkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Apabila salah seorang di antara kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seorangpun lewat di depannya.’Karena hadits Abu Sa’id khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Adapun  makmum maka tidak memadharatkannya berdasarkan hadits Ibnu Abbas ini.” Lalu lanjut beliau, “Semua ini tidak ada perselisihan di kalangan ulama.” (Fathul Bari 1/572)

Beberapa Faedah dan Masalah

1.  Adakah perbedaan antara sutrah di bangunan dan di tanah lapang? Tidak ada. Imam Asy-Syaukani berkata, “Ketahuilah bahwa zhahir hadits-hadits menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara tanah lapang dan bangunan.” (Nailul Authar 3/6) 2.  Bila merasa aman tidak ada yang akan lewat di depannya, tetapkah bersutrah? Ya. Imam As-Saffarini berkata, “Ketahuilah bahwasanya disunnahkan bersutrah dalam shalat dengan kesepakatan ulama sekalipun tidak dikhawatirkan adanya orang yang lewat.” (Syarh Tsulatsiyat Ahmad 2/278) 3.  Apabila bersutrah dengan orang atau hewan lalu dia pergi, bolehkan berjalan mendekat ke sutrah? Ya, boleh. Berdasarkan keumuman hadits dan didukung oleh beberapa atsar dari salaf, kecuali apabila membutuhkan gerakan yang banyak, maka cukup dia berdiri di tempatnya dan mencegah orang yang lewat semampunya. Inilah yang dipilih oleh Imam Malik, Ibnu Rusyd, dan juga Syaikh Al-Albani. (Lihat kembali majalah Al-Furqon Edisi 8/Th. III hal. 5) 4.  Bagaimana apabila di Masjidil Haram, apakah tetap disyari’atkan sutrah?Ya, tidak ada perbedaan, bahkan telah shahih dalam riwayat Imam Bukhari 3/467 dari Ibnu Abi Aufa bahwa Rasulullah n/ tatkala umrah dan thawaf di Ka’bah, dan shalat di belakang maqam dua rakaat dan bersamanya ada orang yang menjadi sutrah untuknya. Dan inilah yang dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik  dan Ibnu Umar kecuali kalau memang dalam kondisi berdesakan sekali, maka sebagaimana firman Alloh:

فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ

Maka bertakwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu. (QS. At-Taghabun: 16) 5.  Bolehkah melewati orang yang sedang shalat?!Tidak boleh, bahkan termasuk dosa besar. Rasulullah bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ اْلمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ اْلمُصَلِّيْ مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا مِنْ أَن يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui (dosa) yang dia pikul darinya, maka dia berdiri selama empat puluh (tahun) lebih baik daripada dia melewati di depannya. (Bukhari 1/584) Hadits ini umum, baik orang yang shalat tersebut memakai sutrah atau tidak, shalat sunnah atau wajib, di bangunan atau tanah lapang, di Makkah atau di luar Makkah. Hendaknya hal ini diperhatikan dan tidak disepelekan! Adapun melewati makmum yang sedang shalat berjama’ah bersama imam, maka hukumnya boleh berdasarkan hadits Ibnu Abbas. Namun sekalipun demikian, apabila seseorang mendapatkan peluang untuk tidak melewati maka itu lebih baik, karena sedikit banyak hal itu pasti mengganggu kekhusyukan orang shalat. (Lihat Syarh Al-Mumti’ 3/279, Ibnu Utsaimin) Demikianlah beberapa masalah tentang sutrah. Kita berdo’a kepada Alloh agar menjadikan kita semua termasuk hamba-hambaNya yang ikhlas dan menghidupkan sunnah Nabi serta meneguhkan kita di atasnya hingga kita bertemu denganNya besok di hari akhirat.

Bisa lihat Video Memasang Sutrah di:

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi
Artikel http://abiubaidah.com/


[1] Lihat tulisan Al-Akh Al-Fadhil Abu Abdillah “Ikhlas” dalam Al-Furqon Edisi 6/Th. IV.
[2] Pembahasan ini banyak disarikan dari risalah Ahkam As-Sutrah oleh Syaikh Muhammad bin Rizq bin Tharhuni, cet. Dar Al-Haramain.
[3] Sebagian ada yang menerjemahkan “maka bunuhlah”. Maka ini kesalahan cukup fatal, karena ada perbedaan tajam antara « قَتَلَ » yang bermakna membunuh dan « قَاتَلَ » yang bermakna memaksa orang dengan hukum syar’i. Sedang dalam hadits dengan lafazh kedua (قَاتَلَ) bukan yang pertama (قَتَلَ).
[4] “Sunnah” yang kami maksud di sini bukan sunnah dalam istilah fiqih, tetapi petunjuk dan tuntunan Nabi n/ kepada umatnya. Adapun hukumnya sutrah, maka menurut pendapat yang terkuat adalah wajib. Wallahu A’lam.

Related posts:

  1. 10 Faidah Tentang Wanita

ENSIKLOPEDI AMALAN BULAN DZULHIJJAH

$
0
0

BULAN DZULHIJJAH

Ketahuilah, sesungguhnya termasuk hikmah dan kesempurnaan Alloh, Dia mengkhususkan sebagian makhluknya dengan beberapa keutamaan dan keistimewaan. Melebihkan sebagian waktu dan tempat dengan ganjaran dan pahala yang besar. Diantaranya adalah Alloh mengkhususkan sebagian bulan dan hari dengan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bulan dan hari yang lain. Agar menjadi ladang bagi seorang muslim untuk menambah amalan dan kecintaannya terhadap ketaatan. Menuai pahala dan meraih ridhoNya. Menggugah semangat baru dalam beramal, sebagai bekal untuk kampung nan abadi.[217]

Di antara bulan-bulan yang penuh dengan keistimewaan adalah bulan Dzulhijjah, lebih khusus lagi sepuluh hari pertama dan hari tasyriqnya. Bagaimana tugas seorang muslim di bulan ini? amalan ketaatan apa saja yang dianjurkan? Ikutilah kajian berikut ini dengan seksama. Semoga bermanfaat.[218]

KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

Umur manusia seluruhnya adalah musim untuk menjalankan ketaatan dan menuai pahala. Beribadah dan menjalankan ketaatan hingga maut menjemput. Alloh berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ﴿٩٩

Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (kematian)[219]. (QS. al-Hijr99).

Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk memanfaatkan umur dan waktunya sebaik mungkin. Memperbanyak dan memperbagusi ibadah serta amalan hingga maut menjemput, lebih-lebih pada bulan dan hari yang penuh dengan keutamaan. Diantara bulan yang Alloh telah beri banyak keutamaan adalah bulan Dzulhijjah. Alloh berfirman:

وَالْفَجْرِ ﴿١﴾ وَلَيَالٍ عَشْرٍ ﴿٢

Demi fajr. Dan malam yang sepuluh. (QS.al-Fajr: 1-2).

Imam Ibnu Rajab berkata: “Malam-malam yang sepuluh adalah sepuluh hari Dzulhijjah. Inilah penafsiran yang benar dari mayoritas ahli tafsir dari kalangan salaf dan selain mereka. Dan penafsiran ini telah sahih pula dari Ibnu Abbas”.[220]

Rasulullah bersabda:

مَا مِنْ أَياَّمٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلىَ اللهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ العَشْرِ فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Tiada hari-hari yang amalan shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Alloh daripada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: Tidak pula jihad di jalan Alloh? Rasulullah menjawab: Tidak juga jihad di jalan Alloh. Kecuali seorang yang keluar dengan membawa jiwa dan hartanya dan dia tidak kembali setelah itu. (mati syahid).[221]

Dalam riwayat yang lain nabi bersabda:

مَا مِنْ عَمَلٍ أَزْكَى عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلاَ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خَيْرٍ يَعْمَلُهُ فِيْ عَشْرِ اْلأَضْحَى

Tidak ada amalan yang lebih suci disisi Alloh dan tidak ada yang lebih besar pahalanya daripada kebaikan yang dia kerjakan pada sepuluh hari al-adha.[222]

Ibnu Rojab mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa beramal pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah lebih dicintai disisi Alloh daripada beramal pada hari-hari yang lain tanpa pengecualian. Apabila beramal pada hari-hari itu lebih dicintai oleh Alloh, maka hal itu lebih utama disisiNya”.[223]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Yang jelas, bahwa sebab keistimewaan sepuluh hari bulan Dzulhijjah, karena pada bulan ini terkumpul ibadah-ibadah inti, seperti shalat, puasa, shadaqoh, haji, yang mana hal itu tidak didapati pada bulan yang lainnya”.[224]

AMALAN SUNNAH DI BULAN DZULHIJJAH

Sesungguhnya mendapati sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah nikmat yang besar dari nikmat-nikmat Alloh. Manis dan nikmatnya hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang shalih dan bersungguh-sungguh pada hari-hari tersebut. Maka sudah menjadi kemestian bagi seorang muslim untuk menyingsingkan baju dan menambah kesungguhanya dalam menjalankan ketaatan pada bulan ini.

Abu Utsman an-Nahdi[225] mengatakan: “Adalah para salaf mengagungkan tiga waktu dari sepuluh hari yang utama: Sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram”.[226]

Berikut ini amalan-amalan sunnah yang dianjurkan pada bulan ini:

1.Puasa

Disunnahkan bagi setiap muslim untuk puasa sembilan hari pertama pada bulan Dzulhijjah, karena puasa termasuk amalan solih yang dianjurkan pada bulan ini. Ummul Mu’minin Hafsoh menuturkan:

أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِيْ الْحِجَّةِ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ

Adalah nabi puasa Asyura, sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah, dan tiga hari pada setiap bulan.[227]

Lebih ditekankan lagi puasa pada hari Arafah sebagaimana akan datang penjelasannya sebentar lagi insya Alloh.

2.Takbir

Termasuk amalan shalih pada hari-hari ini adalah memperbanyak takbir, tahlil, tasbih, istigfar dan doa. Dzikir sangat dianjurkan pada seluruh waktu dan setiap keadaan, kecuali keadaan yang dilarang.[228] Alloh berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّـهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا ﴿١٠٣

Ingatlah Alloh di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. (QS.an-Nisaa: 103).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Yaitu pada seluruh keadaan kalian”.[229]

3.Haji

Bagi yang Alloh karuniai kecukupan rizki maka hendaklah dia menunaikan ibadah haji, karena haji merupakan kewajiban dan rukun islam. Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji menurut cara dan tuntunan yang disyariatkan, maka insya Alloh dia termasuk dalam kandungan sabda nabi yang berbunyi:

العُمْرَةُ إِلىَ العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ

Umrah ke umrah adalah penghapus dosa diantara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.[230]

Haji mabrur adalah haji yang sesuai dengan tuntunan syar’I, menyempurnakan hukum-hukumnya, mengerjakan dengan penuh kesempurnaan dan lepas dari dosa serta terhiasi dengan amalan solih dan kebaikan.[231]

Bila ada yang bertanya, bagaimanakah kriteria haji mabrur?

Pertama: Ikhlas, seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, kebanggan, atau agar dipanggil oleh masyarakatnya “pak haji” atau “bu haji”

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّـهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿٥

Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan. (QS. Al-Bayyinah: 5)

Kedua: Ittiba’ kepada Nabi, dia berhaji sesuai tata cara haji yang diperaktekkan oleh Nabi dan menjauhi perkara-perkara bid’ah haji. Beliau sendiri bersabda:

خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ

Contolah cara manasik hajiku.[232]

Ketiga: Harta untuk berangkat hajinya adalah harta yang halal. Nabi bersabda:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ, لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik.[233]

Keempat: Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan.

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّـهُ ۗوَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ ﴿١٩٧

Barangsiapa yang menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak boleh rafats (kata-kata tak senonoh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan pada masa haji. (QS. Al-Baqarah: 197).

Kelima: Berakhlak baik antar sesama, tawadhu dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya.

Alangkah bagusnya ucapan Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 22/39: “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal”.[234]

4.Memperbanyak amalan shalih

Termasuk hikmah Alloh, Dia menjadikan media beramal tidak hanya pada satu amalan saja. Bagi yang tidak mampu haji, jangan bersedih, karena disana masih banyak amalan salih yang pahalanya tetap ranum dan siap dipetik pada bulan ini. Diantara contohnya shalat sunnah, dzikir, sadaqoh, berbakti pada orang tua, amar ma’ruf nahi mungkar, menyambung tali persaudaraan dan berbagai macam amalan lainnya. Rasulullah bersabda:

مَنْ صَلىَّ الغَدَاةَ فِيْ جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلىَّ رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ [ قَالَ ] قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ

Barangsiapa yang shalat subuh berjama’ah kemudian duduk berdzikir hingga terbit matahari, setelah itu dia shalat dua rakaat, maka baginya pahala seperti pahala haji dan umrah. Perawi berkata: Rasulullah berkata: “Sempurna..sempurna..sempurna”.[235]

5.Berkurban

Anjuran berkurban

Berkurban termasuk ibadah yang disyariatkan oleh Alloh berdasarkan nash al-Qur’an, hadits dan kesepakatan ulama.

Alloh berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ﴿٢

Maka Dirikanlah shalat Karena Rabbmu; dan berkorbanlah. (QS.al-Kautsar: 2).

Alloh memerintahkan Nabinya untuk meggabungkan dua ibadah yang agung ini; yaitu shalat dan kurban. Keduanya termasuk ketaatan yang paling agung dan mulia. Tidak ragu lagi, shalat ied masuk dalam keumuman ayat Dirikanlah shalat Karena Rabbmu dan kurban masuk dalam kandungan ayat berkorbanlah.[236]

Abdullah bin Umar mengatakan: “Nabi tinggal di Madinah sepuluh tahun dan beliau selalu berkurban”.[237]

Nabi bersabda:

مَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ

Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat sungguh telah sempurna penyembelihannya, dia telah mencocoki sunnah kaum muslimin.[238]

Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Nabi tidak pernah meninggalkan Udhiyyah (kurban)”.[239]

Adapun kesepakatan ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah; “Kaum muslimin telah sepakat disyariatkannya kurban”.[240]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Tidak ada perselisihan bahwa berkurban termasuk syiar agama Islam”.[241]

Apa yang harus dijauhi oleh orang yang akan berkurban?

As-Sunnah telah menunjukkan bahwa orang yang akan berkurban wajib mencegah dirinya dari memotong rambut, kuku atau mengupas kulitnya, sejak awal Dzulhijjah sampai ia menyembelih kurbannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi yang berbunyi:

فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ

Apabila hilal Dzulhijjah telah terlihat, dan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga ia menyembelih kurbannya. Dalam riwayat yang lain; janganlah ia mengambil rambut dan kulitnya sedikitpun.[242]

Perintah ini menunjukkan wajib, larangannya bersifat pengharaman menurut pendapat terkuat.[243]

Hikmah larangan hadits diatas karena orang yang berkurban mirip seperti orang yang menjalani ibadah haji dalam sebagian amalannya, yaitu mendekatkan diri kepada Alloh dengan kurban, hingga diapun terkena sebagian hukum dan larangan seperti orang yang sedang ibadah haji.[244]

Agar berkurban membawa berkah

Berkurban termasuk ibadah. Karena termasuk dalam wilayah ibadah, maka tidak akan diterima hingga terpenuhi dua syarat;

Pertama: Ikhlas karena Alloh

Kedua: Sesuai dengan tuntunan syariat yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dua syarat ini terangkum dalam firman Alloh yang berbunyi;

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ﴿١١٠

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya. (QS.al-Kahfi: 110).

Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, “Firmannya hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh yaitu apa yang sesuai dengan syari’at Alloh. Dan firmannya janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada rabbnya yaitu orang yang beribadah hanya mengharapkan wajah Alloh semata tidak mempersekutukannya. Inilah dua rukun amalan yang diterima, harus ikhlas karena Alloh dan sesuai dengan syariat rasululah.[245]

Jika demikian, syarat-syarat apa saja yang harus diperhatikan ketika berkurban?

Pertama: Sesuai dengan syariat dalam jenis hewan dan usianya. Adapun jenis hewan kurban terbatas pada unta, sapi dan kambing. Alloh berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّـهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗوَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ ﴿٣٤

Dan bagi tiap-tiap umat Telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang Telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (QS.al-Hajj: 34).

Unta dan sapi mencukupi tujuh orang yang kurban, sedangkan kambing hanya untuk satu orang saja.[246]

Sedangkan usia hewan kurban, apabila berkurban dengan unta hendaklah memilih yang sudah genap limatahun, apabila sapi maka yang sudah genap dua tahun, dan apabila kambing yang sudah genap setahun.[247]

Kedua: Berkurban dengan hewan yang tidak ada cacatnya. Yaitu cacat berupa; buta yang sangat jelas, sakit yang sangat jelas, pincang yang sangat jelas dan yang sudah terlalu tua.

Berdasarkan hadits yang berbunyi:

أَرْبَعٌ لاَ يَجُزْنَ: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرَةُ الَّتِي لَا تُنْقِي

Empat hal yang tidak boleh ada pada hewan kurban; buta sebelah pada mata yang sangat jelas, sakit yang jelas terlihat, pincang yang jelas dan yang tidak berakal karena sudah terlalu lemah.[248]

Empat jenis cacat ini tidak boleh ada pada hewan kurban. Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni (13/369): “Kami tidak mengetahui ada perselisihan dalam masalah ini”.[249]

Imam al-Khotthobi mengatakan: “Di dalam hadits diatas terdapat keterangan bahwa cacat dan aib yang ringan pada hewan kurban di maafkan. Karen nabi berkata: Yang jelas butanya, yang jelas sakitnya…, maka cacat sedikit yang tidak jelas di maafkan”.[250]

Disana ada beberapa cacat yang dibenci akan tetapi tidak menghalangi sahnya hewan kurban, seperti; telinganya putus, tanduknya patah, ekornya hilang, kemaluannya hilang, giginya tanggal dan lain sebagainya.[251]

Kapan waktunya?

Waktu mulai bolehnya menyembelih hewan kurban adalah jika telah selesai pelaksanaan shalat Iedul Adha. Berdasarkan hadits;

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ أُخْرَى مَكَانَهَا

Barangsiapa yang menyembelih kurban sebelum shalat Iedul Adha, maka hendaklah dia mengulang lagi sebagai gantinya.[252]

Barangsiapa yang menyembelih hewan kurbannya sebelum selesai shalat Iedul Adha, maka daging sembelihannya hanya daging biasa bukan daging kurban. Diriwayatkan bahwa sahabat mulia Abu Burdah meyembelih kambingnya sebelum shalat Iedul Adha, mengetahui hal itu maka Rasululloh bersabda:

شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ

Kambingmu yang engkau sembelih adalah daging biasa. (bukan daging kurban).[253]

Sedangkan batas waktu terakhir penyembelihan kurban adalah sampai akhir hari tasyrik.[254]

Rasulullah bersabda:

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبْحٌ

Seluruh hari Tasyrik adalah waktu penyembelihan (kurban).[255]

Adab menyembelih

Sesungguhnya penyembelihan hewan termasuk salah satu permasalahan penting yang ada keterkaitannya dengan makanan. Oleh karenanya, kami akan memberikan penjelasan singkat agar penyembelihan yang kita lakukan benar-benar membuat hewan tersebut halal untuk dimakan.

A. Kaidah-kaidah seputar penyembelihan 

1. Orang yang menyembelih[256]

Syarat orang yang menyembelih;

Pertama: Berakal. Sama saja dia laki-laki atau wanita. Sudah baligh ataupun belum baligh dengan catatan sudah mencapai usia tamyiz.[257] Maka tidak sah sembelihannya orang yang gila, anak kecil yang belum berakal atau orang yang sedang mabuk. Karena orang yang tidak berakal tidak punya niat dan kehendak dalam menyembelih. Sedangkan niat dan kehendak adalah syarat sebelum menyembelih. Alloh berfirman:

 إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

Kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. (QS.al-Maidah: 3).

Kedua: Agama. Orang yang menyembelih hendaklah seorang muslim atau ahli kitab (yahudi dan nashoro). Maka tidak halal sembelihannya penyembah berhala, orang majusi atau orang musyrik tanpa ada perselisihan.[258] Alloh berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّـهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Alloh, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (QS.al-Maidah: 3).

Adapun ahli kitab, sembelihan mereka halal karena Alloh berfirman:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (QS.al-Maidah: 5).

Ibnu Abbas berkata: “Makanan orang-orang yang diberikan al-Kitab maksudnya adalah sembelihannya”.[259]

Ibnu Hubairah berkata: “Paraulama sepakat bahwa sembelihan ahli kitab yang berakal adalah boleh (halal). Dan mereka juga sepakat bahwa sembelihan orang kafir selain ahli kitab tidak halal”.[260]

 Perhatian:

Halalnya sembelihan ahli kitab disyaratkan apabila tidak diketahui bahwa mereka menyebut nama selain Alloh. Apabila jelas dan diketahui bahwa mereka menyebut nama selain Alloh, semisal mengatakan dengan menyebut nama al-Masih, atau nama patung ini maka diharamkan, tidak boleh dimakan. Berdasarkan keumuman ayat:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّـهِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Alloh. (QS.al-Maidah: 3).

Imam az-Zuhri berkata: “Sembelihan nashoro halal. Apabila engkau mendengarnya menyebut atas nama selain Alloh ketika menyembelih, maka janganlah engkau makan”.[261]

Ketiga: Membaca bismillah

Hendaklah sebelum menyembelih untuk menyebut nama Alloh dengan mengucapkan bismillah. Alloh berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّـهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ ﴿١٢١

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Alloh ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. (QS.al-An’am 121).

Rosululloh bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَ ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ

Apa saja yang mengalirkan darah dan disebut nama Alloh, maka makanlah.[262]

Barangsiapa yang sengaja tidak menyebut nama Alloh atau lupa, maka sembelihannya tidak halal, haram dimakan. Karena menyebut nama Alloh adalah syarat sahnya penyembelihan.[263]

Keempat: Tidak boleh menyembelih atas nama selain Alloh

Alloh berfirman;

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّـهِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih atas nama selain Alloh. (QS.al-Maidah: 3).

Firman Alloh pula:

وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ

Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (QS.al-Maidah: 3)

Rosululloh bersabda:

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ

Alloh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Alloh.[264]

2. Alat menyembelih

Adapun alat yang digunakan untuk menyembelih disyaratkan dua syarat[265];

Pertama: Yang tajam dan dapat memotong dengan cepat. Baik berupa besi, kayu, batu, atau lainnya, yang penting bisa memotong dengan cepat bukan karena beratnya.

Kedua: Bukan dari kuku dan gigi.

Dua syarat ini terangkum dalam hadis Rofi bin Hudaij, bahwasanya Rosululloh bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ, لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ, وَسَأُحَدِّثُكَ, أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ

Apa saja yang bisa mengalirkan darah dan disebut nama Alloh maka makanlah, bukan dari kuku dan gigi. Aku kabarkan kepadamu bahwa gigi termasuk tulang, sedangkan  kuku dia adalah senjatanya orang Habasyah.[266]

Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Di dalam hadits ini terdapat fiqh bahwa segala yang dapat mengalirkan darah, yang dapat memutus urat leher maka dia alat penyembelihan, boleh digunakan, selain gigi dan tulang. Dalil-dalinya sangat banyak dan inilah yang dikatakan oleh para ulama”.[267]

3. Hewan sembelihannya

Hewan yang akan disembelih disyaratkan beberapa syarat[268];

Pertama: Hewan yang akan disembelih masih dalam keadaan hidup, tidak boleh menyembelih hewan yang sudah mati.

Kedua: Hilangnya nyawa hewan, semata-mata karena sebab penyembelihan, bukan karena tercekik, terpukul atau lainnya. Alloh berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّـهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Alloh, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. (QS.al-Maidah: 3).

Ketiga: Jenis hewan yang disembelih adalah hewan darat-udara yang halal dimakan. Seperti kambing, unta, sapi, ayam, burung dan lain-lain, bukan hewan yang haram dimakan. Sedangkan hewan laut, semuanya halal, baik masih hidup atau sudah mati, tidak disyaratkan penyembelihan.[269]

Alloh berfirman:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَاتَّقُوا اللَّـهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ ﴿٩٦

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu. (QS.al-Maidah: 96).

4. Bagian yang disembelih

Pertama: Apabila hewannya jinak dan mungkin untuk disembelih maka tempat yang disembelih adalah pada lehernya. Yaitu dengan memutus saluran pernapasan, saluran makanan, dan dua urat leher.

Ibnu Abbas berkata, “Sembelihan itu pada bagian kerongkongan, dan leher”.[270]

Imam Ibnu Qudamah berkata, “Adapun tempat yang disembelih adalah tenggorokan/kerongkongan dan leher, tidak boleh pada selainnya berdasarkan ijma”.[271]

Kedua: Apabila hewan yang akan disembelih tidak bisa dijinakkan, dalam artian dia malah lari dan tidak mungkin disembelih pada lehernya. Atau malah jatuh masuk ke sumur dan belum mati, maka boleh menyembelih pada bagian tubuh mana saja yang mungkin untuk disembelih dan mematikan.[272] Dasarnya adalah hadits Rofi’ bin Hudaij, dia berkata: Kami pernah mendapat kambing dan onta. Kemudian ontanya lari, ada seorang dari kami yang melempar dengan anak panahnya hingga onta itu diam, melihat hal itu Nabi bersabda:

إِنَّ لِهَذِهِ الإِبِلِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ فَإِذَا غَلَبَكُمْ مِنْهَا شَيْءٌ فَاصْنَعُوا بِهِ هَكَذَا

Sesungguhnya onta ini mempunyai perangai binatang liar. Apabila dia mengalahkanmu, maka lakukanlah seperti ini.[273]

Ibnu Abbas berkata: “Apa saja yang kamu tidak mampu untuk menyembelihnya dari binatang, maka hukumnya seperti buruan. Onta yang lari dan jatuh dalam sumur dan engkau mampu menyembelih pada bagian mana saja maka sembelihlah. Inilah pendapat Ali, Ibnu Umar dan Aisyah”.[274]

B. Adab lainnya ketika menyembelih

1. Sayangilah binatang yang akan disembelih

عَنْ قُرَّةَ بْنِ إِيَّاسٍ الْمُزَنِيْ أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنِّيْ َلأَرْحَمُ الشَّاةَ أَنْ أَذْبَحَهَا, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِنْ رَحِمْتَهَا رَحِمَكَ اللهُ

Dari Qurrah bin Iyas al-Muzani bahwasanya ada seseorang berkata kepada Rosululloh, “Wahai Rosululloh aku menyayangi kambing yang akan aku sembelih”, maka Rosululloh menjawab, “Apabila engkau menyayanginya maka Alloh akan menyayangimu”.[275]

Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Imam Ibnu Hazm menegaskan adanya ijma ulama akan wajibnya berbuat baik kepada sembelihan”.[276]

2. Menajamkan alat sembelihan

Dianjurkan untuk menajamkan alat sembelihan, agar hewan yang disembelih tidak tersakiti dan cepat mati. Rosululloh bersabda:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلىَ كُلِّ شَيْءٍ, فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ, وَ إِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذَّبْحَ, وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ, وَ لْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ

Sesungguhnya Alloh menganjurkan perbuatan baik pada seluruh perkara. Apabila kalian membunuh, maka perbagusilah cara membunuhnya, dan apabila kalian menyembelih maka perbagusilah dalam menyembelih. Kemudian hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.[277]

3. Jangan menajamkan pisau di depan hewan yang akan disembelih!

Ibnu Abbas berkata, “Rosululloh pernah melihat orang yang sedang bersiap menyembelih seekor kambing, dan orang itu menajamkan pisaunya di hadapan kambing tersebut, melihat hal itu Rosululloh berkata,

أَتُرِيْدُ أَنْ تُمِيْتَهَا مَوْتَاتٍ, هَلاَّ حَدَدْتَ شَفْرَتَكَ قَبْلَ أَنْ تَضْجَعَهَا؟

Apakah engkau akan membunuhnya berkali-kali? Tidakkah engkau tajamkan pisaumu sebelum kambing itu dibaringkan?!.[278]

4. Membawa binatang dengan baik

Dari Ibnu Sirin bahwasanya Umar pernah melihat seseorang yang menarik dengan kasar kambing yang akan disembelihnya, Umar lantas memukulnya sambil berkata, “Celakalah engkau, bawalah kambing itu menuju kematiannya dengan baik”.[279]

5. Membaringkan hewan sembelihan

Dari Aisyah bahwasanya Rosululloh minta dibawakan seekor kambing untuk disembelih, lalu beliau memegang dan membaringkan kambing tersebut kemudian baru menyembelihnya.[280]

Imam Nawawi berkata, “Didalam hadits ini terdapat anjuran untuk membaringkan kambing ketika akan disembelih. Jangan disembelih dalam keadaan berdiri atau ketika menderum, akan tetapi baringkanlah karena hal itu lebih lembut baginya”.[281]

Paraulama dan praktek kaum muslimin telah sepakat bahwa membaringkan binatang itu dengan membaringkannya ke sisi badannya yang sebelah kiri, karena akan memudahkan bagi yang menyembelih untuk mengambil pisau dengan tangan kanan dan memegang kepalanya dengan tangan kiri.[282]

Akan tetapi hal ini dikecualikan apabila menyembelih onta. Hendaklah onta disembelih dalam keadaan posisi berdiri, kaki kirinya terikat.[283]

6. Menghadap ke arah kiblat?

Mayoritas ahli ilmu[284] menyebutkan bahwa binatang yang akan disembelih hendaklah dihadapkan ke arah kiblat. Hukumnya hanya mustahab bukan sebuah syarat.

Nafi’ berkata: “Adalah Ibnu Umar menyembelih unta dan menghadapkannya ke arah kiblat. Kemudian dia makan dan membagikan kepada orang lain”.[285]

7. Meletakkan kaki di badan sembelihan

Berdasarkan hadits:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: ضَحَّى النَّبِيُّ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ, ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَ سَمَّى وَ كَبَّرَ, وَ وَضَعَ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا

Anas bin Malik berkata, “Rosululloh menyembelih dua ekor kambing yang bagus dan bertanduk, beliau menyembelih sendiri dengan tangannya, membaca bismillah, bertakbir dan meletakkan kakinya pada sisi leher binatang tersebut.[286]

Inilah seputar hukum-hukum yang berkaitan tentang ibadah kurban. Semoga kurban yang kita sembelih sesuai sunnah dan diterima oleh Alloh.

6.Taubat

Taubat adalah kembali kepada Alloh dari perkara yang Dia benci secara lahir dan batin menuju kepada perkara yang Dia senangi. Menyesali atas dosa yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali.[287]

Maka kewajiban bagi seorang muslim apabila terjatuh dalam dosa dan maksiat untuk segera bertaubat, tidak menunda-nundanya, karena dia tidak tahu kapan kematian akan menjemput. Dan juga perbuatan jelek biasanya akan mendorong untuk mengerjakan perbuatan jelek yang lain. Apabila berbuat maksiat pada hari dan waktu yang penuh keutamaan, maka dosanya akan besar, sesuai dengan keutamaan waktu dan tempatnya.[288]

BILA HARI ARAFAH TIBA

Ketahuilah bahwa hari Arafah merupakan hari yang penuh dengan keutamaan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini. Karena hari Arafah adalah hari pengampunan dosa, hari bagi para jama’ah haji untuk wukuf, dan dianjurkan bagi yang tidak haji untuk berpuasa pada hari itu. Dia adalah hari penyempurnaan agama  dan nikmat yang agung kepada ummat Islam. Hingga mereka tidak butuh kepada agama selainnya. Alloh menjadikan agama islam sebagai agama penutup dari ummat ini, tidak diterima agama apapun selain islam.

Dari Umar bin Khattab bahwasanya ada seorang yahudi[289] yang berkata kepadanya: “Wahai amirul mukminin, sebuah ayat dalam kitab kalian yang kalian membacanya, andaikan ayat itu turun kepada kami, niscaya hari turunnya ayat itu akan kami jadikan hari raya. Umar bertanya: ayat apa itu? Dia menajwab: Firman Alloh yang berbunyi:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (QS.al-Maidah: 3)

Umar kembali berkata: “Sungguh kami mengetahui hari dan tempat turunnya ayat itu, ayat itu turun kepada nabi kita dan dia sedang berdiri di Arafah pada hari jum’at”.[290]

Keutamaan hari Arafah yang lain sebagaimana dituturkan oleh ummul mukminin Aisyah bahwasanya rasulullah bersabda:

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيْهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُوْ ثُمَّ يُبَاهِيْ بِهِمْ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُوْلُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟

Tidak ada suatu hari yang Alloh lebih banyak membebaskan seorang hamba dari api neraka melainkan hari Arafah. Sesungguhnya Alloh mendekat dan berbangga di hadapan para malaikatnya seraya berkata: Apa yang mereka inginkan?.[291]

Imam an-Nawawi berkata: “Hadits ini jelas sekali menunjukkan keutamaan hari Arafah”.[292]

Demikian pula Alloh memuji para jamaah haji yang wukuf di Arafah. Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللهَ لَيُبَاهِيْ الْمَلاَئِكَةَ بِأَهْلِ عَرَفَاتٍ يَقُوْلُ: اُنْظُرُوْا إِلىَ عِبَادِيْ شَعْثًا غَبْرًا

Sesungguhnya Alloh membanggakan orang-orang yang wukuf di Arafah kepada para malaikat. Alloh berkata kepada mereka: Lihatlah para hambaKu, mereka dalam keadaan kusut dan berdebu.[293]

Lantas amalan apa saja yang dianjurkan untuk dikerjakan pada hari ini?

1.Puasa

Dari Abu Qotadah bahwasanya Rasulullah ditanya tentang puasa Arafah, beliau menjawab:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Puasa arafah menghapus dosa tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.[294]

Puasa ini dianjurkan bagi yang tidak melaksanakan ibadah haji, adapun bagi jama’ah haji maka tidak disunnahkan puasa, karena Rasulullah yang tidak puasa ketika hari Arafah.[295]

Faedah: Bila Arafah jatuh pada hari jumat atau sabtu

Adahadits-hadits yang berisi larangan menyendirikan puasa jum’at dan larangan puasa sabtu kecuali puasa yang wajib. Apakah larangan ini tetap berlaku ketika hari Arafah jatuh pada hari jum’at atau sabtu?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Adapun bagi orang yang tidak menyengaja untuk puasa karena hari jum’at atau sabtu, seperti orang yang puasa sehari sebelum dan sesudahnya atau kebiasaannya adalah puasa sehari dan berbuka sehari, maka boleh baginya puasa jum’at walaupun sebelum dan sesudahnya tidak puasa, atau dia ingin puasa Arafah atau asyuraa’ yang jatuh pada hari jum’at, maka tidaklah dilarang, karena larangan itu hanya bagi orang yang sengaja ingin mengkhususkan (hari jum’at dan sabtu tanpa sebab-pen).[296]

Kesimpulannya, bahwa puasa pada hari selasa dan rabu adalah boleh, tidak disunnahkan untuk mengkhususkan puasa dan tidak dilarang. Hari jum’at, sabtu dan ahad, dilarang untuk mengkhususkan puasa. Dan larangan pengkhususan puasa jum’at lebih tegas karena ada hadits-hadits yang melarang tanpa ada perselisihan, adapun apabila puasa dengan hari sesudahnya tidak mengapa. Sedangkan hari senin dan kamis maka puasa pada hari itu adalah sunnah.[297]

2.Takbir

Takbir pada hari raya iedul adha menurut pendapat yang benar dari kalangan ahli ilmu dimulai sejak fajar hari Arafah sampai akhir hari tasyriq.

Imam Ahmad ditanya: “Dengan hadits apa engkau berpendapat bahwa takbir itu dimulai sejak shalat fajar hari arafah hingga akhir hari tasyriq? Imam Ahmad menjawab: “Dengan ijma’: Umar, Ali, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud -semoga Alloh meridhai mereka semua-”.[298]

 SAATNYA BERHARI RAYA KURBAN

Hari Nahr (menyembelih kurban) adalah hari yang agung, karena dia merupakan hari haji akbar. Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah bersabda:

يَوْمُ الْحَجِّ اْلأَكْبَرِ يَوْمُ النَّحْرِ

Hari haji akbar adalah hari Nahr.[299]

Dan juga merupakan hari yang paling utama dalam setahun. Nabi bersabda:

إِنَّ أَعْظَمَ اْلأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ اْلقَرِّ “

Sesungguhnya hari yang paling agung disisi Alloh adalah hari Nahr (menyembelih) kemudian hari Qorr[300].[301]  (HR.Abu Dawud 1765, sanadnya bagus sebagaimana dikatakan oleh syaikh al-albani dalam al-Misykah 2/810).

Hari raya kurban lebih utama daripada hari raya iedul fitri, karena hari raya kurban ada pelaksanaan shalat dan menyembelih.[302]

Amalan apa saja yang dianjurkan pada hari ini?

Pertama: Shalat hari raya[303]

Kedua: Menyembelih kurban.[304] 

KETIKA HARI TASYRIQ

Hari tasyriq adalah hari kesebelas, dua belas dan tiga belas bulan Dzulhijjah. Dinamakan hari tasyriq karena manusia pada hari itu membagi-bagikan sembelihan dan hadiah. Hari tasyriq merupakan hari yang mempunyai keutamaan. Alloh berfirman:

 وَاذْكُرُوا اللَّـهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. (QS.al-Baqoroh: 203).

Imam al-Qurtubi mengatakan: “Tidak ada perselisihan dikalangan ulama bahwa hari yang berbilang pada ayat ini adalah hari-hari mina yaitu hari tasyriq”.[305]

Mengenai hari tasyriq Rasulullah bersabda:

أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَ ذِكْرِ اللهِ

Hari tasyriq adalah hari untuk makan,  minum dan  berdzikir.[306]

Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita dua perkara:

Pertama: Hari tasyriq adalah hari untuk makan dan minum serta menampakkan kegembiraan. Tidak mengapa mengadakan perkumpulan yang bermanfaat, menghidangkan makanan terutama daging, selama tidak berlebihan dan menghamburkan harta.

Kedua: Bahwa hari ini juga merupakan hari untuk memperbanyak dzikir kepada Alloh. Dzikir secara mutlak pada hari-hari tasyriq.

Adalah Ibnu Umar bertakbir di mina pada hari-hari tasyriq setiap selesai shalat, di tempat tidurnya, tempat duduk dan di jalan.[307]

Demikian pula dzikir dan bertakbir ketika menyembelih kurban, dzikir dan berdoa ketika makan dan minum, karena hari tasyriq adalah hari makan dan minum. Dzikir ketika melempar jumrah pada setiap kali lemparan bagi para jamaah haji.

Imam Ibnu Rajab berkata: “Sabda nabi sesungguhnya hari tasyriq adalah hari makan, minum dan dzikrullah terdapat isyarat bahwa makan dan minum pada hari raya hanyalah untuk membantu berdzikir kepada Alloh, dan hal itu merupakan kesempurnaan dalam mensyukuri nikmat, yaitu mensyukuri dengan ketaatan. Barangsiapa yang memohon pertolongan dengan nikmat Alloh untuk mengerjakan maksiat, maka berarti dia telah inkar atas nikmatNya”.[308]

Demikianlah yang dapat kami kumpulkan seputar pembahasan sepuluh hari Dzulhijjah dan hari tasyriq. Semoga pembahasan ini bermanfaat dan kita diberi kekuatan untuk mengamalkannya. Alloh A’lam.

Artikel: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar bin Munthohir as-Sidawi

http://abiubaidah.com/

_______________________

Footnoote:

[217] Para ulama sangat perhatian dalam menulis masalah ini. Diantara mereka ada yang mempunyai karya khusus seperti Fadhoilul Auqot oleh Imam Baihaqi, Lathoiful Ma’arif oleh al-Hafizh Ibnu Rajab-keduanya telah tercetak- dan selainnya.

[218] Penulis banyak mengambil manfaat dari kitab Lathoiful Ma’arif karya Ibnu Rojab al-Hanbali, Tahqiq Yasin Muhammad as-Sawas. Cet.Dar.Ibnu Katsir dan kitab Majalis Asyr Dzilhijjah karya Abdullah al-Fauzan. Cet.Dar.al-Muslim.

[219] Demikian penafsiran Salim bin Abdillah bin Umar, Mujahid, Hasan, Qotadah, Abdurrahman bin Zaid dan selain mereka. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/553.

[220] Lathoiful Ma’arif hal.470

[221] HR.Bukhari 969 dll dan lafazh diatas oleh Tirmidzi 757

[222] HR.Darimi 1/358 dengan sanad yang hasan, sebagaimana dijelaskan dalam al-Irwaa 3/398 oleh al-Albani

[223] Lathoiful Ma’arif hal.458

[224] Fathul Bari 2/593

[225] Lihat biografinya dalam Tahdzibut Tahdzib 6/249 oleh Ibnu Hajar.

[226]Lathoiful Ma’arif hal.80, Bahkan Said bin Jubair apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beramal, sampai tidak ada yang dapat menandinginya. (al-Irwaa 3/398)

[227]HR. Nasai 2372, Ahmad 5/271, Baihaqi 4/284. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud 2106

[228] Lihat risalah sederhana penulis Sifat Dzikir Nabi yang diterbitkan oleh Media Tarbiah-Bogor.

[229] Tafsir Ibnu Katsir 1/521

[230] HR.Bukhari: 1683, Muslim: 1349

[231] Fathul Bari 3/382, Syarhus Sunnah 7/6

[232] Muslim 1297

[233] Muslim 1015

[234] Lathaif Ma’arif Ibnu Rajab hal. 410-419, Masail Yaktsuru Sual Anha Abdullah bin Shalih al-Fauzan 12-13

[235] HR.Tirmidzi: 586. Hadits hasan, lihat al-Misykah: 971.

[236] Adhwaaul Bayan, as-Sinqithi 5/609

[237] Dikeluarkan oleh Tirmidzi 5/96, Ahmad 13/65 dengan sanad yang hasan.

[238] HR.Bukhari: 5560, Muslim: 1961

[239] Zaadul Ma’ad 2/317

[240] al-Mughni 13/360

[241] Fathul Bari 10/3

[242] HR.Muslim:1977

[243] Adhwaaul Bayan 5/640

[244] Tahdzibus Sunan, Ibnul Qoyim 4/99, Ahkam al-Udhiyyah wa adz-Dzakat, Ibnu Utsaimin  hal.60

[245] Tafsir al-Qur’an al-Azhim 5/205 Tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah

[246] HR.Muslim: 1318

[247] HR.Muslim: 1963. Lihat pula al-Mughni 9/348

[248] HR.Abu Dawud: 2802, Tirmidzi: 1541, Nasai: 7/214, Ibnu Majah: 3144. Dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Misykah: 1465.

[249] Hal senada dikatakan pula oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 13/128

[250] Ma’alim as-Sunan 4/106

[251] Ahkam al-Udhiyyah Ibnu Utsaimin hal.41-46

[252] HR.Bukhari: 5562, Muslim: 1976

[253] HR.Bukhari: 5557, Muslim: 1961

[254] as-Syarah al-Mumti’ 7/295-296

[255] HR.Ahmad 4/82, Ibnu Hibban 1008, Baihaqi 9/295. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’:4537.

[256] al-Mughni 13/301, al-Muhalla 7/456, al-Uddah Fi Syarhil Umdah 2/154

[257] al-Ijma’ Ibnul Mundzir hal.61, Tahqiq: DR.Fuad Abdul Mun’im Ahmad.

[258] Syarh Fathul Qodir Ibnu Humam 8/407.

[259] Disebutkan oleh Imam Bukhari secara Muallaq dalam Shohihnya bab Sembelihan Ahli Kitab hal.981

[260] al-Ifshoh 2/309, al-Ijma’ hal.61

[261] Disebutkan oleh Imam Bukhari secara Muallaq dalam Shohihnya hal.981. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Aisyah, Ibnu Umar, Thowus bin Kaisan, Hasan al-Bashri, asy-Syafi’I, dan Syaikhul Islam. (Lihat Iqtidho as-Siroth al-Mustaqim Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 2/60, al-Ath’imah Shalih al-Fauzan hal.109, Qowaid wa Fawaid Nazhim Sulthon hal.157, al-Jami’ Fi Syarh al-Arbain an-Nawawiyyah Muhammad Yusri 1/662).

[262] HR.Bukhari: 5498, Muslim: 1968

[263] Ini adalah pendapat yang paling kuat. Dikuatkan oleh sekelompok ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/324. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa 35/239, Ibnu Utsaimin dalam Syarh al-Arbain hal.190, DR.Sholih al-Fauzan dalam al-Ath’imah hal.132

[264] HR.Muslim: 1978

[265] al-Mughni 13/301, al-Majmu’ an-Nawawi 9/92

[266] HR.Bukhari: 5498, Muslim: 1968

[267] at-Tamhid 5/151

[268] al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 21/179, Shahih Fiqhis Sunnah 2/359, al-Jami’ Fi Syarhil Arbain an-Nawawiyyah 1/656

[269] Ahkam Udhiyyah wa Dzakat Ibnu Utsaimin hal.91

[270] HR.Abdurrazzaq: 8615

[271] al-Mughni 13/303

[272] Tafsir al-Qurthubi 6/55, Fathul Qodir as-Syaukani 2/10, al-Muhalla 6/133

[273] HR.Bukhari: 5509

[274] Disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya Bab Ma Nadda Minal Bahaim Fahuwa Bi Manzilatil Wahsy hal.981

[275] HR.Ahmad 3/436, Hakim 3/586, Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad 373, Thabrani dalam al-Kabir 19/23, Abu Nuaim dalam al-Hilyah 2/302. Imam al-Haitsami berkata dalam al-Majma’ (4/41), “Para perawinya terpecaya”. Lihat as-Shahihah: 26

[276] Jamiul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab 1/382

[277] HR.Muslim: 1955

[278] HR.Baihaqi 9/280, Hakim 4/233, Thabrani 3/140, Abdurrazaq 8608. Disahihkan oleh al-Albani dalam as-Shahihah: 24

[279] HR.Baihaqi 9/281, Abdurrazaq 8605. Lihat as-Shahihah 1/68

[280] Muslim: 1967

[281] Syarh Shahih Muslim 13/106

[282] Subulus Salam as-Shon’ani 4/162

[283] al-Mughni 13/304

[284] al-Umm as-Syafi’I 2/262, al-Mughni 13/305, al-Majmu’ 3/383

[285] HR.Malik: 854

[286] HR.Bukhari: 5565, Muslim: 1966

[287] Lihat risalah penulis Kiat Istimewa Meraih Taubat Sempurna penerbit Media Tarbiah-Bogor

[288] Lihat Majmu Fatawa 34/180 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

[289] Dia adalah Ka’ab al-Akhbar sebagaimana riwayat imam at-Thobari 9/526.

[290] HR.Bukhari 45, Muslim 3017

[291] HR.Muslim 1348

[292] Syarah Shahih Muslim 9/125

[293] HR.Ahmad 2/305, Ibnu Khuzaimah 2839, al-Albani berkata: Sanadnya sohih

[294] HR.Muslim: 1662

[295] HR.Bukhari 1575, Muslim 1123

[296] Kitabus Shiyam Min Syarhil Umdah 2/652. Lihat pembahasan masalah ini secara luas dalam Zaadul Ma’ad 2/79, Tahdzibus Sunan 3/297, Kasyful Qona’ al-Buhuti Juz 2 Bab Puasa Tathowu’

[297] Syarhul Mumti’ 6/464 oleh Ibnu Utsaimin

[298] al-Mughni 3/289, al-Irwaa 3/125.  Hal ini dikuatkan pula oleh Syaikhul Islam dalam Majmu Fatawa 24/220, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/462. Imam Ibnu Katsir berkata: Ini adalah pendapat yang masyhur dan selayaknya diamalkan. (Tafsir Ibnu Katsir 1/358).

[299] HR.Abu Dawud 1945, Ibnu Majah 2/1016, Sanadnya sohih. Lihat al-Irwaa 4/300

[300] Imam Ibnu Atsir berkata: Hari Qorr adalah besoknya hari Nahr yaitu sebelas Dzulhijjah, dinamakan demikian karena manusia pada tanggal tersebut menetap di Mina. (an-Nihayah 4/37).

[301] HR.Abu Dawud 1765, sanadnya bagus sebagaimana dikatakan oleh syaikh al-albani dalam al-Misykah 2/810

[302] Lathoiful Ma’arif hal.318, Majmu’ Fatawa 24/222

[303] Lihat masalah ini secara luas dalam  Ahkam al-Iedain, Ali Hasan Ali Abdil Hamid.

[304] Lihat kembali seputar hukum berkurban pada halaman sebelumnya.

[305] Tafsir al-Qurtubi 3/3

[306] HR.Muslim 1141

[307] Fathul Bari 2/461

[308] Lathoiful Ma’arif hal.332

Related posts:

  1. ENSIKLOPEDI AMALAN BULAN SYA’BAN
  2. ENSIKLOPEDI AMALAN BULAN RAMADHAN
  3. ENSIKLOPEDI AMALAN BULAN ROJAB

Pengacara

$
0
0

Muqaddimah

Sesungguhnya syariat Islam adalah syariat yang sempurna dan paripurna yang membahas segala hal yang dibutuhkan oleh hamba. Di antara sekian bukti akan hal itu adalah konsep Islam yang sangat jelas tentang pengadilan. Dan di antara sekian bahasan dalam pengadilan adalah “pengacara”. Nah, apakah masalah pengacara dibahas dalam Islam? Adakah penjelasannya dalam kitab-kitab para ulama?! Bagaimana kriteria pengacara dalam Islam?! Inilah yang akan menjadi topik bahasan kita kali ini. Semoga Allah memberikan pemahaman kepada kita semua.[1]

Definisi Pengacara

Pengacara (advokat) adalah ahli hukum yang berwenang sebagai penasihat atau pembela perkara dalam pengadilan.[2]

Dalil Disyariatkannya Pengacara

Adanya pengacara dalam persidangan adalah perkara yang dibolehkan, berdasarkan dalil-dalil yang banyak dari Alquran, hadits, ijma’, dan akal.

1.  Dalil Alquran

إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًۭا

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. an-Nisa’ [4]: 105)

Dalam ayat ini terdapat larangan menjadi pengacara secara batil, berarti kalau dalam kebenaran maka dibolehkan. Syaikh as-Sa’di (1376 H) berkata, “Pemahaman ayat ini menunjukkan bolehnya sebagai pengacara bagi seorang yang tidak dikenal dengan kezaliman.” [3]

2.  Dalil Hadits

Dari Fathimah binti Qois radhiallahu ‘anha bahwasanya Abu ’Amr menceraikannya tiga cerai dari kejauhan dirinya, dia mengutus wakilnya untuk membawakan gandum kepada Fathimah, tetapi Fathimah malah marah kepadanya. Lalu wakil tersebut mengatakan, “Demi Allah, kamu itu tidak memiliki hak lagi.” Setelah itu Fathimah melapor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bersabda, “Tidak ada kewajiban baginya untuk menafkahimu lagi.” (HR. Muslim: 1480)

Hadits ini menunjukkan bolehnya perwakilan dalam persengketaan (pengacara), karena Fathimah melaporkan perkara wakil suaminya tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun Nabi tidak mengingkarinya, berarti beliau menyetujui adanya wakil dalam persengketaan.[4]

3.  Dalil Ijma’

Secara global, tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang bolehnya mewakilkan dalam persengketaan baik dalam harta, pernikahan, dan sejenisnya.[5] Bahkan, secara khusus sebagian ulama telah menukil adanya ijma’ dalam masalah ini. As-Sarakhsi (490 H) berkata, “Perwakilan dalam pengadilan sudah ada semenjak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini tanpa adanya pengingkaran dari siapa pun.” [6] As-Sumnani (499 H) menjelaskan tentang pengacara, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan, demikian juga para imam yang adil dari kalangan sahabat dan tabi’in. Hal ini juga diamalkan oleh manusia di semua negara.” [7]

4.  Dalil Akal

Seorang kadang-kadang membutuhkan wakil dalam persidangan, entah karena dia tidak suka perdebatan atau tidak memiliki keahlian dalam berdebat—baik membela atau membantah—maka sangat sesuai jika syariat membolehkannya.[8]

Bolehkah Berprofesi Sebagai Pengacara?

Berprofesi sebagai pengacara hukumnya boleh apabila untuk membela kebenaran dan menolong orang yang terzalimi, baik dengan mengambil gaji atau tidak. Dalilnya adalah firman Allah:

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَـٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَـٰكِينِ وَٱلْعَـٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَـٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةًۭ مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌۭ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 60)

Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya pemerintah mewakilkan seorang untuk mengambil zakat dan membagikannya kepada yang berhak dengan adanya imbalan bagi amil zakat tersebut.[9] Kalau amil zakat berhak mendapatkan imbalan atas pekerjaannya, maka demikian juga pengacara berhak mendapatkan imbalan atas pekerjaannya.

Lajnah Da’imah (komite fatwa) Arab Saudi pernah ditanya tentang hukum profesi sebagai pengacara, maka mereka menjawab, “Apabila dia berprofesi sebagai pengacara bertujuan untuk membela kebenaran, menumpas kebatilan dalam pandangan syariat, mengembalikan hak kepada pemiliknya, dan menolong orang yang terzalimi, maka hal itu disyariatkan, karena termasuk tolong-menolong dalam kebaikan. Adapun apabila tujuannya bukan demikian maka tidak boleh karena termasuk tolong-menolong dalam dosa. Allah berfirman,

وَكَيْفَ يُحَكِّمُونَكَ وَعِندَهُمُ ٱلتَّوْرَىٰةُ فِيهَا حُكْمُ ٱللَّهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِن بَعْدِ ذَ‌ٰلِكَ ۚ وَمَآ أُولَـٰئِكَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ

“Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.” (QS. al-Ma’idah [5]: 43)[10]

Bahkan, sebenarnya kalau kita membuka sejarah Islam, profesi pengacara sudah ada sejak dahulu sekalipun tidak mesti dalam setiap persidangan. Bukti akan hal itu banyak sekali, di antaranya apa yang dikatakan oleh as-Sumnani (499 H), “Bab tentang pengacara dan kewajiban mereka.” [11] Bab ini menunjukkan bahwa profesi pengacara sudah ada sejak dahulu. Bahkan, dalam kitab biografi, ada sebagian orang yang dikenal sebagai pengacara, seperti Abu Marwa Utsman bin Ali bin Ibrahim (346 H), beliau dikenal sebagai pengacara yang profesional.[12]

Syarat-Syarat Berprofesi Sebagai Pengacara

Pada zaman sekarang, banyak keluhan tentang adanya para pengacara yang tidak memenuhi standar agama dan tidak memiliki kriteria yang diharapkan. Karena itu, penting sekali kita mengetahui syarat-syarat sebagai pengacara dalam Islam dan kewajiban mereka:

1.  Mengetahui hukum-hukum syar’i

Seorang pengacara sejati harus memiliki ilmu tentang hukum-hukum syar’i seputar muamalah baik yang berkaitan tentang pernikahan, kriminal, pengadilan, dan sebagainya. Sebab, bila tidak demikian maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.

Ibnu Abdi Dam (642 H) menjelaskan faktor tentang tujuan dia menulis kitab tentang adab-adab seorang hakim, “Tujuan inti dari memaparkan masalah ini agar mudah diketahui oleh para pengacara yang merupakan wakil dari hakim dalam menyelesaikan persengketaan hukum.” [13]

2. Adil dan terpercaya

Seorang pengacara harus memiliki sifat amanat, menjaga rahasia, dan adil, karena dia mengemban kepentingan kaum muslimin yang telah memberikan kepercayaan mereka kepada para pengacara.[14]

3.  Pria

Seorang pengacara harus pria sebab dia akan sering berurusan dengan banyak lelaki baik hakim, saksi, terdakwa, dan sebagainya, dan sering tinggal di kantor pengacara dan kantor persidangan, padahal semua itu bertentangan dengan tugas seorang wanita yang sejatinya tetap tinggal di rumah, menunaikan tugas rumah, merawat anak-anak, dan tugas-tugas mulia lainnya. Cukuplah profesi ini ditangani oleh kaum pria saja[15]. Sebab itu, dalam undang-undang sebagian negara kafir pun ada larangan pengacara dari kaum wanita.[16]

Pengacara yang Tidak Lulus Sensor

Ada beberapa hal yang dapat menghalangi seorang pengacara untuk lulus menjadi pengacara ideal, di antaranya:

1.  Bertujuan untuk menyakiti musuh

Hal itu dilarang karena tidak boleh bagi kita untuk menyakiti sesama muslim. Allah berfirman:

وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَـٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا بُهْتَـٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. al-Ahzab [33]: 58)

Oleh karena itu, apabila pengacara memiliki permusuhan pribadi dengan lawannya maka tidak boleh ia menjadi pengacara (pada kasus tersebut) karena dia akan berusaha untuk menyakitinya dan meluapkan dendamnya kepada orang tersebut kecuali bila dia (musuhnya) ridha.[17]

2.  Suka Berbelit-belit

Apabila ada seorang pengacara yang dikenal berbelit-belit sehingga mengutarakan hal-hal yang tidak ada kenyataannya dengan tujuan untuk memperpanjang masalah dan menyakiti lawan, maka dia tidak boleh diangkat sebagai pengacara.[18]

3.  Bila Hakim Pilih Kasih Kepadanya

Apabila ada indikasi kuat bahwa hakim akan pilih kasih kepadanya baik karena hubungan kerabat atau hubungan kawan dekat dan sebagainya maka tidak boleh sebagai pengacara dalam kasus tersebut. Oleh karenanya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim alu Syaikh berpendapat bahwa hendaknya hakim tidak menjadi hakim dalam kasus yang pengacaranya adalah anaknya sendiri.[19]

4.  Sebagai Penggugat dan Pembela dalam Satu Kasus

Masalah ini diperselisihkan oleh ulama, namun pendapat terkuat adalah tidak boleh karena hal itu kontra, bagaimana dia menjadi penggugat dan dalam waktu yang sama dia menjadi pembela?! Ini adalah madzhab Hanafiyyah dan pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’iyyah.[20]

Kewajiban Pengacara

Ada beberapa kewajiban yang harus diperhatikan oleh para pengacara:

1.  Melaksanakan Tugas

Kewajiban pengacara adalah melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dan tidak melampuinya, karena dia adalah wakil dari seorang yang telah mewakilkannya.[21]

2.  Menghormati Majlis Pengadilan

Pengacara harus beradab dan menghormati sidang pengadilan baik kepada hakim, terdakwa, dan saksi. Dia berkata sopan kepada mereka dan tidak mengeluarkan kata-kata yang kotor[22]. Dan tidak mengapa untuk menyebutkan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya sekalipun dengan menyifati penuduh dengan kezaliman karena hal itu bukanlah termasuk ghibah yang terlarang.[23]

3.  Memenuhi Panggilan Mahkamah Pengadilan

Pengacara harus segera untuk memenuhi panggilan mahkamah pengadilan ketika diminta datang dalam waktu yang ditentukan seraya menghadirkan data-data dan dokumen yang diperlukan. Semua itu dengan keterangan yang jelas dan data yang komplet. Janganlah dia berbelit-belit dan mempersulit jalannya sidang karena hal itu hanya akan memperuncing masalah.[24]

4.  Menjunjung Tinggi Kejujuran

Pengacara harus menjunjung tinggi kejujuran. Tugasnya adalah membela kebenaran dan tidak boleh baginya untuk membela kebatilan dan kesalahan. Seandainya seseorang memberikan keterangan-keterangan yang bohong maka tidak boleh sang pengacara menyembunyikannya, tetapi harus menjelaskan fakta sesungguhnya dengan jujur dan adil.[25]

5.  Mencurahkan Tenaganya

Pengacara harus berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan tugasnya baik membantah tuduhan, menyampaikan bukti, atau membela hak. Tidak boleh dia menipu atau memberikan keterangan sebelum waktunya yang sesuai atau mengakhirkannya dari waktu yang sesuai.[26]

6.  Menjaga Rahasia

Apabila ada hal-hal yang seharusnya dirahasiakan maka tidak boleh pengacara membongkarnya, apalagi hal-hal yang berkaitan dengan pribadi rumah tangga atau menyebabkan kerusakan di masyarakat.[27]

7.  Memiliki kantor atau rumah yang mudah diketahui

Tujuannya, jika sewaktu-waktu dibutuhkan oleh hakim atau terdakwa maka dengan mudah dapat dihubungi[28]. Dan hal itu pada zaman sekarang sangat mudah dengan adanya alat telekomunikasi yang modern.

Demikianlah penjelasan secara singkat tentang pengacara dalam Islam. Semoga bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi para pengacara dan calon pengacara yang ingin sukses dunia dan akhirat.

***

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi
Artikel www.PengusahaMuslim.com

 


[1]    Penulis banyak mengambil faidah untuk pembahasan ini dari tulisan Syaikh Abdulloh bin Muhammad alu Khunain berjudul “Al-Wakalah ’ala Khushumah wa Ahkamuha al-Mihaniyyah fil Fiqih Islami wa Nizhomil Muhamat Su’udi”, dimuat dalam Majalah al-’Adl edisi 15, Rojab 1423 H.

[2]    Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (2005)

[3]    Taisir Karimir Rohman: 2/351

[4]    Syarh Adab al-Qodhi: 3/402

[5]    Al-Mughni karya Ibnu Qudamah: 5/204, Durorul Hukkam karya Ali Haidar: 3/368

[6]    Al-Mabsuth: 19/4

[7]    Roudhoh al-Qudhot karya as-Sumnani: 1/181

[8]    Ahkamul Qur’an karya Ibnul ’Arobi: 3/220, al-Kafi karya Ibnu Qudamah: 2/239

[9]    Adhwa’ul Bayan karya asy-Syinqithi: 4/49

[10]  Fatawa Lajnah Da’imah: 1/792. Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota: Abdurrozzaq ’Afifi, Abdulloh al-Ghudayyan, dan Abdulloh bin Qu’ud. Lihat pula fatwa-fatwa ulama lainnya tentang hukum profesi pengacara dalam kitab al-MuhamahTarikhuha fi Nudhum wa Mauqif Syari’ah Minha karya Syaikh Masyhur Hasan Salman hlm. 139–148.

[11]  Roudhoh al-Qudhot: 1/122

[12]  Tarikh Baghdad: 11/303–304

[13]  Adabul Qodho’ hlm. 692

[14]  Roudhoh al-Qudhot: 1/122, Tanbihul Hukkam ’Ala Ma’akhidzil Ahkam karya Ibnul Munashif hlm. 141, Tabshiroh al-Hukkam Fi Ushul Aqdhiyah wa Manahij Ihkam karya Ibnu Farhun: 1/282.

[15]  Al-Muhamah Fi Dhou’i Syari’ah Islamiyyah wal Qowanin al-Arobiyyah karya Muslim Muhammad Jaudat hlm. 130

[16]  Al-Muhamah Fi Nidhom Qodho’i karya Muhammad Ibrahim Zaid hlm. 44

[17]  Mawahibul Jalil karya al-Kaththob: 5/200

[18]  Adab al-Qodhi karya al-Khoshof: 2/78

[19]  Fatawa wa Rosa’il: 8/43

[20]  Al-Mabsuth: 19/15, Adab al-Qodhi karya Ibnul Qosh: 1/217, Hilyah Ulama karya asy-Syasyi 5/129.

[21]  Mu’inul Hukkam ’Ala al-Qodhoya wal Ahkam karya Abu Ishaq Ibrohim bin Hasan: 2/684

[22]  Mu’inul Hukkam Fima Yataroddadu Bainal Khoshmaini min al-Ahkam karya ’Ala’uddin ath-Thorobilsi: hlm. 21

[23]  Majmu’ Fatawa: 28/219.

[24]  Tabshiroh Hukkam karya Ibnu Farhun: 1/180, Adab al-Qodhi karya al-Mawardi 1/251

[25]  Roudhoh al-Qudhot 1/124

[26]  Al-Muhamah Risalah wa Amanah karya Ahmad Hasan Karzun hlm. 61, 82

[27]  Ibid. hlm. 62.

[28]  Qurrotu ’Uyunil Akhbar karya Ibnu Abidin 1/322

Related posts:

  1. PROFESI PENGACARA MENGAPA TIDAK?

Sesatkah Aqidah Bahwa Orangtua Nabi Muhammad Adalah Kafir?!

$
0
0

Sesatkah Aqidah Bahwa Orangtua Nabi Adalah Kafir?!

Oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi

Muqaddimah

Termasuk aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah yang jelas adalah tidak boleh memvonis seseorang dengan neraka atau surga kecuali berdasarkan dalil yang konkret dari al-Qur’an dan hadits yang shahih, karena perkara ini termasuk masalah ghaib yang di luar pengetahuan seorang hamba. Namun, apabila sudah ada dalil shahih yang menegaskan status seseorang bahwasanya dia di surga atau neraka maka kewajiban bagi seorang muslim adalah mengimaninya dan menerimanya dengan sepenuh hati.

Nah, di antara status keberadaan yang ditegaskan dalam hadits yang shahih adalah keberadaan orangtua Nabi di neraka. Hanya, masalah ini masih menjadi kebingungan bagi sebagian orang dan ketergelinciran bagi sebagian pena para penulis, apalagi setelah terkumpulnya syubhat-syubhat dalam masalah ini yang digoreskan oleh as-Suyuthi dalam berbagai kitabnya yang banyak sekali seperti Masaliku Hunafa fii Walidai al-Musthafa, ad-Duruj al-Munifah fil Abâi asy-Syarifah, al-Maqamat as-Sundusiyyah fin Nisbah al-Musthafawiyyah, at-Ta’zhim wal Minnah fii Anna Abawai Rasulillah fil Jannah, Nasyru Alamain al-Munifain fii Ihya’ al-Abawain asy-Syarifain. as-Subul al-Jaliyyah fil Abâi al-Aliyyah.

Gayung pun bersambut, syubhat-syubhat tersebut dicuatkan oleh sebagian orang untuk menolak hadits shahih, ditambah dengan alasan cinta kepada Nabi, padahal mereka tahu bahwa surga dan neraka bukanlah diukur dengan nasab dan kehormatan, namun dengan iman dan amal shalih.

Berikut ini kajian singkat tentang hadits pembahasan berikut bantahan terhadap syubhat-syubhat seputar masalah ini. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita semua untuk menjadi pembela-pembela hadits Nabi.

Teks Hadits dan Takhrijnya

Ada dua hadits yang merupakan landasan dasar masalah ini:

Dalil pertama:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِيْ؟ قَالَ: فِي النَّارِ. فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

Dari Anas, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, di manakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada?” Beliau menjawab, “Di neraka.” Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”

a.      Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîh-nya (203), Abu Awanah dalam Musnad-nya (289), Ahmad dalam Musnad-nya (3/268), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4718), Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (578), Abu Ya’la dalam Musnad-nya (3516), al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (7/190 no. 13856) dan Dalâil Nubuwwah (1/191), al-Jauraqani dalam al-Abâthil wal Manâkir wash Shihah wal Masyâhir (1/132–233), dan Ibnu Mandah dalam kitab al-Îmân (926).

Seluruhya lewat dari dua jalur:

ñ    Jalur pertama: Affan bin Muslim – Hammad bin Salamah – Tsabit al-Bunani – Anas bin Malik.

ñ    Jalur kedua: Musa bin Isma’il – Hammad bin Salamah – Tsabit al-Bunani – Anas bin Malik.

b.      Hukum Hadits

Tidak ragu lagi bahwa hadits ini adalah shahih. Cukuplah sebagai hujjah akan keshahihannya bahwa Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam kitab Shahîh-nya yang masyhur itu. Syaikh al-Albani berkata dalam Muqaddimah Bidâyatus Sûl (hlm. 16–17), “Hadits riwayat Muslim dan selainnya. Hadits ini shahih meskipun as-Suyuthi memaksakan diri untuk melemahkan hadits ini dalam beberapa kitabnya.”

Dalil Kedua:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ a قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ n قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِيْ فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

Dari Abu Hurairah berkata, “Nabi pernah menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang yang berada di sampingnya juga turut menangis kemudian beliau bersabda, ‘Saya tadi meminta izin kepada Rabbku untuk memohon ampun baginya (ibunya) tetapi saya tidak diberi izin, dan saya meminta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya (ibunya) kemudian Allah memberiku izin. Berziarahlah karena (ziarah kubur) dapat mengingatkan kematian.’”

a.      Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîh-nya (976–977), Abu Dawud (3235), Nasai (4/90), Ibnu Majah (1572), Ahmad dalam Musnad-nya (2/441), ath-Thahawi dalam Musykil Atsar (3/89), al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (4/76), (7/190) dan Dalâil Nubuawwah (1/190), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (5/463 no. 1554) dan Ma’alim Tanzil (3/115), Abu Ya’la dalam Musnad-nya (6193), al-Jauraqani dalam Abâthil wal Manâkir (1/230) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (1429).

Seluruhnya dari tiga jalur:

  1. Jalur pertama: Marwan bin Mu’awiyah – Yazid bin Kaisan – Abu Hazim – Abu Hurairah.
  2. Jalur kedua: Muhammad bin Ubaid – Yazid bin Kaisan – Abu Hazim – Abu Hurairah.
  3. Jalur ketiga: Ya’la bin Ubaid – Yazid bin Kaisan – Abu Hazim – Abu Hurairah (Riwayat al-Hakim saja)

b.      Hukum Hadits

Tidaklah diragukan bahwa hadits ini adalah shahih. Cukuplah sebagai hujjah bahwa Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam kitab Shahîh-nya. Imam Baghawi berkata, “Hadits ini shahih.” Al-Hakim berkata, “Hadits shahih menurut syarat Muslim tetapi keduanya (Bukhari-Muslim) tidak mengeluarkannya.” Dan disetujui Imam Dzahabi!!

Kami berkata: Imam Hakim benar dalam menghukumi hadits ini shahih menurut syarat Muslim, tetapi beliau salah ketika mengatakan bahwa Imam Muslim tidak mengeluarkannya, karena hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîh-nya—sebagaimana Anda lihat di atas.

Bersama al-Hafizh as-Suyuthi

Al-Hafizh as-Suyuthi melemahkan hadits pertama dalam kitabnya Masaliku Hunafa fi Walidai Musthafa 2/432–435 dengan alasan bahwa Hammad bin Salamah telah diselisihi oleh Ma’mar bin Rasyid, di mana beliau tidak menyebutkan lafazh ini, tetapi dengan lafazh “Apabila engkau melewati kuburan seorang kafir maka beritakanlah dia dengan neraka”. Hadits dengan lafazh ini lebih kuat, karena Ma’mar lebih kuat hafalannya daripada Hammad, sebab Hammad ada pembicaraan dalam hafalannya, berbeda halnya dengan Ma’mar.

Jawaban: Alasan ini adalah alasan yang sangat lemah sekali, sebab sebagaimana tidak samar lagi bagi para ahli hadits—termasuk as-Suyuthi sendiri—bahwa perawi yang paling kuat riwayatnya dari Tsabit al-Bunani adalah Hammad bin Salamah, sehingga apabila bertentangan dengan rawi lainnya maka yang dimenangkan adalah Hammad bin Salamah.

  1. Abu Hatim ar-Razi berkata—sebagaimana dalam al-’Ilal (2185), ”Hammad bin Salamah adalah orang yang paling terpercaya apabila meriwayatkan dari Tsabit dan Ali bin Zaid.”
  2. Ahmad bin Hambal berkata, “Hammad bin Salamah lebih kuat daripada Ma’mar jika dia meriwayatkan dari Tsabit.”
  3. Yahya bin Ma’in berkata, “Barang siapa menyelisihi Hammad bin Salamah maka yang dimenangkan adalah Hammad.” Dikatakan kepada beliau, “Bagaimana dengan Sulaiman bin Mughirah dari Tsabit?” Beliau berkata, “Sulaiman bin Mughirah memang terpercaya, tetapi Hammad adalah orang yang paling tahu tentang Tsabit.”
  4.  Al-’Uqaili berkata dalam adh-Dhu’afa’ (2/291), “Manusia yang paling terpercaya tentang Tsabit adalah Hammad bin Salamah.”

Imam Muslim dalam Shahîh-nya seringkali meriwayatkan riwayat dari jalur Hammad bin Salamah dari Tsabit. Berbeda halnya dengan Ma’mar bin Rasyid, sekalipun beliau terpercaya, para ahli hadits melemahkan riwayatnya dari Tsabit. Ibnu Ma’in berkata, “Ma’mar dari Tsabit lemah riwayatnya.” Al-’Uqaili berkata, “Riwayat yang paling mungkar dari Tsabit adalah riwayat Ma’mar bin Rasyid.”

Setelah penjelasan ini, lantas apa artinya perbandingan yang dilakukan oleh al-Hafizh as-Suyuthi antara dua orang tersebut?! Jadi, pendapat yang benar adalah riwayat Hammad bin Salamah, sedangkan riwayat Ma’mar bin Rasyid adalah mungkar.[1]

Adapun hadits kedua, as-Suyuthi tidak memberikan banyak alasan untuk melemahkannya kecuali ucapan yang global saja!!

Fiqih Hadits

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata mengomentari hadits ini:

“Ketahuilah wahai saudaraku seislam bahwa sebagian manusia sekarang dan sebelumnya juga, mereka tidak siap menerima hadits shahih ini dan tidak mengimani kandungannya yang menegaskan kufurnya kedua orangtua Nabi. Bahkan sebagian kalangan yang dianggap sebagai tokoh Islam mengingkari hadits ini berikut kandungannya yang sangat jelas.

Menurut saya, pengingkaran seperti ini pada hakikatnya juga tertuju kepada Rasulullah yang telah mengabarkan demikian, atau minimal kepada para imam yang meriwayatkan hadits tersebut dan menshahihkannya. Dan ini merupakan pintu kefasikan dan kekufuran yang nyata karena berkonsekuensi meragukan kaum muslimin terhadap agama mereka, sebab tidak ada jalan untuk mengenal dan memahami agama ini kecuali dari jalur Nabi sebagaimana tidak samar bagi setiap muslim.

Jika mereka sudah tidak mempercayainya hanya karena tidak sesuai dengan perasaan dan hawa nafsu mereka maka ini merupakan pintu yang lebar untuk menolak hadits-hadits shahih dari Nabi. Sebagaimana hal ini terbukti nyata pada kebanyakan penulis yang buku-buku mereka tersebar di tengah kaum muslimin seperti al-Ghazali, al-Huwaidi, Bulaiq, Ibnu Abdil Mannan, dan sejenisnya yang tidak memiliki pedoman dalam menshahihkan dan melemahkan hadits kecuali hawa nafsu mereka semata.

Dan ketahuilah wahai saudaraku muslim yang sayang terhadap agamanya bahwa hadits-hadits ini yang mengabarkan tentang keimanan dan kekufuran seseorang adalah termasuk perkara ghoib yang wajib untuk diimani dan diterima dengan bulat. Allah berfirman:

الٓمٓ ﴿١﴾ ذَ‌ٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾

Alif lâm mîm. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS. al-Baqarah [2]: 1–3)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـٰلًۭا مُّبِينًۭا ﴿٣٦﴾

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzâb [33]: 36)

Maka berpaling darinya dan tidak mengimaninya berkonsekuensi dua hal yang sama-sama pahit rasanya. Pertama: Mendustakan Nabi. Kedua: Mendustakan para perawi hadits yang terpercaya.

Dan tatkala menulis ini, saya tahu betul bahwa sebagian orang yang mengingkari hadits ini atau memalingkan maknanya dengan maka yang batil seperti as-Suyuthi—semoga Allah mengampuninya—adalah karena terbawa oleh sikap berlebih-lebihan dalam mengagungkan dan mencintai Nabi, sehingga mereka tidak terima bila kedua orangtua Nabi seperti yang dikabarkan oleh Nabi, seakan-akan mereka lebih sayang kepada orangtua Nabi daripada Nabi sendiri!!!”[2]

Sebenarnya ucapan para ulama salaf tentang aqidah ini banyak sekali. Namun, cukuplah kami nukil di sini ucapan al-Allamah Ali bin Sulthan Ali al-Qari, “Telah bersepakat para ulama salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi’in, imam empat, dan seluruh ahli ijtihaj akan hal itu (kedua orangtua Nabi di neraka) tanpa ada perselisihan orang setelah mereka. Adapun perselisihan orang setelah mereka tidaklah mengubah kesepakatan ulama salaf.”[3]

Syubhat dan Jawabannya

Di antara syubhat melemahkan hadits shahih, di sana ada beberapa syubhat lainnya yang perlu kita kupas sekalipun secara singkat:

Syubhat pertama: Kedua orangtua Nabi hidup di masa fathrah

Mereka berdalil dengan firman Allah:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًۭا ﴿١٥﴾

Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. al-Isrâ’ [17]: 15)

Syaikh Abu Zahrah (al-Azhar, Mesir) berkata, “Ayah dan ibu Nabi hidup pada masa fathrah (kekosongan Nabi), maka bagaimana mungkin keduanya akan diadzab? … Terus terang, saya (Abu Zahrah) tak dapat menahan telinga dan pikiranku tatkala saya membayangkan bahwa Abdullah dan Aminah berada di neraka!”

Jawaban: Syaikh al-Albani menjawab syubhat ini, “Ketahuilah bahwa hadits ini walaupun sudah jelas keshahihan sanadnya, banyaknya syawahid (penguat)nya serta kesepakatan para ulama pakar menerimanya, namun Syaikh Abu Zahrah menolaknya mentah-mentah dengan penuh kelancangan dan kejahilan yang mendalam tatkala dia berkata … (kemudian beliau menyebutkan perkataan Abu Zahrah di atas). Saya (al-Albani, Red.) katakan: Subhanallah! seperti inikah sikap hamba yang beriman kepada Rasulullah kemudian kepada para ulama mukhlishin (ikhlas) yang telah meriwayatkan hadits-hadits Nabi sekaligus menyaringnya antara shahih dan dha’if serta bersepakat tentang keshahihan hadits ini?! Bukankah sikap Abu Zahrah ini adalah manhaj (metode) para pengekor hawa nafsu seperti Mu’tazilah dkk. yang menimbang suatu kebaikan dan kejelekan berdasarkan akal? Lucunya, Syaikh Abu Zahrah mengaku bahwa dirinya termasuk Ahli Sunnah, lantas mengapa dia menyelisihi mereka (Ahli Sunnah) dan meniti jalan Mu’tazilah, pendewa akal dan pengingkar hadits-hadits shahih berdasarkan hawa nafsu belaka …”[4]

Syubhat kedua: Hadits-hadits tentang hidupnya kedua orangtua Nabi  setelah mati lalu beriman.

Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa kedua orangtua Nabi hidup kembali dan beriman kepada Nabi. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa hadits-hadits tentangnya telah mencapai derajat mutawatir.

Jawaban: Hadits-hadits tentang imannya kedua orangtua Nabi seluruhnya maudhu’ dan mungkar sebagaimana ditegaskan oleh pakar (ahli) hadits.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits itu tidak shahih menurut ahli hadits, bahkan mereka bersepakat bahwa hadits itu adalah dusta dan diada-adakan sekalipun diriwayatkan dengan sanad para perawi yang majahil (tidak dikenal). Sebenarnya tidak ada pertentangan di kalangan Ahlus Sunnah bahwa hadits itu palsu yang sangat nyata kedustaannya sebagaimana ditegaskan oleh ahli ilmu. Seandainya kejadian seperti ini benar-benar terjadi, niscaya akan banyak dinukil karena masalah seperti ini sangat luar biasa ditinjau dari dua segi:

  1. segi menghidupkan orang yang telah mati
  2. segi keimanan setelah mati

Hadits ini di samping palsu, juga bertentangan dengan al-Qur’an, hadits shahih, dan ijma’.”[5]

Syubhat ketiga: Celaan Kepada Nabi?

Mereka mengatakan bahwa keyakinan/aqidah bahwa kedua orangtua Nabi di neraka termasuk kurang adab terhadap Rasulullah.

Jawaban: Beradab terhadap Rasulullah yang sebenarnya adalah mengikuti perintahnya dan membenarkan haditsnya, sedang kurang adab terhadap Rasulullah adalah apabila menyelisihi petunjuknya dan menentang haditsnya. Allah berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُقَدِّمُوا۟ بَيْنَ يَدَىِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ ﴿١﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Hujurât: 1)

Alangkah bagusnya perkataan Syaikh Abdurrahman al-Yamani tatkala mengomentari hadits ini, “Seringkali kecintaan seseorang tak dapat dikendalikan sehingga dia menerjang hujjah serta memeranginya. Padahal orang yang diberi taufik mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan mahabbah (cinta) yang disyari’atkan. Wallahul Musta’an.”

Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini berkata, “Termasuk kegilaan, bila orang yang berpegang teguh dengan hadits-hadits shahih disifati dengan kurang adab. Demi Allah, seandainya hadits tentang islamnya kedua orangtua Nabi shahih, maka kami adalah orang yang paling berbahagia dengannya. Bagaimana tidak, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat dengan Nabi yang lebih saya cintai daripada diriku ini. Allah menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan. Tetapi kita tidaklah membangun suatu ucapan yang tidak ada dalilnya yang shahih. Sayangnya, banyak manusia yang melangkahi dalil shahih dan menerjang hujjah. Wallahul Musta’an.”[6]

Demikianlah pembahasan ini secara singkat. Barang siapa yang ingin memperluas pembahasan ini maka kami persilakan untuk membaca kitab Adillah Mu’taqad Abi Hanifah fi Abawai Rasul karya Syaikh Mula al-Qari, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Naqdhu Masalik as-Suyuthi fi Walidai al-Musthafa oleh Dr. Ahmad bin Shalih az-Zahrani.

 


[1]   Dinukil dari jawaban Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam Majalah at-Tauhid, edisi 3/Th. 9. Dan lihat bantahannya lebih lengkap dalam tulisan beliau tersebut.

[2]   Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah no. 2592

[3]   Adillah Mu’taqad Abi Hanifah fi Abawai Rasul hlm. 84

[4]   Shahîh Sîrah Nabawiyyah hlm. 24–27

[5]   Majmû’ Fatâwâ 4/324

[6]   Lihat Majalah at-Tauhîd, Mesir, edisi 3/Rabi’ul Awal 1421 hlm. 37

Mengkritik Ritual Awal Tahun dan Renungan Akhir Tahun

$
0
0

Mengkritik Ritual Awal Tahun

dan Renungan Akhir Tahun

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Muqaddimah

Perputaran waktu dari tahun ke tahun berikutnya merupakan tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Banyak sekali kejadian dan kenangan selama perputaran waktu tersebut yang semestinya membuahkan pelajaran berharga bagi kita semua.

Detik-detik pergantian tahun adalah saat-saat yang sangat bersejarah dalam lembaran umat manusia, sehingga menjadikan sebagian orang membuat ritual-ritual dan amalan yang keabsahan dalilnya dipertanyakan. Berikut ini pembahasan ringkas tentang “amalan akhir tahun dan awal tahun”, kemudian pembahasan tambahan tentang amalan lainnya serta renungan akan pergantian tahun. Semoga Allah memberkahi waktu kita semua dalam ketaatan kepada Allah.

Teks Hadits

مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ، فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ بِصَوْمٍ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبَلَةَ بِصَوْمٍ، جَعَلَ اللَّهُ لَهُ كَفَّارَةً خَمْسِيْنَ سَنَةً

“Barang siapa berpuasa akhir hari bulan Dzulhijjah dan awal Muharram, maka dia telah menutup tahun lalunya dengan puasa dan membuka tahun barunya dengan puasa, Allah menjadikan baginya kaffarah lima puluh tahun.”

MAUDHU’. Dibawakan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhū’āt 2/566 dengan sanadnya sampai kepada Ibnu Abbas, lalu katanya, “Al-Harawi adalah al-Juwaibari dan Wahb, kedunya adalah pendusta dan pemalsu hadits.” Dan disetujui As-Suyuthi[1], Ibnu Arraq[2], dan Asy-Syaukani.[3]

Mengkritik Matan

Dengan demikian, maka pengkhususan akhir tahun dan awal tahun dengan puasa termasuk kebid’ahan dalam agama.[4] Demikian juga ritual-ritual serupa yang tidak ada dalilnya, seperti:

1   Do’a awal dan akhir tahun[5]

Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata, “Tidak ada dalam syari’at ini sedikit pun do’a atau dzikir untuk awal tahun. Manusia zaman sekarang banyak membuat bid’ah berupa do’a, dzikir, demikian pula puasa awal tahun baru, menghidupkan malam pertama bulan Muharram dengan shalat, dzikir atau do’a, puasa akhir tahun, dan sebagainya yang semua ini tidak ada dalilnya sama sekali!!”[6]

2   Peringatan tahun baru

Tidak ragu lagi perkara ini termasuk bid’ah. Tidak ada keterangan dalam As-Sunnah anjuran mengadakan peringatan tahun baru Hijriah. Perkara ini termasuk bid’ah yang jelek.[7]

3   Menghidupkan malam pertama bulan Muharram[8]

Syaikh Abu Syamah berkata, “Tidak ada keutamaan sama sekali pada malam pertama bulan Muharram. Aku sudah meneliti atsar-atsar yang shahih maupun yang lemah dalam masalah ini. Bahkan dalam hadits-hadits yang palsu juga tidak disebutkan!! Aku khawatir—aku berlindung kepada Allah—bahwa perkara ini hanya muncul dari seorang pendusta yang membuat-buat hadits!!”[9]

Banyak sekali kemungkaran dan bid’ah-bid’ah yang dibuat pada hari Asyura.[10] Kita mulai dari malam harinya. Banyak manusia yang menghidupkan malam hari Asyura, baik dengan shalat, do’a dan dzikir, atau sekadar berkumpul-kumpul. Perkara ini jelas tidak ada tuntunan yang menganjurkannya.

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Termasuk bentuk bid’ah dzikir dan do’a adalah menghidupkan malam hari Asyura dengan dzikir dan ibadah. Mengkhususkan do’a pada malam hari ini dengan nama do’a hari Asyura, yang konon kabarnya barang siapa yang membaca do’a ini tidak akan mati tahun tersebut. Atau membaca surat Al-Qur‘an yang disebutkan nama Musa pada shalat Subuh hari Asyura.[11] Semua ini adalah perkara yang tidak dikehendaki oleh Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin!!”[12]

4   Shalat Asyura

Shalat Asyura adalah shalat yang dikerjakan antara waktu zhuhur dan asar, empat raka’at, setiap raka’at membaca Al-Fātihah sekali, kemudian membaca Ayat Kursi sepuluh kali, “Qul Huwallahu Ahad” (Surat al-Ikhlāsh, Red.) sepuluh kali, Al-Falaq dan An-Nās lima kali. Apabila selesai salam, istighfar tujuh puluh kali. Orang-orang yang menganjurkan shalat ini dasarnya hanyalah sebuah hadits palsu!![13]

Asy-Syuqairy berkata, “Hadits shalat Asyura adalah hadits palsu. Para perawinya majhul, sebagaimana disebutkan oleh As-Suyuthi dalam Al-’Alā‘ al-Mashnū’ah. Tidak boleh meriwayatkan hadits ini, lebih-lebih sampai mengamalkannya!!”[14]

5   Do’a hari Asyura

Di antara contoh do’a Asyura adalah, “Barang siapa yang mengucapkan Hasbiyallah wa Ni’mal Wakil an-Nashir sebanyak tujuh puluh kali pada hari Asyura maka Allah akan menjaganya dari kejelekan pada hari itu.”

Do’a ini tidak ada asalnya dari Nabi, para sahabat, maupun para tabi’in. Tidak disebutkan dalam hadits-hadits yang lemah apalagi hadits yang shahih. Do’a ini hanya berasal dari ucapan sebagian manusia!! Bahkan sebagian syaikh sufi ada yang berlebihan menyatakan bahwa barang siapa membaca do’a ini pada hari Asyura dia tidak akan mati pada tahun tersebut!![15] Ucapan ini jelas batil dan mungkar karena Allah telah berfirman:

إِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ إِذَا جَآءَ لَا يُؤَخَّرُ ۖ لَوْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٤﴾

Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui. (QS. Nūh [71]: 4)[16]

Renungan Akhir Tahun

Datangnya tahun baru ini dan pergantian tahun ini seharusnya memberi kita banyak pelajaran. Setidaknya ada dua hal yang perlu kita renungkan bersama:

1   Mengoreksi diri

Ibarat seorang pedagang setelah berdagang, dia akan mengoreksi apakah dia mendapatkan untung ataukah malah rugi? Demikianlah semestinya seorang hamba, hendaknya mengoreksi dirinya, apakah selama tahun yang lalu dia beruntung dengan pahala, karena rajin shalatnya, puasanya, berakhlak baik kepada sesama manusia, dan kewajiban-kewajiban yang lainnya, ataukah dia rugi karena shalatnya yang masih ‘bolong-bolong’, menerjang larangan Allah, masih sering bermusuhan dengan sesama manusia, dan lain-lainnya. Allah berfirman dalam Al-Qur‘an:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌۭ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۢ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿١٨﴾

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr [59]: 18)

Dengan mengoreksi seperti ini, kita akan mendapat tiga faedah:

  1. Kita akan menyibukkan diri dengan dosa kita sendiri dan tidak menyibukkan dosa orang lain, apalagi pada zaman sekarang yang penuh dengan gosip—isu yang kadang benar tetapi tak jarang hanyalah dusta dan omong kosong belaka.
  2. Kita akan mengagungkan Allah, mengakui dosa-dosa kita dan banyak meminta ampunan dari-Nya.
  3. Kita akan memperbaiki diri kita dan tidak terjatuh dalam kesalahan untuk kedua kalinya.

2   Mengingat kematian

Dengan datangnya tahun baru berarti umur kita bertambah, dan kematian semakin dekat. Perhatikanlah rembulan, di awal bulan dia kecil, kemudian membesar ketika di pertengahan bulan, lalu dia mengecil lagi di akhir bulan. Demikianlah juga keadaan manusia, awal lahir dia kecil, kemudian tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan segar, lalu dia tua dan lemah, kemudian meninggal dunia.

Demikianlah keadaan kita, kita di dunia ini hanyalah mampir sebentar, kita semua akan kembali kepada Allah. Namun, bekal apa yang sudah kita persiapkan untuk menghadap Allah?!

Allah Ta’ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍۢ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ ﴿٣٥﴾

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. Al-Anbiyā‘ [21]: 35)

Apabila kita mengingat kampung akhirat dan kematian, maka kita akan mendapatkan tiga faedah:

  1. Semangat dalam ibadah dan membaguskannya karena dia merasa bahwa amalnya masih sedikit dan banyak dosa, barangkali ini ibadah yang terakhir kali.
  2. Segera dalam taubat, dia tidak menunda-nunda sembari berkata, “Oh, nanti saja kalau sudah tua, sekarang selagi masih muda senang-senang dulu, dosa-dosa sedikit gak masalah.” Subhanallah, siapa yang tahu kapan kita akan meninggal dunia?? Mungkin setahun lagi, sebulan lagi, seminggu lagi, satu jam, atau satu menit lagi—kita tidak tahu—lantas kenapa taubat perlu ditunda-tunda??
  3. Qana’ah dengan rezeki dari Allah. Apa yang telah Allah rezekikan kepada kita dari yang halal, marilah kita syukuri, dan kita merasa cukup dengannya. Adapun apabila kita merasa tidak cukup dengan rezeki Allah, maka gaji seratus juta per bulan pun niscaya akan terasa masih kurang, demikianlah sifat manusia. Maka lihatlah orang-orang yang di bawah kita, jangan lihat yang lebih atas. Kalau kita masih bisa makan tiga kali sehari, lihatlah masih banyak saudara kita yang belum punya rumah, kelaparan, dan kesusahan untuk mencari makan walaupun hanya sekali dalam sehari.

 


[1]    Al-Alāi 2/108

[2]    Tanzīh Syarī’ah 2/148

[3]    Al-Fawāid al-Majmū’ah hlm. 96

[4]    Lihat As-Sunan wal Mubtada’āt hlm. 191, Bida’ wa Akhthā‘ Ahmad bin Abdullah as-Sulami hlm. 221

[5]    Ishlāhul Masājid Al-Qashimi hlm. 129, As-Sunan wal Mubtada’āt Muhammad Ahmad Abdus Salam hlm. 155.

[6]    Tashhīh ad-Du’ā‘, Bakr Abu Zaid hlm. 107

[7]    Bida’ wa Akhthā‘ hlm. 218. Lihat secara luas masalah ini dalam risalah Al-Ihtifāl bi Ra‘si Sanah wa Musybahati Ashhābil Jahīm oleh Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari.

[8]    Tashhīh ad-Du’ā‘ hlm. 107, Bida’ wa Akhthā‘ hlm. 221

[9]    Al-Ba’its ’alā Inkāril Bida’ wal Hawādits hlm. 239

[10]   Iqthidhā‘ ash-Shirāth al-Mustaqīm 2/129–134, Majmū’ Fatāwā 25/307–314 keduanya oleh Ibnu Taimiyyah, Al-Ibdā’ fī Madharil Ibtidā’ Ali Mahfuzh hlm. 56, 269, As-Sunan wal Mubtada’āt hlm. 154–158, 191.

[11]   Bida’ al-Qurrā‘, Bakr Abu Zaid hlm. 9

[12]   Tashhīh ad-Du’ā‘ hlm. 109

[13]   Al-Fawāid al-Majmū’ah no. 60, al-’Alāi al-Masnū’ah 2/92.

[14]   As-Sunan wal Mubtada’āt hlm. 154

[15]   Du’ā‘ Khatmil Qur‘ān, Ahmad Muhammad al-Barrak, buku ini sarat dengan khurafat dan kedustaan!! (Bida’ wa Akhtha‘ hlm. 230)

[16]   Dinukil dari buku Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyyah hlm. 19–23 karya Abu Ubaidah as-Sidawi dan Abu Abdillah Syahrul Fatwa, Darul Ilmi, Bogor.

Keajaiban Air Zamzam Digugat

$
0
0

Keajaiban Air Zamzam Digugat

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Alkisah, pada tahun 1304 H, konsultan Inggris di Jeddah pernah mempublikasikan sebuah tes penelitian tentang air zamzam. Dalam pernyataan tersebut, mereka mengaku telah mendapatkan air zamzam melalui seorang muslim yang bekerja di konsultan, lalu setelah melakukan tes pada air tersebut, mereka membuat pernyataan yang penuh dengan kedengkian, “Sesungguhnya air zamzam banyak mengandung bakteri berbahaya dan virus penyakit kolera, bahkan air zamzam lebih berbahaya daripada air got.” Mereka menulis semua itu dalam sebuah risalah kecil berjudul “Haji ke Makkah dan Kolera Zamzam”.

Tatkala khalifah saat itu, Shulthan Abdul Hamid ats-Tsani (1263–1339 H) membaca pernyataan tersebut, maka beliau langsung mengirim dokter ahli yang profesional ke Makkah untuk meneliti langsung air zamzam, ternyata hasilnya bahwa air zamzam tidak seperti dugaan tersebut. Maka mereka membuat pernyataan bantahan kepada konsultan Inggris dengan menyatakan:

“Sesungguhnya orang pembawa air yang kalian tes itu adalah seorang Yahudi yang pura-pura Islam, dia mengambil air got untuk kalian, bukan air zamzam. Maka hasil tes kalian itu benar terhadap air got yang dia bawa, tetapi bukan air zamzam. Kami telah melakukan tes kepada air zamzam asli dan ternyata hasilnya bersih tanpa mengandung zat zat berbahaya atau penyakit kolera.”[1]

Sejarah berulang lagi. Beberapa bulan lalu, sebuah media besar di Inggris melaporkan pada hari Kamis (05/05/2011) bahwa air zamzam telah “tercemar” dan terkontaminasi zat berbahaya. Dan “meminum air zamzam dapat menimbulkan penyakit seperti kanker”. Berita itu dilansir BBC berdasarkan hasil penelitian terhadap air mineral dalam botol, yang diberi label “Air Zamzam”. Bahayanya, air botolan itu mengandung arsenik tiga kali lebih tinggi dari level yang diperbolehkan.

Hasil laboratorium dari Asosiasi Analis Publik Inggris menemukan kalau air tersebut tidak baik diminum manusia. Ketua Asosiasi, Duncan Campbell, mengatakan, “Air itu beracun, terutama karena tingginya level arsenik di dalamnya.”[2]

Namun, yakinlah bahwa Allah pasti akan membangkitkan sebagian hamba-Nya untuk menampakkan kebenaran dan membantah kebatilan pada setiap zaman dan tempat. Berikut ini pembahasan singkat tentang keistimewaan dan keajaiban air zamzam kemudian bantahan singkat atas tuduhan tersebut.

Hadits Tentang Keutamaan Air Zamzam

Dari penjelasan Rasulullah dan para ulama dapat diketahui bahwa air zamzam memiliki barokah dan keutamaan. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan air zamzam dapat disebutkan sebagai berikut.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ  يَقُوْلُ: مَاءُ زَمْزَمَ لمِاَ شُرِبَ لَهُ

Dari Jabir berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Air zamzam itu tergantung niat orang yang meminumnya.”

HASAN. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2/1018, Ahmad 3/357, al-Baihaqi dalam Sunan 5/148. Dan dihasankan oleh ad-Dimyathi dalam al-Matjar Rabih hlm. 318, Ibnu Qayyim dalam Zādul Ma’ād 4/393, az-Zarkasyi dalam at-Tadzkirah hlm. 151.[3]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ  قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ n: خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ، فِيْهِ طَعَامُ الطَّعْمِ، وَشِفَاءُ السَّقْمِ

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik air yang terdapat di muka bumi adalah zamzam. Di dalamnya terdapat makanan yang mengenyangkan dan penawar penyakit.”

HASAN. Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Kabīr 11/98. Dihasankan as-Suyuthi dalam al-Jāmi’ Shaghīr 3/489. Al-Mundziri juga berkata dalam at-Targhīb 2/209, “Para perawinya terpercaya.”

Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits tentang keutamaan air zamzam, tetapi kami mencukupkan dua hadits di atas saja.

 

Penjelasan Hadits

1      Hadits pertama

Hadits pertama menunjukkan dengan jelas tentang khasiat air zamzam dan keutamaannya yang tidak dimiliki oleh air-air lainnya yaitu minum air zamzam tergantung pada niat peminumnya, baik untuk kebutuhan dunia ataupun akhirat. Maka barang siapa yang meminum air zamzam dengan niat yang tulus maka Allah akan mengabulkannya.

Menyadari akan hal itu, banyak sekali para ulama salaf yang minum air zamzam dengan menghadirkan beragam niat karena mereka tahu betul bahwa do’a saat minum air zamzam adalah mustajab sebagaimana dikabarkan oleh Nabi. Dan telah banyak di antara mereka yang terkabulkan do’anya bahkan tak terhitung jumlahnya.[4] Berikut kami nukilkan tiga contoh saja:

  1. Al-Humaidi berkata, “Saya pernah berada di sisi Sufyan bin Uyainah, lalu beliau menceritakan kepada kami hadits:

مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ

‘Air zamzam tergantung keinginan seorang yang meminumnya.’

Tiba-tiba ada seorang lelaki bangkit dari majelis, kemudian kembali lagi seraya mengatakan, ‘Wahai Abu Muhammad, bukankah hadits yang engkau ceritakan kepada kami tadi tentang zamzam adalah hadits yang shahih?’ Jawab beliau, ‘Benar.’ Lelaki itu lalu berkata, ‘Baru saja aku meminum seember air zamzam dengan harapan engkau akan menceritakan kepadaku seratus hadits.’ Akhirnya, Sufyan berkata kepadanya, ‘Duduklah.’ Lelaki itu pun duduk dan Sufyan menceritakan seratus hadits kepadanya.”[5]

Semoga Allah merahmati Imam Sufyan bin Uyainah, alangkah semangatnya beliau dalam menebarkan ilmu! Dan semoga Allah merahmati penanya tersebut, alangkah semangatnya dia dalam menuntut ilmu dan sindiran lembut untuk mendapatkannya![6]

  1. Telah masyhur dari Imam Syafi’i bahwa beliau minum air zamzam dengan niat untuk pandai memanah sehingga dalam sepuluh kali memanah beliau tepat sebanyak sembilan kali mengenai sasaran.[7] Dalam riwayat lain, beliau berkata, “Saya minum air zamzam untuk tiga hal: (1) pintar memanah maka dalam sepuluh kali saya tepat semua mengenai sasaran, (2) pandai dalam agama maka sebagaimana kalian lihat sendiri sekarang, (3) untuk masuk surga maka saya berharap untuk mendapatkannya kelak.”[8]
  2. Al-Allamah Zhafar Ahmad at-Tahanuwi, salah seorang ulama India (1394 H) bercerita bahwa beliau minum air zamzam pada saat haji untuk kebaik-kebaikan dunianya yang kebanyakannya telah terwujudkan, salah satunya adalah agar beliau bisa fasih dalam mengajar dan berkhotbah karena lidahnya agak pelat, lalu beberapa saat setelah itu Allah memberikan kefasihan kepada beliau dalam khotbah dan mengajar. Segala puji bagi Allah.[9] Dan masih banyak lagi contoh-contoh nyata lainnya.[10]

2     Hadits kedua

Adapun hadits kedua menunjukkan dua keutamaan air zamzam:

Pertama: Zamzam adalah air yang mengenyangkan

Ini juga termasuk keberkahan air zamzam bisa seperti makanan, dapat mengenyangkan orang yang meminumnya. Banyak sekali bukti akan hal itu, di antaranya:

  1. Abu Dzar al-Ghifari berkata, “Selama 30 hari, aku tidak mempunyai makanan kecuali air zamzam. Aku menjadi gemuk dan lemak perutku menjadi sirna. Aku tidak mendapatkan dalam hatiku kelemahan lapar.” (Muslim 4/1921)
  2. Ibnul Qayyim (751 H) berkata, “Saya mendapati orang yang bertahan beberapa hari dengan air zamzam kurang lebih setengah bulan, dia thawaf seperi manusia lainnya, bahkan dia bercerita padaku bahwa kadang-kadang dia bisa bertahan selama empat puluh hari lamanya.”[11]
  3. Syaikh Abdurrasyid Ibrahim, seorang ulama Tatar (1364 H) bercerita, “Saya bertahan beberapa minggu dengan zamzam untuk menghilangkan rasa laparku. Ini adalah pengalaman nyata yang tidak diragukan padanya.”[12]

Kedua: Air zamzam merupakan obat penawar

Dan ini adalah keajaiban lainnya yang sangat menakjubkan, bahkan dari penyakit-penyakit kronis yang para dokter ahli saja telah lepas tangan darinya. Berikut tiga contoh tentangnya:

  1. Dikisahkan oleh al-Azraqi bahwa ada seorang yang makan lalu ternyata ada jarumnya sehingga tersendat di tenggorokannya dan dia pun seakan-akan sudah mau mati, lalu dia minum air zamzam dan akhirnya sembuh total.[13]
  2. Dikisahkan oleh Taqiyuddin al-Fasii bahwa seorang pegawai Masjidil Haram bernama Ahmad Syarifi pernah minum air zamzam dengan niat kesembuhan dari buta yang menimpa matanya, lalu akhirnya dia pun sembuh dari buta.[14]
  3. Ibnul Qayyi berkata, “Saya dan selain saya telah mencoba untuk berobat dengan air zamzam dari berbagai macam penyakit, akhirnya saya mendapati keajaiban yang luar biasa dan saya mendapatkan kesembuhan dengan izin Allah.”[15]

Dan masih banyak lagi kisah nyata lainnya, sampai-sampai al-Qazwini berkata, “Air zamzam berkhasiat untuk semua penyakit apa pun, bahkan seandainya semua orang yang disembuhkan oleh para dokter dikumpulkan, niscaya tidak sampai melebihi separuh orang yang disembuhkan oleh Allah melalui zamzam.”[16]

Namun, tentu saja semua itu dengan syarat niat yang tulus dan tawakal yang kuat, bukan hanya sekadar coba-coba atau dengan keraguan dalam hatinya, karena Allah bersama orang-orang yang bertawakkal.[17]

Bantahan Atas Tuduhan

Sesungguhnya hati musuh-musuh Islam penuh dengan kebencian terhadap Islam. Oleh karena itu, mereka mencurahkan segala daya dan upaya untuk memerangi Islam dan umat Islam dengan segala cara selama-lamanya. Allah telah menyingkap isi hati mereka tersebut dalam firman-Nya:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ بِطَانَةًۭ مِّن دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًۭا وَدُّوا۟ مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ ٱلْبَغْضَآءُ مِنْ أَفْوَ‌ٰهِهِمْ وَمَا تُخْفِى صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ ٱلْءَايَـٰتِ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ ﴿١١٨﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Āli ’Imrān [3]: 118)

Di antara bukti kebencian mereka adalah tuduhan mereka bahwa air zamzam telah tercemar dan mengandung penyakit berbahaya. Oleh karena itu, tak salah jika Menteri Urusan Haji Arab Saudi mengatakan bahwa tuduhan pencemaran air zamzam adalah “pencemaran publik” yang dilancarkan musuh-musuh Islam dan beliau menegaskan bahwa pengelolaan air zamzam melalui proses panjang dari para ahli di bidangnya dan selalu dipantau oleh para ahlinya setiap hari.

Dan sebagai bantahan ringkas atas tuduhan ini maka kami katakan:

  1. Sungguh tuduhan ini merupakan suatu kelancangan terhadap Nabi yang tidak berbicara sesuai hawa nafsunya tetapi wahyu dari Allah yang mengetahui seluk-beluk makhluk-Nya. Oleh karena itu, sikap seorang mukmin sejati adalah seperti yang difirmankan oleh Allah:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـٰلًۭا مُّبِينًۭا ﴿٣٦﴾

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzāb [33]: 36)

  1. Bukti nyata akan kedustaan tuduhan ini adalah sejarah para jama’ah haji sejak dahulu kala hingga sekarang yang minum air zamzam, lebih-lebih jama’ah haji zaman dahulu yang datang menaiki hewan dan berdebu, datang dengan membawa penyakit, minum secara langsung dengan gayung, yang semua itu menurut para dokter merupakan faktor tersebarnya penyakit.

Namun, bila kita bertanya kepada sejarah: Adakah di antara mereka yang sakit karena minum air zamzam?! Tidak, bahkan sebaliknya, banyak di antara mereka yang sembuh dari penyakit mereka selepas minum air zamzam. Semua itu merupakan bukti nyata akan penjagaan Allah yang luar biasa terhadap air zamzam ini. Maka janganlah engkau—wahai saudaraku seiman—tertipu dengan desas-desus musuh-musuh Islam dan hendaknya kita yakin seyakin-yakinnya akan kebenaran hadits Nabi n\ tentang air zamzam.

 

Demikianlah pembahasan singkat tentang air zamzam ini. Semoga hal ini menambah keimanan kita kepada hadits Nabi  dan tidak teperdaya oleh isu-isu yang dilancarkan oleh musuh Islam.[18]

 


[1]

Pernyataan Konsultan Inggris beserta bantahannya berupa manuskrip dalam bahasa Turki, pernah dimuat dengan bahasa Arab dalam Majalah Liwāul Islām, Kairo, edisi 2, Dzulhijjah 1367 H. (Lihat Fadhlu Māa Zamzam hlm. 163–164 oleh Sa’id Bakdasy)

[3]    Sebagai faedah, kami sampaikan bahwa sebagian ulama ahli hadits telah menulis risalah khusus tentang hadits ini seperti al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), Muhammad bin Idris al-Qadiri (1350 H) dan sebagainya.

[4]    Sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Juz‘ Māa Zamzam hlm. 271.

[5]    Al-Mujalasah Abu Bakar ad-Dinawari 2/343, Juz‘ Māa Zamzam Ibnu Hajar hlm. 271.

[6]

      Fadhlu Māa Zamzam Sa’id Bakdasy hlm. 137

[7]

      Akhbārul Adzkiyā‘ hlm. 105 oleh Ibnul Jauzi

[8]

      Al-Jauhar al-Munazham hlm. 44–45

[9]

      I’lāmus Sunan 10/207–208

[10]

Lihat dalam Juz‘ Māa Zamzam oleh Ibnu Hajar dan Fadhlu Māa Zamzam oleh Sa’id Bakdasy.

[11]

      Zādul Ma’ād 4/393

[12]

Al-’Alam Islami, dengan bahasa Turki, alih bahasa Arab oleh Syaikh Kamal Khaukhah. (Lihat Fadhlu Māa Zamzam hlm. 105–106 oleh Sa’id Bakdasy)

[13]

      Akhbār Makkah 2/35

[14]

      Syifāul Ghirām 1/255

[15]

      Zādul Ma’ād 4/393

[16]

      ’Ajāibul Makhlūqāt hlm. 93

[17]

      Ahkāmul Qur‘ān 3/1124 oleh Ibnul Arabi

[18]  Pada pembahasan ini penulis banyak mengambil faedah dari buku yang berharga tentang masalah air zamzam yaitu kitab Fadhlu Māa Zamzam oleh Sa’id Bakdasy, Darul Basyair Islamiyyah, Beirut, cet. kedelapan, 1424 H.


15 Alasan Kokohnya Aqidah Salaf Shalih

$
0
0

15 Alasan

Kokohnya Aqidah Salaf Shalih

Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr[1]

Muqaddimah

Sesungguhnya aqidah Islam yang bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam agama. bahkan kedudukannya ibarat fondasi bagi bangunan dan akar bagi pohon. Bila aqidah sudah mengakar kuat dalam hati seorang hamba maka akan membuahkan akhlak yang indah, ibadah yang mulia, dan manhaj yang lurus sebab bila aqidah semakin kuat dan mantap maka akan semakin membuahkan segala kebaikan dan kebahagiaan.

Oleh karena itu, para ulama salaf shalih sangat mencurahkan perhatian mereka terhadap masalah aqidah lebih dari segalanya, bahkan lebih daripada makanan, minuman, dan pakaian mereka karena mereka menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan hati mereka. Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهِۦ وَأَنَّهُۥٓ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ ٢٤

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan. (QS. al-Anfâl [8]: 24)

Bila kita membuka lembaran-lembaran sejarah salaf shalih, niscaya akan kita dapati potret perhatian mereka yang sangat menakjubkan. Di antara buktinya adalah ribuan buku yang ditulis oleh ulama salaf dalam menjelaskan aqidah yang benar dan membelanya dari rongrongan para perusak agama dengan bahasa yang lugas dan jelas seterang matahari di siang bolong. Gayung terus bersambut, estafet perjuangan mereka dilanjutkan oleh generasi selanjutnya tanpa adanya perubahan dalam aqidah mereka.

Tema tulisan ini adalah mengenai kokohnya aqidah salaf dan selamatnya dari segala perubahan semenjak beberapa abad yang lampau. Aqidah Ahlus Sunnah pada zaman sekarang sama halnya dengan aqidah yang dibawa oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka sehingga sampai pada zaman sekarang ini tetap dalam keadaan bersih dan jernih.

Ketika ada beberapa golongan menyimpang dari jalan yang lurus, para salaf tetap selamat mempertahankan agama dan aqidahnya karena mereka mengambilnya dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan Hadits. Mereka tidak terjebak dalam ‘tipu daya’ akal mereka, hawa nafsu, dan perasaan mereka. Sebab itu, jadilah aqidah mereka penuh dengan keselamatan, ilmu, dan kemuliaan.

Tentu saja di balik kokohnya aqidah mereka ada beberapa sebab yang perlu diketahui oleh seorang muslim agar bisa diterapkan dalam kehidupan mereka untuk menjaga kemurnian aqidahnya. Dan setelah saya renungi dan selami petuah-petuah para ulama seputar masalah ini, terkumpul olehku beberapa faktor yang cukup banyak yang menyebabkan kokohnya aqidah mereka. Saya akan ringkas dalam beberapa poin berikut ini:

1. Berpegang teguh dengan al-Qur’an dan hadits Nabi serta mengimani seluruh yang terkandung dalam keduanya

Inilah faktor utama kokohnya aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan selamatnya dari penyimpangan yaitu bersandar dengan al-Qur’an dan hadits. Mereka beriman terhadap seluruh yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits serta pasrah sepenuhnya. Karena rahasia inilah, mereka meraih keselamatan dan keautentikan dalam beragama. Dan sebagaimana sering diungkapkan oleh Syaikhul Islam, “Barangsiapa meninggalkan dalil (petunjuk), niscaya akan tersesat jalan. Dan tidak ada petunjuk yang benar selain apa yang dibawa oleh Rasulullah.” [2] Ibnu Abil Izzi juga mengatakan, “Bagaimana akan sampai kepada tujuan utama tanpa petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah.” [3] Yakni itu tidak mungkin dan sangat mustahil.

Oleh karena itu, tidak ada seorang pun dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang membuat aqidah dari pemikirannya sendiri, pendapatnya sendiri, atau perasaannya sendiri; berbeda halnya dengan ahli bid’ah yang melakukan hal itu, maka jadilah ketimpangan dan penyimpangan terjadi pada diri mereka. Syaikhul Islam pernah mengatakan, “Aqidah itu bukanlah diambil dariku atau orang yang lebih besar dariku, tetapi diambil dari Allah dan rasul-Nya serta apa yang disepakati oleh salaf shalih.” [4]

2.  Keyakinan mereka bahwa al-Qur’an dan Sunnah telah sempurna menghimpun keyakinan yang benar tanpa ada kekurangan sedikit pun

Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan segala yang dibutuhkan oleh umat manusia baik yang berkaitan tentang aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, dan sebagainya. Allah berfirman:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian. (QS. al-Mâidah [5]: 3)

Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan secara terperinci masalah-masalah yang ringan seperti adab buang hajat, adab bersuci, dan sebagainya. Lantas, mungkinkah masalah yang lebih penting daripada itu justru malah diabaikan?! Sungguh mustahil sekali hal itu terjadi, sebagaimana ucapan Imam Malik bin Anas, “Mustahil Nabi menjelaskan segala sesuatu sampai masalah adab buang hajat lalu beliau tidak menjelaskan tentang masalah tauhid.”

Tatkala Ahlus Sunnah meyakini hal ini secara bulat dan menyadari secara mendalam bahwa semua masalah aqidah telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan Hadits maka mereka pun berkiblat kepadanya dan kembali kepadanya tanpa melirik kepada selainnya, sehingga mereka pun menuai keselamatan yang sempurna tiada terkira. Imam Malik v\ juga pernah berkata, “Sunnah itu ibarat kapal Nabi Nuh p\, siapa yang menaikinya maka selamat dan siapa yang tidak menaikinya maka akan tenggelam.”

3.  Mengembalikan segala bentuk perbedaan dan perselisihan kepada al-Qur’an dan Hadits

Ini adalah faktor utama kokohnya aqidah mereka yaitu setiap kali mereka mendapati perselisihan dan perbedaan maka mereka memahami bahwa tidak ada solusi yang tepat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut kecuali dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana firman Allah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisâ’ [4]: 59)

Tidak ragu lagi bahwa siapa pun yang mengembalikan segala perbedaan kepada al-Qur’an dan Hadits niscaya dia akan kokoh, selamat, dan tidak goncang atau plinplan, sebab tidak ada solusi untuk mengatasi perselisihan kecuali dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah karena pendapat manusia, ideologi, dan akal pikiran mereka berbeda-beda. Tidak ada cara yang jitu untuk menghilangkan semua perbedaan tadi kecuali apabila semuanya mau kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.

4.  Menjaga kesucian fitrah

Fitrah adalah anugerah Allah kepada hamba-Nya dengan menciptakan mereka semua di atas fitrah sebagaimana sabda Nabi, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.” (HR. Bukhari: 1385)

Demikian juga Ahlus Sunnah, fitrah mereka terjaga dari polusi dan penyimpangan tatkala golongan lainnya tercemari oleh polusi-polusi penyimpangan. Oleh karenanya, hendaknya bagi setiap orang untuk bersungguh-sungguh menjaga fitrah mereka.

فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. ar-Rûm [30]: 30)

Namun, perlu diketahui bahwa kesucian fitrah sangat bergantung pada lurusnya landasan beragama. Jika pemilik fitrah berlandaskan pada al-Qur’an dan hadits maka fitrahnya akan selamat dan terjaga. Namun, jika dia mengorbankan fitrahnya kepada hawa nafsu, syubhat (kerancuan) yang merusak dan ideologi yang sesat maka fitrahnya akan tercemar.

5.  Menempatkan akal pada porsinya

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang sangat cemerlang akal mereka, tidak berlebihan atau meremehkan sebagaimana kelompok-kelompok ahli bid’ah. Mereka tidak berlebihan kepada akal seperti halnya para ahli filsafat dan orang yang meniti jejak mereka, sehingga mereka melemparkan al-Qur’an dan Hadits ke belakang punggung mereka dan bersandar pada logika mereka secara penuh.

Sebagaimana diketahui bersama, akal manusia itu berbeda-beda. Oleh karena itu, tatkala sebagian kelompok menjadikan akal sebagai sandaran dan pedoman, maka yang terjadi adalah munculnya penyimpangan dan perbedaan tajam di kalangan mereka, karena akal manusia itu bertingkat-tingkat.

Sebaliknya, ada juga kelompok lainnya yang justru merendahkan akal seperti mayoritas ahli tasawuf sehingga banyak di antara mereka yang terjatuh dalam amalan-amalan yang semigila dan tidak masuk akal. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka bersikap tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan sehingga melampaui batas wilayah akal, tetapi juga tidak merendahkannya.

Akal manusia ada batasnya yang tepat. Barangsiapa yang berusaha untuk menceburkan akalnya di luar kapasitasnya maka dia akan tersesat. Akal Ahlus Sunnah selamat dari penyimpangan karena mereka menempatkan akal pada posisinya. Merekalah orang-orang yang cerdas sesungguhnya, karena menempatkan akal pada posisinya yang tepat, tidak berlebihan dan tidak meremehkan.

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ١٩١

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Âli ’Imrân [3]: 191)

6.  Merasa sangat tenteram, bahagia, dan lezat dengan aqidah salaf

Kelezatan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh Ahlus Sunnah tersebut tidak dirasakan oleh para pengekor hawa nafsu lainnya. Allah berfirman:

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ ٢٨

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra’du [13]: 28)

Tentang hal ini, Ibnul Qayyim menuturkan, “Ketenangan hati dan kemantapan hati tidak mungkin terwujudkan kecuali dengan keyakinan. Oleh karena itu, engkau mendapati hati para Ahlus Sunnah sangat mantap dengan keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, dan Hari Akhir. Mereka tidak ragu dan tidak berselisih dalam masalah itu sedikit pun.” [5]

Syaikhul Islam juga menuturkan, “Adapun Ahlus Sunnah dan (Ahlul) Hadits, maka tidak didapati dari salah seorang ulama mereka atau seorang awam di kalangan mereka yang keluar dari aqidahnya, bahkan mereka adalah manusia yang paling sabar sekalipun menuai berbagai cobaan. Demikianlah kondisi para nabi dan para pengikutnya.” [6]

Jika memang demikian ketenteraman hati mereka, lantas untuk apa lagi mereka harus beralih dan mencari selainnya?!!

7.  Menyandarkan pemahaman mengenai al-Qur’an dan Sunnah kepada pemahaman salaf shalih

Pemahaman manusia bisa jadi salah dan keliru, namun barangsiapa yang menggali agama dari sumber aslinya yang jernih yaitu Nabi dan para sahabatnya secara langsung dengan hati yang bersih, akal yang sehat, dan kejujuran maka dia akan meraih ilmu, keselamatan, dan hikmah. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah selalu bergantung pada pemahaman salaf shalih dalam memahami dalil-dalil. Imam Sijzi bertutur menyifati Ahlus Sunnah, “Mereka adalah kelompok yang konsisten di atas aqidah yang dinukil oleh para sahabat dalam hal-hal yang tidak ada nash yang jelas dalam al-Qur’an dan Hadits, karena mereka adalah para imam panutan. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Ini sangat jelas, tanpa membutuhkan bukti.” [7]

Al-Ajurri juga berkata, “Tanda seorang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah tatkala dia menempuh jalan ini yaitu berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan Sunnah serta sunnah para sahabat dan a orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik dari para ulama setiap negeri seperti al-Auza’i, Sufyan Tsauri, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.” [8]

Ibnu Qutaibah juga berkata, “Seandainya kita ingin pindah dari pendapat ahli hadits (Ahlus Sunnah) menuju pendapat ahli kalam/filsafat, maka itu berarti kita pindah dari persatuan menuju perpecahan dan dari kebahagiaan menuju kekacauan.” [9]

Semua ini menunjukkan secara jelas kepada kita bahwa tidak mungkin suatu kekokohan (terwujud) kecuali dengan bersandar pada pemahaman salaf shalih. Allah berfirman:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisâ’ [4]: 115)

8.  Sikap tengah-tengah tidak berlebihan dan tidak meremehkan

Ahlus Sunnah bersikap tengah-tengah tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan. Mereka menapaki jalan yang lurus dan kokoh di atasnya serta menjauhi jalan-jalan kesesatan baik yang cenderung kepada sikap berlebihan atau yang cenderung kepada sikap merendahkan. Inilah faktor penting kokohnya aqidah mereka. Ibnul Qayyim berkata, “Agama Allah antara berlebihan dan meremehkan dan sebaik-baik manusia adalah yang bersikap tengah. Oleh karena itu, Allah menjadikan umat ini tengah-tengah.” [10] Allah berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ وَمَا جَعَلۡنَا ٱلۡقِبۡلَةَ ٱلَّتِي كُنتَ عَلَيۡهَآ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِۚ وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ ١

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. al-Baqarah [2]: 143)

Perlu diketahui bahwa sikap tengah-tengah ini tidak mungkin terwujud kecuali dengan menapaki kebenaran tanpa menambah dan mengurangi. Barangsiapa bersikap demikian, maka dia akan mantap dan kokoh dalam beragama.

9.  Tidak mendahulukan akal dan pendapat daripada al-Qur’an dan Sunnah

As-Sam’ani berkata, “Faktor utama kesepakatan ahli hadits (Ahlus Sunnah, Red.) adalah karena mereka mengambil agama mereka dari al-Qur’an dan Sunnah sehingga membuat mereka bersatu dan saling mencintai. Adapun ahli bid’ah, tatkala mereka mengambil agama mereka dari akal dan logika mereka, maka hal itu membuat mereka berpecah dan berselisih, sebab akal dan pendapat manusia jarang sekali bisa bersatu.” [11]

Jadi, faktor utama kokohnya agama mereka adalah karena mereka tidak mendahulukan akal dan pendapat mereka dari al-Qur’an dan Sunnah. Berbeda halnya para ahli bid’ah yang mendahulukan hal-hal ini daripada al-Qur’an dan Sunnah. Ada yang mendahulukan akalnya, ada yang mendahulukan pendapatnya, ada yang mendahulukan perasaannya, ada yang mendahulukan impiannya, dan ada yang mendahulukan hawa nafsunya.

10.   Bergantung kepada Allah

Ahlus Sunnah selalu memohon taufiq kepada Allah, meminta dan memohon agar Allah memberikan keteguhan kepada mereka sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dalam banyak do’anya, di antaranya: “Ya Allah, Dzat yang membalikkan hati, tetapkanlah hati hamba dalam agama-Mu.”

Kedekatan mereka kepada Allah ini membuahkan keshalihan dalam ibadah dan kemuliaan akhlak. Oleh karena itu, termasuk buah aqidah yang benar adalah menumbuhkan kebaikan dalam amalan. Berbeda halnya para ahli bid’ah, banyak di antara mereka yang rusak ibadah dan akhlaknya. Barangsiapa yang mengamati mereka—khususnya para tokoh mereka—niscaya akan mendapati hal ini secara jelas. Kalaulah seandainya memang ada pada mereka, maka apa yang ada pada Ahlus Sunnah lebih agung dan lebih mulia.

11.   Merasa sangat yakin dengan aqidah salaf dan menjauhi perdebatan

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap agama dan aqidah mereka sehingga tidak butuh menawarkannya pada pendapat dan logika orang lain. Lain halnya dengan ahli bid’ah, mereka berpindah-pindah dari suatu keyakinan menuju keyakinan lainnya karena mereka selalu dibayangi oleh keraguan dan kerancuan. Allah berfirman:

وَلَمَّا ضُرِبَ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ مَثَلًا إِذَا قَوۡمُكَ مِنۡهُ يَصِدُّونَ ٥

Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. (QS. az-Zukhruf [43]: 57)

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai bahan perdebatan maka dia akan sering berpindah-pindah pendapat.” [12]

Suatu saat, ada seorang berkata kepada Imam Malik, “Wahai Abu Abdillah, dengarkanlah aku, saya akan berdialog dan berdebat denganmu jika engkau kalah maka engkau ikuti pendapatku.” Kata Imam Malik, “Bagaimana jika ada orang lain yang mendebat kita lalu dia mengalahkan kita?” Orang tersebut menjawab, “Ya kita ikuti dia.” Serentak Imam Malik mengatakan, “Wahai Abdullah, sesungguhnya Allah mengutus Muhammad dengan satu agama, namun mengapa saya melihat dirimu berpindah-pindah dari agama menuju agama lainnya.” Beliau juga mengatakan, “Apakah setiap kali datang seorang yang lebih lihai berbicara, lalu kita tinggalkan apa yang dibawa oleh Jibril kepada Muhammad?!![13]

Pernah juga ada seorang datang kepada Imam Hasan al-Bashri seraya mengatakan, “Wahai Abu Sa’id, marilah kita berdebat tentang agama.” Maka Hasan menjawab, “Saya telah yakin dengan agama saya, jika memang kamu kehilangan agamamu maka pergi dan carilah.” [14]

Nukilan-nukilan atsar di atas menunjukkan kokohnya mereka dalam beragama dan tidak butuh kepada perdebatan dan dialog untuk mencari pemikiran dan pendapat lainnya yang menyimpang.

12.   Meyakini bahwa masalah-masalah aqidah dan iman adalah absolut dan paten

Semua itu karena aqidah tidak mungkin dihapus atau diganti, karena semua dakwah para nabi adalah sama sejak awal hingga akhir sebagaimana dalam hadits, “Para nabi adalah bersaudara, syari’at mereka berbeda tetapi pokok aqidah mereka satu.” (HR. Muslim 4/1837)

13.   Mudah dan tidak bertele-tele atau berbelit-belit

Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah jelas dan terang seterang matahari di siang hari, lain halnya dengan aqidah-aqidah menyimpang lainnya yang sulit, rancu, dan bertele-tele.

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan tentang terangnya aqidah ini karena sumbernya yang jelas, “Seperti sinar matahari bagi pandangan mata yang tidak tertutupi oleh apa pun, masuk ke telinga tanpa pamitan dan bersarang ke akal seperti air segar bagi orang yang kehausan. Keistimewaan aqidah ini dibandingkan ilmu kalam dan logika seperti keistimewaan Allah daripada makhluk-Nya. Tidak mungkin bisa seorang pun mencoreng aqidah ini kecuali seperti seorang yang hendak mencoreng sinar matahari yang muncul di siang hari tanpa adanya mendung.” [15]

Perumpamaan orang yang hendak mencela dan meragukan aqidah yang shahih dan bersumber dari al-Qur’an dan Hadits adalah seperti seorang yang datang kepada manusia di siang hari lalu mengatakan, “Saya akan membuktikan kepada kalian bahwa sekarang ini adalah malam hari.” Allah berfirman:

أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ ٤

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. al-Hajj [22]: 46)

14.   Mengambil pelajaran dari keadaan kelompok lainnya

Dahulu pernah dikatakan: “Orang bijak adalah orang yang mengambil pelajaran dari lainnya.” Demikian pula Ahlus Sunnah, mereka mengambil pelajaran dari keadaan para ahli bid’ah yang goncang dan ragu serta plinplan dalam beragama. As-Sam’ani pernah menggambarkan keadaan mereka dalam ucapannya, “Jika Anda melihat ahli bid’ah, niscaya Anda akan mendapati mereka berpecah belah dan berselisih, bergolong-golong dan berkelompok, tidak ada kesatuan diantara mereka, sebagian membid’ahkan sebagian yang lain bahkan mengkafirkan, seorang anak mengkafirkan ayahnya, saudaranya, tetangganya, mereka selalu dalam permusuhan dan perselisihan, sehingga umur mereka habis namun kalimat mereka belum bersatu”.[16]

15.   Bersatu dan tidak berselisih

Kalimat Ahlus Sunnah wal Jama’ah satu dan tidak berbeda. Lain halnya ahli bid’ah yang berpecah belah dan bergolong-golong, setiap golongan bangga dengan golongannya masing-masing. Imam Qatadah berkata, “Seandainya pemikiran Khawarij itu adalah petunjuk, niscaya akan bersatu, namun karena ia adalah kesesatan maka berpecah belah.” [17]

Lihatlah Ahlus Sunnah. Dakwah mereka satu, aqidah mereka satu, semuanya di atas jalan yang lurus sejak dahulu hingga sekarang baik dalam tauhid ibadah atau asma’ wa shifat atau anjuran kepada sunnah dan menjauhi bid’ah. Mereka satu kata sekalipun berbeda zaman dan tempat. Semua itu adalah bukti konkret akan kebenaran aqidah ini.

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ٨

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. an-Nisâ’: 82)

Akhirnya, saya berdo’a kepada Allah agar memasukkan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih, mengikuti sunnah dan atsar salaful ummah, menjauhkan kita dari bid’ah. Dan saya berdo’a kepada Allah agar memberikan anugerah kepada kita aqidah yang lurus, iman yang tebal, akhlak yang indah dan menjadikan kita semua para pengajak kebenaran.

 


[1]    Disadur secara bebas—dengan sedikit gubahan—oleh Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dari risalah beliau Tsabatu Aqidah Salaf wa Salamatuha Mina Taghyirat, Penerbit Darul Fadhilah, KSA, cet. pertama, 1423 H.

[2]    Miftâh Dâr as-Sa’âdah hlm. 90

[3]    Syarh ’Aqîdah ath-Thahawiyyah hlm. 18

[4]    Majmû’ Fatâwâ 3/203

[5]    Ash-Shawâ’iqul Mursalah 2/741

[6]    Majmû’ Fatâwâ 4/50

[7]    Ar-Raddu ’alâ Man Ankara al-Harfa wash Shauth hlm. 99

[8]    Asy-Syarî’ah 1/301

[9]    Ta’wîl Mukhtalifil Hadîts hlm. 16

[10]   Ighâtsatul Lahfân 1/201

[11]   Mukhtashar Shawâ’iq hlm. 518

[12]   Al-Ibânah oleh Ibnu Baththah 2/503

[13]   Idem 2/507–508

[14]   Idem 2/509

[15]   Ash-Shawâ’iq al-Mursalah 3/1199

[16]   Mukhtashar Shawâ’iq hlm. 518

[17]   Tafsîr ath-Thabarî 3/178

Seorang Mukmin Ibarat Pohon Kurma Renungan Sebuah Perumpamaan

$
0
0

Seorang Mukmin Ibarat Pohon Kurma

Renungan Sebuah Perumpamaan

Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr[1]

Tidak ragu lagi bahwa perumpamaan itu sangat indah dan mudah dicerna oleh akal karena akan memudahkan kita untuk memahami suatu ungkapan. Dalam al-Qur’an saja terdapat empat puluh lebih perumpamaan. Tentu saja di balik perumpamaan tersebut terdapat pelajaran berharga bagi orang mau merenungi. Allah berfirman:

وَتِلْكَ ٱلْأَمْثَـٰلُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَآ إِلَّا ٱلْعَـٰلِمُونَ ﴿٤٣﴾

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (QS. al-’Ankabūt : 43)

Sebagian salaf dahulu apabila membaca sebuah perumpamaan dalam al-Qur’an lalu dia tidak memahaminya, maka dia akan menangis tersedu-sedu seraya mengatakan, “Saya tidak termasuk orang-orang yang berilmu.” [2]

Oleh karena itulah, pada kesempatan kali ini saya ingin mengajak saudara sekalian untuk merenungi dan mempelajari bersama sebuah perumpamaan dalam al-Qur’an dan hadits tentang iman.

Teks Hadits

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  يَوْمًا لأَصْحَابِهِ « أَخْبِرُونِى عَنْ شَجَرَةٍ مَثَلُهَا مَثَلُ الْمُؤْمِنِ ». فَجَعَلَ الْقَوْمُ يَذْكُرُونَ شَجَرًا مِنْ شَجَرِ الْبَوَادِى. قَالَ ابْنُ عُمَرَ وَأُلْقِىَ فِى نَفْسِى أَوْ رُوعِىَ أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَجَعَلْتُ أُرِيدُ أَنْ أَقُولَهَا فَإِذَا أَسْنَانُ الْقَوْمِ فَأَهَابُ أَنْ أَتَكَلَّمَ فَلَمَّا سَكَتُوا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هِىَ النَّخْلَةُ ».

Dari Ibnu Umar berkata, “Suatu hari, Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang sebuah pohon yang perumpamaannya seperti seorang mukmin?’ Maka para sahabat pun menyebutkan jenis-jenis pohon di badui.’ ” Ibnu Umar berkata, “Terlintas dalam benakku untuk menjawab ‘pohon kurma’, tetapi saya segan menjawabnya karena banyak para sahabat yang lebih tua dariku. Tatkala para sahabat diam, Rasulullah bersabda, ‘Pohon itu adalah pohon kurma.’ ” (HR. Bukhari 1/38 dan Muslim 4/2165 dan ini lafazh Muslim)

Hadits ini merupakan penjelasan dan tafsir terhadap firman Allah:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًۭا كَلِمَةًۭ طَيِّبَةًۭ كَشَجَرَةٍۢ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌۭ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ ﴿٢٤﴾

     تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍۭ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ ﴿٢٥﴾

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS. Ibrâhîm [14]: 24–25)

Penafsiran ini ditegaskan oleh para ulama salaf shalih dari kalangan sahabat dan selain mereka. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Syu’aib bin Habhab berkata, “Suatu saat kami berada bersama Anas bin Malik, lalu disuguhkan kepada kami sebuah keranjang berisi kurma, kemudian Anas mengatakan kepadaku, “Makanlah wahai Abu Aliyah karena buah ini termasuk pohon yang disebutkan oleh Allah dalam Qur’an-Nya, lalu beliau membacakan ayat (QS. Ibrâhîm [14]: 24–25).” [3]

Semakna dengan redaksi di atas juga riwayat-riwayat yang dinukil dari ulama salaf lainnya seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Masruq, Ikrimah, Dhahak, Qatadah, Ibnu Zaid.[4]

Lebih tegas, Rasulullah bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ مَثَلُ النَّخْلَةِ، مَا أَخْذْتَ مِنْهَا مِنْ شَيْءٍ نَفَعَكَ

“Perumpamaan seorang mukmin itu seperti pohon kurma, apa pun yang engkau ambil darinya pasti bermanfaat bagimu.” [5]

Pohon kurma mendapatkan keistimewaan ini sebagai perumpamaan seorang mukmin karena pohon kurma adalah pohon yang sangat istimewa dan banyak manfaatnya. Imam Abu Hatim as-Sijistani menulis sebuah kitab khusus tentang pohon kurma. Dalam kitabnya tersebut beliau menyebutkan keistimewaan pohon kurma, nama-namanya, dan pembahasan-pembahasan menarik lainnya. Beliau mengatakan di pembukaannya, “Pohon kurma adalah tuannya para pohon, diciptakan dari tanah Nabi Adam[6]. Allah telah menjadikannya sebagai perumpamaan untuk kalimat lâ ilâha illallâh. Maka sebagaimana lâ ilâha illallâh adalah tuannya ucapan, demikian juga pohon kurma dia adalah tuannya pohon.” [7]

Dan yang perlu kita cermati bersama adalah tatkala Nabi memberikan perumpamaan seorang mukmin dengan pohon kurma, tentunya di sana ada sisi-sisi kesamaan antara keduanya yang sangat penting untuk kita renungi karena hal itu akan memberikan banyak manfaat bagi kita. Berikut ini akan kami sampaikan beberapa sisi kesamaan antara keduanya yang saya sarikan dari penjelasan ahli ilmu dalam kitab-kitab tafsir dan syarah hadits serta kitab-kitab lainnya.

PERTAMA: Pohon kurma pasti memiliki akar, batang, tangkai, daun, dan buahnya. Demikian juga dengan iman harus memiliki akar, cabang, dan buahnya. Akarnya adalah rukun iman yang enam, cabangnya adalah amal shalih dan ketaatan yang bermacam-macam, sedang buahnya adalah segala kebaikan dan kebahagiaan yang dipetik di dunia dan akhirat.

Al-Baghawi berkata, “Hikmah perumpamaan iman dengan pohon kurma adalah karena pohon itu harus memiliki tiga hal: akar, batang, dan tangkai. Demikian pula iman tidak sempurna kecuali dengan tiga hal: membenarkan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan amalan anggota badan.” [8]

KEDUA: Pohon kurma tidak bisa hidup dan tumbuh kecuali apabila disiram dengan air, demikian juga seorang mukmin tidak hidup hatinya kecuali apabila disiram dengan siraman rohani berupa wahyu. Oleh karena itu, ketika Allah memperingatkan dari kerasnya hati, setelah itu Allah berfirman:

ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يُحْىِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ ٱلْءَايَـٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ ﴿١٧﴾

Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya. (QS. al-Hadîd [57]: 17)

Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa sebagaimana Allah menghidupkan bumi dengan air dari kegersangan, demikian pula Allah menghidupkan gersangnya hati dengan wahyu. Namun, semua itu hanya dicermati oleh orang-orang yang memahami ayat-ayat Allah.

Oleh karena itu, seorang mukmin harus selalu mengontrol setiap waktu pohon imannya yang ada dalam hati dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, sebab jika tidak maka dikhawatirkan akan gersang kemudian mati. Dalam Musnad Imam Ahmad dari hadits Abu Hurairah berkata, “Rasulullah bersabda:

إِنَّ الإِيْمَانَ لَيَخْلَقُ فِيْ جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ، فَاسْأَلُوْا اللَّهَ أَنْ يُجَدِّدَ الإِيْمَانَ فِيْ قُلُوْبِكُمْ

‘Sesungguhnya iman dalam hati seorang di antara kalian itu bisa luntur/usang sebagaimana lunturnya pakaian, maka berdoalah kepada Allah untuk memperbaharui iman dalam hati kalian.’ ”[9]

Dari sinilah kita mengetahui betapa butuhnya hamba untuk melaksanakan ibadah kepada Allah setiap waktu agar imannya selalu terjaga.[10]

KETIGA: Pohon kurma itu sangat kokoh dan kuat, demikian pula iman apabila mengakar dalam hati seorang maka akan kokoh seperti gunung yang tak tergoyahkan sedikit pun.

Imam Auza’i pernah ditanya tentang iman, apakah bisa bertambah? Beliau menjawab, “Ya, bertambah sehingga seperti gunung.” Lalu ditanya, apakah bisa berkurang? Beliau menjawab, “Ya, sehingga tidak tersisa sedikit pun.” [11]

KEEMPAT: Pohon kurma tidak tumbuh di sembarangan tanah, tetapi hanya tanah yang subur saja. Oleh karena itu, kurma tidak bisa tumbuh sama sekali di sebagian daerah, kadang bisa tumbuh tetapi tak bisa berbuah, terkadang berbuah tetapi buahnya kecil. Jadi tidak semua tanah cocok untuk pohon kurma.[12]

Demikian halnya dengan iman, ia tidak bisa tumbuh pada setiap hati manusia, tetapi hanya pada hati seorang yang diberi hidayah oleh Allah dan dilapangkan dadanya dengan keimanan.

KELIMA: Pohon kurma terkadang dikelilingi oleh tumbuhan lainnya yang ada di sekitarnya sehingga dapat mengganggu pertumbuhannya. Oleh karenanya, sang pemilik pohon kurma harus selalu merawatnya dan membersihkan tumbuhan-tumbuhan lain yang mengganggu pertumbuhannya, sebab jika tidak maka pohon kurma tidak akan tumbuh dan mungkin bisa jadi akan terkalahkan oleh tumbuhan lainnya.

Demikian juga halnya dengan seorang mukmin dalam kehidupan ini, banyak sekali gangguan yang melemahkan imannya. Oleh karenanya, seorang mukmin hendaknya selalu berintrospeksi dan mengontrol imannya setiap saat dan berusaha semaksimal mungkin untuk membersihkan segala virus dan kotoran yang dapat menodai hatinya seperti godaan setan, fitnah dunia, hawa nafsu, dan sebagainya. Allah berfirman:

وَٱلَّذِينَ جَـٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ ﴿٦٩﴾

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-’Ankabût [29]: 69)

KEENAM: Pohon kurma adalah pohon yang penuh barokah sehingga setiap bagiannya bermanfaat dan tidak ada satupun bagian yang tidak bisa dimanfaatkan, buahnya jelas bermanfaat, batang kayunya untuk bangunan dan atap rumah, daunnya untuk penutup dan atap rumah, bahkan biji kurma sekalipun bisa dimanfaatkan.

Demikian juga halnya seorang mukmin, dia selalu berbarokah dalam setiap keadaan, dan selalu bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain sekalipun setelah meninggal dunia. Dia juga selalu bermanfaat bagi saudaranya yang lain, berakhlak mulia kepada sesama mereka, dan selalu berusaha membantu mereka dengan ucapan dan perbuatan.[13]

KETUJUH: Pohon kurma itu berbeda-beda dan bertingkat-tingkat bentuknya, jenisnya, buahnya, rasanya, sebagian lebih istimewa daripada yang lain. Demikian pula seorang mukmin, tingkatan iman mereka tidak sama, tetapi berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Allah berfirman:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا ٱلْكِتَـٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌۭ لِّنَفْسِهِۦ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌۭ وَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِٱلْخَيْرَ‌ٰتِ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۚ ذَ‌ٰلِكَ هُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْكَبِيرُ ﴿٣٢﴾

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS. Fâthir [35]: 32)

KEDELAPAN: Pohon kurma adalah pohon yang sangat sabar menghadapi angin yang kencang menerpanya, berbeda dengan pohon-pohon lainnya yang goyang jika terkena angin kencang bahkan mungkin ambruk. Demikian juga seorang mukmin, dia sabar menghadapi angin musibah dan cobaan yang menimpanya, sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan yang tidak berkenan baginya.

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَ‌ٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَ‌ٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ ﴿١٥٥﴾ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَـٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۭ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَ‌ٰجِعُونَ ﴿١٥٦﴾ أُو۟لَـٰٓئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَ‌ٰتٌۭ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌۭ ۖ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُهْتَدُونَ ﴿١٥٧﴾ ۞ إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ ٱلْبَيْتَ أَوِ ٱعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًۭا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ ﴿١٥٨﴾

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah [2]: 155–157)

KESEMBILAN: Pohon kurma itu semakin tua umurnya semakin enak rasa buahnya. Demikian juga seorang mukmin, semakin tua umurnya maka akan semakin baik amal perbuatannya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ».

Dari Abdullah bin Busr berkata, “Ada seorang Arab badui mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.’ ” [14]

KESEPULUH: Hati pohon kurma yang disebut dengan jummar termasuk bagian yang paling enak dan manis. Demikian juga hati seorang mukmin, tidak terisi kecuali dengan kebaikan, istiqamah, dan kejernihan.

KESEBELAS: Buah kurma termasuk buah-buahan yang sangat bermanfaat, ketika masih basah yang disebut dengan ruthab bisa dijadikan buah dan manisan, dan ketika kering yang disebut dengan tamr bisa sebagai makanan, buah-buahan, manisan, obat dan manfaat lainnya yang bermacam-macam.

Demikian halnya dengan seorang mukmin, manfaat dan kebaikannya bermacam-macam. Dan sebagaimana buah kurma itu manis rasanya, demikian halnya dengan keimanan, ada rasa manis dan lezat yang dirasakan oleh orang yang kuat imannya. Rasulullah bersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ

“Ada tiga hal yang apabila ada pada diri seorang maka dia akan merasakan lezat/manisnya iman; apabila Allah dan rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya. Dan mencintai seorang dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan orang yang takut untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana dia tidak ingin dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari 1/22 dan Muslim 1/66)

KEDUA BELAS: Termasuk sisi kesamaan yang unik antara seorang mukmin dengan pohon kurma adalah apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim: “Manusia telah menyebutkan sisi-sisi kesamaan antara manfaat pohon kurma dengan sifat seorang mukmin. Dan tatkala berbicara tentang duri pohon kurma, mereka menyerupakannya dengan sifat seorang mukmin yang keras terhadap musuh-musuh Allah, sehingga sifat kerasnya tersebut seperti duri, adapun terhadap orang-orang yang beriman dan bertakwa maka ia seperti kurma basah (ruthab) yang lembut dan manis.

مُّحَمَّدٌۭ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَىٰهُمْ رُكَّعًۭا سُجَّدًۭا يَبْتَغُونَ فَضْلًۭا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَ‌ٰنًۭا ۖ سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ ٱلسُّجُودِ ۚ ذَ‌ٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى ٱلتَّوْرَىٰةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِى ٱلْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْـَٔهُۥ فَـَٔازَرَهُۥ فَٱسْتَغْلَظَ فَٱسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعْجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ ٱلْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةًۭ وَأَجْرًا عَظِيمًۢا ﴿٢٩﴾

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Fath [48]: 29)[15]

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa iman adalah suatu pohon yang penuh berkah dan banyak manfaatnya dan buahnya, memiliki tempat tersendiri untuk ditanami, siraman khusus, dan memiliki akar, cabang dan buah.

Adapun tempatnya yaitu hati seorang mukmin. Di situlah benih dan akarnya ditanam sehingga menumbuhkan batang pohon dan tangkainya.

Adapun siramannya yaitu wahyu berupa al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Itulah siraman pohon tersebut, ia tidak akan bisa hidup dan tumbuh kecuali dengan siraman tersebut.

Adapun akarnya yaitu rukun iman yang enam dan rukun yang paling tinggi adalah iman kepada Allah.

Adapun cabangnya yaitu amal shalih serta ketaatan yang beragam.

Adapun buahnya yaitu semua kebaikan dan kebahagiaan yang diraih seorang mukmin di dunia adan akhirat. Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menulis sebuah risalah khusus tentang masalah ini berjudul at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman. Dalam kitab tersebut beliau menjelaskan tentang pohon iman ini secara lebih terperinci.

 

Demikianlah beberapa sisi kesamaan antara pohon kurma dengan seorang mukmin. Semoga Allah menjadikan kita semua ahli iman.

 


[1]
      Disadur secara bebas oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi dari buku beliau Ta’ammulat fi Mumatsalatil Mu’min lin Nakhlah, terbitan Dar Ibnu Affan, KSA, cet. pertama, 1419 H.

[2]
      Al-Kafiyah Syafiyah hlm. 9

[3]
      Sunan Tirmidzi no. 3119 dan diriwayatkan pula oleh Abdurrazzaq, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, ar-Raomahumurmuzi dalam al-Amtsal, sebagaimana dalam ad-Durr al-Mantsur 5/22 karya as-Suyuthi.

[4]
      Lihat atsar-atsar ini dalam Tafsir ath-Thabari 8/204–206 dan ad-Durr al-Mantsur 5/22–23 karya as-Suyuthi.

[5]
      HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir 12/no. 1351 dan dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/147 dan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 2285.

[6]
      Hadits yang menyebutkan bahwa pohon kurma tercipta dari tanah Nabi Adam tidak shahih dari Rasulullah n\ sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 1/129. Lihat pula al-Mizan 5/222 oleh adz-Dzahabi dan Silsilah adh-Dha’ifah 1/283–284 oleh al-Albani.

[7]
      Kitab an-Nakhlah hlm. 33

[8]
      Tafsir al-Baghawi 3/33

[9]
      HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/4 dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 4/113.

[10]
      Lihat I’lamul Muwaqqi’in 1/174 karya Ibnul Qayyim.

[11]
      Syarh Ushul I’tiqad 5/959 karya al-Lalikai

[12]
      Lihat Kitab an-Nakhlah hlm. 66–67.

[13]
      Lihat Fathul Bari 1/145–146 karya Ibnu Hajar dan Miftah Dar Sa’adah 1/120 karya Ibnul Qayyim.

[14]
      HR. Tirmidzi 4/565 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 2/271.

[15]
      Miftah Dar Sa’adah 1/10–121

Faktor-Faktor Pasang Surutnya Iman

$
0
0

Faktor-Faktor

Pasang Surutnya Iman

Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr[1]

Mengenal faktor-faktor kembang kempisnya iman sangatlah penting bagi seorang hamba sebab iman adalah kunci kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Maka hendaknya setiap hamba yang ingin meraih kebahagiaan berupaya serius untuk mengetahui faktor-faktor bertambahnya iman lalu merealisasikannya dalam kehidupan ini sehingga imannya semakin mengakar dalam hati. Sebaliknya, hendaknya dia mengetahui faktor-faktor perusak iman agar dia terhindar darinya dan selamat dari kubang kesengsaraan.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Seorang hamba yang beriman selalu berusaha menerapkan dua hal:

Pertama: Menguatkan fondasi-fondasi keimanan dan cabangnya dengan mengilmui dan mengamalkannya.

Kedua: Berusaha semaksimal mungkin untuk menangkis segala hal yang dapat mengotori imannya dan berusaha untuk mengobatinya sebelum terlambat.” [2]

 

Berikut beberapa faktor tersebut secara ringkas:

Faktor-Faktor Bertambahnya Iman

Allah menjadikan segala sesuatu pasti ada sebabnya, demikian halnya dengan iman, Allah telah menjadikan beberapa faktor bertambahnya iman dalam al-Qur’an atau melalui lisan rasul-Nya, di antaranya adalah:

1.   Menuntut ilmu syar’i

Ini adalah faktor yang paling penting, yaitu menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sesuai dengan pemahaman salaf shalih. Bertambahnya iman dengan sebab ilmu dari sisi ketika dia keluar menuntut ilmu, duduk di majelis ilmu, mempelajari masalah ilmu, dan mengamalkan ilmu.

Sungguh betapa banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang menunjukkan tentang keutamaan ilmu. Hal itu karena ilmu adalah sarana yang mengantarkan seorang untuk beribadah kepada Allah secara benar.

Namun, perlu diketahui bahwa ilmu yang bermanfaat dan dianjurkan oleh syari’at adalah ilmu yang membuahkan amal karena ilmu hanyalah sarana belaka, sedang intinya adalah amal. Camkanlah baik-baik ucapan Imam Ibnul Qayyim tatkala mengatakan, “Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kuatnya iman maka ia tercemar.” [3]

2.  Membaca al-Qur’an dan merenunginya

Ini juga merupakan faktor yang sangat penting untuk bertambahnya iman sebab Allah menurunkan al-Qur’an kepada para hamba-Nya sebagai petunjuk, cahaya, rahmat, dan peringatan. Oleh karena itu, Allah mengabarkan bahwa orang-orang yang beriman apabila membaca al-Qur’an maka akan bertambah iman mereka.

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿٢﴾

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (QS. al-Anfâl [8]: 2)

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata, “Ketahuilah bahwa kuatnya agama dan iman tidak mungkin diraih kecuali dengan banyak membaca al-Qur’an atau mendengarkannya dengan penuh renungan dan dengan niat untuk mengamalkan perintah dan menjauhi larangannya.” [4]

Namun, perlu ditandaskan bahwa maksud membaca al-Qur’an yang merupakan faktor penyubur iman di sini bukan hanya sekadar membaca, melainkan membacanya dan memahami makna kandungannya serta mengamalkan isinya. Oleh karena itu, Allah mengabarkan bahwa tujuan inti al-Qur’an ini diturunkan adalah untuk dipelajari dan direnungi bersama.

كِتَـٰبٌ أَنزَلْنَـٰهُ إِلَيْكَ مُبَـٰرَكٌۭ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ ﴿٢٩﴾

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. Shâd [38]: 29)

3.  Memahami nama dan sifat Allah

Memahami nama dan sifat Allah akan menjadikan hamba makin mengenal Allah dan takut kepada-Nya sehingga memotivasi dirinya untuk berbuat amal ketaatan. Allah berfirman:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَآبِّ وَٱلْأَنْعَـٰمِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَ‌ٰنُهُۥ كَذَ‌ٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَـٰٓؤُا۟ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ ﴿٢٨﴾

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fâthir [35]: 28)

Seorang ulama salaf mengatakan, “Barangsiapa semakin mengenal Allah akan semakin takut kepada Allah.” [5]

Contohnya, jika seorang hamba mengetahui dari lubuk hatinya bahwa Allah Maha mendengar dan melihat maka hal itu akan menjadikan dirinya untuk menjaga anggota tubuhnya dan berusaha mengarahkan anggota tubuhnya dalam kecintaan kepada Allah.

4.  Mempelajari Sîrah Perjalanan Nabi Muhammad

Mempelajari sîrah perjalanan hidup Nabi Muhammad merupakan faktor penguat iman karena pada diri beliau tersimpan akhlak yang mulia dan contoh yang sangat indah. Siapa pun yang mau mempelajari sîrah Rasulullah yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits Nabi maka akan menjadikannya terpacu untuk semakin cinta kepada Nabi yang membuahkan semangat tinggi untuk mencontoh beliau dalam ucapan dan perbuatannya. “Dan ilmu yang paling pokok dan paling bermanfaat adalah mempelajari sîrah Nabi dan sahabatnya”.[6]

Sekadar contoh, jika mencermati hadits bahwa beliau adalah manusia yang paling baik akhlaknya, tidak berkata kotor, sangat sopan kepada pelayannya. Bukankah semua itu akan membangkitkan semangat kita untuk menirunya?!!

5.  Merenungi Keindahan Agama Islam

Sesungguhnya Islam adalah agama yang indah dalam semua bidang. Aqidahnya paling benar, akhlaknya paling indah, serta hukumnya paling adil dan bijaksana. Bila hal ini telah tertanam dalam hati maka seseorang akan merasakan kelezatan iman dalam hati. Rasulullah bersabda:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ

“Ada tiga hal, apabila ada pada diri seorang maka dia akan merasakan lezat/manisnya iman: apabila Allah dan rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya; apabila mencintai seorang dia mencintainya tidak lain karena Allah; dan orang yang takut untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana dia tidak ingin dicampakkan ke dalam Neraka.” (HR. Bukhari 1/22 dan Muslim 1/66)

Maka golongan yang ketiga tersebut tidak mau kembali kepada kekufuran. Mengapa?! Karena dia masuk Islam berdasarkan ilmu dan kemantapan hati. Dia betul-betul yakin akan keindahan agama Islam dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Jika memang dia telah nyaman dengan keindahan Islam, lantas untuk apa dia berpindah agama?!

6.  Membaca kisah-kisah salaf shalih

Kisah-kisah para salaf shalih, khususnya para sahabat Nabi bertabur dengan pelajaran berharga dan iman. Siapa pun yang mau mencermati sîrah perjalanan mereka, akhlak mereka, kesungguhan mereka dalam mengikuti Nabi, konsentrasi mereka dalam menjaga iman, rasa takut mereka dari dosa, riya’, nifaq (kemunafikan), dan semangat mereka dalam ibadah dan amal shalih yang tercatat dalam dalam kitab-kitab tarikh (sejarah), sîrah, zuhud, dan lainnya maka akan tergerak hatinya untuk meniru keindahan hidup mereka. Sungguh benar ucapan Syaikhul Islam tatkala mengatakan, “Siapa saja yang lebih menyerupai mereka, maka keadaannya akan semakin sempurna.” [7]

7.   Memikirkan kekuasaan Allah dalam makhluk-Nya

Allah telah menganjurkan kepada umat manusia untuk merenungi dan memikirkan keajaiban makhluk-makhluk ciptaan-Nya.

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَـٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلْفُلْكِ ٱلَّتِى تَجْرِى فِى ٱلْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍۢ فَأَحْيَا بِهِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍۢ وَتَصْرِيفِ ٱلرِّيَـٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلْمُسَخَّرِ بَيْنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ لَءَايَـٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَعْقِلُونَ ﴿١٦٤﴾

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. al-Baqarah [2]: 164)

Perhatikanlah secara saksama keajaiban-keajaiban makhluk Allah di sekitar Anda; langit, bumi, matahari, bulan, rembulan, bintang, malam, siang, gunung, pohon, lautan, sungai, hewan, bahkan keajaiban ciptaan Allah yang ada pada diri kita sendiri terdapat pelajaran berharga yang bila kita merenunginya maka akan menambah iman kita kepada Allah.

8.  Semangat beramal shalih

Di antara faktor penguat iman yang sangat penting adalah semangat untuk mengerjakan amal shalih ikhlas karena Allah dan selalu kontinu menjaganya. Sesungguhnya setiap amal shalih yang dilakukan oleh seorang muslim akan semakin menambah kuatnya iman sebab iman itu bertambah dengan ketaatan.

Dan ibadah yang disyari’atkan itu bermacam-macam modelnya, adakalanya dengan hati, lisan, dan anggota badan. Contoh amalan hati ialah ikhlas, cinta, tawakal, takut, berharap, ridha, sabar, dan sebagainya. Contoh amalan lisan ialah membaca al-Qur’an, istighfar, takbir, tasbih, tahlil, shalawat, dan sebagainya. Adapun contoh ibadah amalan badan ialah wudhu, shalat, shadaqah, haji, dan sebagainya.

Oleh karena itu, para ulama salaf selalu mengatakan, “Marilah duduk sebentar bersama kami untuk menambah iman.”

Faktor-Faktor Kempesnya Iman

Bila seorang muslim dituntut mengetahui faktor-faktor penguatnya iman agar dia menerapkannya, maka demikian juga dia dituntut untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mengurangi iman agar dia waspada dan menjauhinya. Dan perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa menyepelekan masalah faktor-faktor kembang kempesnya iman termasuk faktor utama lemahnya iman.

Faktor-faktor lemahnya iman banyak sekali, namun dapat diklasifikasikan menjadi dua: faktor internal (dalam) dan faktor eksternal (luar).

 

Adapun faktor internal adalah sebagai berikut, di antaranya:

1.   Kejahilan/kebodohan tentang ilmu agama

Sebagaimana ilmu adalah faktor bertambahnya iman, maka demikian juga sebaliknya, kejahilan adalah faktor utama lemahnya iman. Jika ilmu adalah sumber segala kebaikan maka demikian juga kejahilan adalah sumber segala kejelekan.

Orang yang berbuat syirik, dosa, kezaliman, dan kemaksiatan, sebab utamanya adalah kejahilan. Allah berfirman:

وَجَـٰوَزْنَا بِبَنِىٓ إِسْرَ‌ٰٓءِيلَ ٱلْبَحْرَ فَأَتَوْا۟ عَلَىٰ قَوْمٍۢ يَعْكُفُونَ عَلَىٰٓ أَصْنَامٍۢ لَّهُمْ ۚ قَالُوا۟ يَـٰمُوسَى ٱجْعَل لَّنَآ إِلَـٰهًۭا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةٌۭ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌۭ تَجْهَلُونَ ﴿١٣٨﴾

Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).” (QS. al-A’râf [7]: 138)

Oleh karena itu, para ulama salaf seperti Abu Aliyah, Qatadah, Mujahid, dan sebagainya menyebutkan bahwa setiap orang berbuat dosa maka dia adalah jahil.[8] Mengapa demikian? Syaikhul Islam menjelaskan karena ilmu yang sejati adalah ilmu yang mencegah seorang dari menyelisihi apa yang dia ketahui berupa ucapan atau perbuatan.[9]

Maka kejahilan adalah penyakit ganas yang menjerumuskan pemiliknya kepada jurang kebinasaan. Maka hendaknya seorang untuk bersegera mengobatinya dengan ilmu yang bermanfaat agar dia tidak terus bergelimang dalam kejahilan.

2.  Kelalaian

Kelalaian dan sikap acuh adalah sifat orang-orang kafir dan munafik. Allah sering mencelanya dalam al-Qur’an. Allah berfirman:

فَٱلْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ ءَايَةًۭ ۚ وَإِنَّ كَثِيرًۭا مِّنَ ٱلنَّاسِ عَنْ ءَايَـٰتِنَا لَغَـٰفِلُونَ ﴿٩٢﴾

Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami. (QS. Yûnus [10]: 92)

يَعْلَمُونَ ظَـٰهِرًۭا مِّنَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ ٱلْءَاخِرَةِ هُمْ غَـٰفِلُونَ ﴿٧﴾

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (QS. ar-Rûm [30]: 7)

Maka tanyakanlah pada dirimu: “Sampai kapankah kelalaian ini?” Sudah saatnya Anda bangun dan sadar dari kelalaian Anda selama ini untuk menuju ketaatan kepada Allah.

3.  Berbuat dosa

Dosa sangat mempengaruhi lemahnya iman, sekalipun pengaruhnya bertingkat-tingkat sesuai dengan jenisnya apakah dosa kecil atau besar, waktunya, ukurannya, pelakunya dan lain sebagainya.

Dan sebagai penopang seorang hamba agar tidak terjerumus dalam kubang dosa adalah hendaknya dia selalu ingat bahwa doa akan menimbulkan bahaya dan dampak negatif yang sangat berbahaya bagi dirinya dan orang lain.

4.  Jiwa yang mengajak kepada kejelekan

Hampir tidak ada ada manusia yang lepas dari jiwa yang mengajak kepada keburukan ini kecuali orang-orang yang diberi taufik oleh Allah.

وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ ﴿٥٣﴾

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yûsuf [12]: 53)

Jiwa yang mengajak kepada keburukan ini sangat berbahaya bagi iman seorang hamba jika dilepas kendalinya begitu saja. Sebab itu, hendaknya seorang hamba selalu berintrospeksi dan berusaha mengekang nafsunya dari kejelekan sehingga dia selamat dari mara bahaya.

 

Sementara itu, faktor-faktor eksternal (luar) juga banyak sekali, di antaranya:

5.  Setan

Setan memiliki misi dan ambisi untuk merusak iman seorang hamba. Jika seorang hamba pasrah dan menyerah pada bisikan dan godaan setan, maka dia akan menjadi budak setan dan akan semakin lemah imannya. Karena itu, Allah mengingatkan kita semua agar berhati-hati dari tipu daya setan.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَ‌ٰتِ ٱلشَّيْطَـٰنِ ۚ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَ‌ٰتِ ٱلشَّيْطَـٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأْمُرُ بِٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۚ وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًۭا وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّى مَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ ﴿٢١﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. an-Nûr [24]: 21)

Ibnul Jauzi berkata, “Sewajibnya bagi setiap hamba yang berakal untuk waspada dari tipu daya setan yang telah memproklamasikan permusuhannya sejak masa Nabi Adam. Dia telah menghabiskan seluruh umurnya untuk merusak anak Adam.” [10]

Setan adalah musuh bebuyutan yang sangat berambisi untuk merusak iman dan aqidah. Barangsiapa yang tidak membentengi dirinya dengan dzikir kepada Allah dan berlindung kepada-Nya maka dia akan menjadi prajurit setan yang terombang-ambing dalam dosa. Sungguh, alangkah malangnya dan rusaknya iman prajurit setan!!

6.  Fitnah gemerlapnya dunia

Termasuk perusak iman adalah sibuk dengan gemerlapnya dunia dan mengikuti arus godaan dunia. Ibnul Qayyim berkata, “Semakin manusia cinta terhadap dunia maka semakin malas dari ketaatan dan amal untuk akhirat sesuai dengan kadarnya.” [11]

Oleh sebab itu, Allah banyak menjelaskan dalam al-Qur’an tentang hinanya dunia dan celaan terhadap dunia, di antaranya firman Allah:

ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌۭ وَلَهْوٌۭ وَزِينَةٌۭ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌۭ فِى ٱلْأَمْوَ‌ٰلِ وَٱلْأَوْلَـٰدِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّۭا ثُمَّ يَكُونُ حُطَـٰمًۭا ۖ وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌۭ شَدِيدٌۭ وَمَغْفِرَةٌۭ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَ‌ٰنٌۭ ۚ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَـٰعُ ٱلْغُرُورِ ﴿٢٠﴾

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. al-Hadîd [57]: 20)

Maka bagi setiap hamba yang ingin menyuburkan imannya untuk melawan nafsunya agar tidak tertipu dengan godaan dunia yang sangat banyak sekali. Dan hal itu terwujudkan dengan dua hal:

Pertama: Memahami bahwa dunia ini finishnya adalah fana dan kehancuran.

Kedua: Menyongsong kehidupan akhirat yang penuh nikmat dan abadi.

7.   Teman yang jelek

Mereka adalah perusak iman dan akhlak yang sangat dominan. Nabi pernah bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seorang itu berdasarkan agama temannya, maka hendaknya seseorang melihat dengan siapakah dia berteman.” [12]

Islam melarang kita berteman dengan teman-teman yang rusak karena tabiat manusia itu meniru temannya. Bila dia berteman dengan para penuntut ilmu maka akan bangkit semangat menuntut ilmu. Bila berteman dengan orang yang cinta dunia maka akan bangkit cinta dunia, dan demikian seterusnya.

Maka hendaknya seorang memilih teman-teman yang baik sehingga membuahkan kebaikan dan manfaat baginya serta pengaruh yang positif baginya dan sebaliknya hendaknya mewaspadai dari teman-teman yang rusak karena pengaruh mereka sangatlah besar. Betapa banyak orang baik menjadi rusak karena teman.

Termasuk dalam hal ini pada zaman kita sekarang adalah duduk menyaksikan parabola dan situs-situs rusak yang beredar di dunia maya yang diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke rumah-rumah kaum muslimin sehingga menyebarlah racun-racun yang ganas.

Maka hendaknya bagi kaum muslimin untuk menjaga dirinya dan rumahnya dari perusak-perusak iman.

Hanya kepada Allah kita memohon agar Allah memantapkan iman kita dan menghindarkan kita semua dari perusak-perusaknya.

 


[1]    Disadur secara bebas oleh Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dari kitab Asbabu Ziyadatil Iman wa Nuqshanihi karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, terbitan Dar Minhaj, KSA, cet. pertama, 1428 H.

[2]    At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman hlm. 38

[3]    Al-Fawaid hlm. 162

[4]    Mukhtar Tafsir al-Manar 3/170

[5]    Ar-Risalah al-Qusyairiyah hlm. 141

[6]    Shaidhul Khathir hlm. 66 karya Ibnul Jauzi

[7]    Al-’Ubudiyyah hlm. 94

[8]    Lihat Tafsir ath-Thabari 3/299, Tafsir al-Baghawi 1/407, Tafsir Ibnu Katsir 1/463, Majmu’ Fatawa 7/22.

[9]    Iqtidha’ Shirathil Mustaqim hlm. 78

[10]  Talbis Iblis hlm. 23

[11]  Al-Fawaid hlm. 180

[12]  HR. Abu Dawud 13/179 — Aunul Ma’bud, Tirmidzi 4/589, Ahmad 2/203, al-Hakim 4/171; hadits ini hasan. Lihat Silsilah Ahadits ash-Shahihah 2/634 oleh al-Albani.

Studi Kritis Atas Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”

$
0
0

Studi Kritis Atas Buku

“Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

 

Telah sampai kepada kami beberapa usulan pembaca agar kami mengkritik sebuah buku yang beredar akhir-akhir ini yang dipublikasikan secara gencar dan mendapatkan sanjungan serta kata pengantar dari para tokoh. Oleh karenanya, untuk menunaikan kewajiban kami dalam menasihati umat, kami ingin memberikan studi kritis terhadap buku ini, sekalipun secara global saja sebab tidak mungkin kita mengomentari seluruh isi buku rang penuh dengan syubhat tersebut dalam tulisan kita yang terbatas ini. Semoga Alloh menampakkan kebenaran bagi kita dan melapangkan hati kita untuk menerimanya.

JUDUL BUKU DAN PENULISNYA

Judul buku ini adalah Sejarah Berdarah Sekfe Salafi Wahabi, ditulis oleh Syaikh Idahram, penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, cetakan pertama, 2011. Buku ini mendapatkan rekomendasi tiga tokoh agama yang populer namanva yaitu KH. Dr. Said Agil Siraj, KH. Dr. Ma’ruf Amin, dan Muhammad Arifin Ilham.

BANTAHAN SECARA GLOBAL TEHADAP BUKU INI

Terus terag, untuk membantah buku ini membutuhkan beberapa jilid buku sebab buku ini sarat dan bertabur kebohongan, kedustaan, kesesatan dan penyimpangan. Sebagai gambaran umum, kami katakan:

  1. Setelah kami menulis artikel ini, al-hamdulillah telah banyak para penulis yang memobngkar aurat buku ini, diantaranya adalah: al-Ustadz Firanda Abu Abdil Muhsin dalam bukunya “Sejarah Berdarah Sekte Syi’ah”, AM. Waskito dalam bukunya “Bersikap Adil Terhadap Wahabi”, dan Sofyan Cholid dalam bukunya “Salafy Antara Tuduhan dan Kenyataan”. Belum lagi artikel-artikel para ustadz lainnya di internet. Oleh karenanya, saya kira bantahan-bantahan tersebut sudah cukup bagi orang yang berakal.
  2. Buku ini dari sampul depan hingga sampul belakang penuh kebohongan dan kedustaan. Adapun sampul depan, penulis misterius ini menyebut dirinya dengan bertopeng Syaikh Idahram, padahal itu bukan nama sesungguhnya. Dan telah sampai kabar kepadaku dari beberapa ikhwan di Jakarta yang terpercaya bahwa nama sesungguhnya adalah Marhadi kebalikan dari Idahram. Bayangkan, jika nama penulisnya saja terbalik, bagaimana dengan isinya?! Jangan aneh jika isinya banyak terbalik dari kenyataan. Kenapa penulis ini begitu pengecut dalam pertempuran wacana ilmiyah sehingga tidak menampakkan identitas aslinya?!!

Adapun sampul akhirnya, karena mencatut nama-nama tokoh tersohor yang memberikan rekomondasi terhadap buku ini seperti KH. Ma’ruf Amin (ketua MUI) dan Muh. Arifin Ilham, padahal keduanya menyatakan tidak pernah meberikan rekomondasi tersebut, baca aja belum apalagi memberi rekomondasi?! Tentang Muh. Arifin Ilham, bisa diklik di http://arrahmah.com/read/2011/12/08/16720-kebohongan-syaikh-idahram-atas-nama-arifin-ilham.html#. Adapun tentang KH. Ma’ruf Amin, saya pernah tanyakan langsung kepada kawan yang sangat dekat dengan beliau, ternyata beliau menyatakan: “Benar saya mendapatkan kiriman buku itu, tapi saya belum membacanya apalagi memebri rekomondasi, dan saya tidak ingin terlibat dalam pertikaian umat”. Jika sampul depan dan akhirnya saja dusta, lantas bagaimana dengan isinya?! Sungguh, sangat luaaaar biasa kebohongnya!!!

  1. 3.      Buku ini ditunggangi oleh pemikiran Syi’ah sebagaiman dapat diketahui oleh pembaca yang jeli terhadap buku ini. Hal ini sebagaimana telah disingkap oleh Ust. Firanda dalam bukunya, juga AM. Waskito dalam bukunya, ditambah lagi Ust. Agus Hasan Bashori dalam makalahnya berjudul “Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” Mengusung Faham Rafidhah (Syi’ah Iran)”. Silakan baca di http://www.gensyiah.com/waspada-buku-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi-mengusung-faham-rafidhah-syiah-iran.html

Setelah kita mengetahui beberapa fakta di atas, berikut ini bantahan singkat dan sederhana sebagai partisipasi kai dalam membela kebenaran dan membantah serangan-serangan terhadap kebenaran. Semoga Allah meneguhkan kita semua di atas al-Haq. Amiin

AQIDAH WAHABI ADALAH TAJSIM?

Pada hlm. 234 penulis mengatakan:

Akidah Salafi Wahabi adalah aqidah Tajsim dan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) yang sama persis dengan akidah orang-orang Yahudi. Dalil-dalil mereka begitu rapuhnya, hanya mengandalkan hadits-hadits ahad dalam hal akidah.

Jawaban:

Ini adalah tuduhan dusta, sebab aqidah mereka dalam asrna’ wa shifat sangat jelas mengimani nama dan sifat Alloh yang telah disebutkan al-Qur’an dan hadits yang shohih tanpa tahrif (pengubahan), ta’thil (pengingkaran), takyif (menanyakan hal/kaifiat), maupun tamtsil (penyerupaan).[1] Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Alloh:

“Tidak ada yang serupa dengan Dia. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. asy-Syuro [42]: 11)

Inilah aqidah ulama-ulama salaf, di antaranya al-Imam asy-Syafi’i, beliau pernah berkata:

“Kita menetapkan sifat-sifat ini yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan kita juga meniadakan penyerupaan sebagaimana Alloh meniadakan penyerupaun tersebut dari diri Nya dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.’ (QS. Asy-Syuro [42 : 11).[2]

Namun, jangan merasa aneh dengan tuduhan ini, karena demikianlah perilaku ahli ahwa’ semenjak dulu. Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata, “Seluruh Ahlus Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengartikannya secara zhohirnya. Akan tetapi, mereka tidak rnenggambarkan bagaimananya/bentuknya sifat¬sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khowarij mengingkari sifat-sifat Alloh dan tidak mengartikannya secara zhohirnya. Lucunya, mereka menyangka bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih (kaum yang menyerupakan Alloh dengan makhluk).”[3]

Semoga Alloh merahmati al-Imam Abu Hatim ar-Rozi yang telah mengatakan, “Tanda ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar. Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari Ahli Sunnah dengan Musyabbihah.”[4]

lshaq bin Rohawaih mengatakan, “Tanda Jahm dan pengikutnya adalah menuduh Ahli Sunnah dengan penuh kebohongan dengan gelar Musyabbihah padahal merekalah sebenarnya Mu’aththilah (menidakan/mengingkari sifat bagi Alloh).”[5]

PEMBAGIAN TAUHID BID’AH?

Pada him. 236 penulis mengatakan:

Pembagian tauhid kepada tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah diciptakan oleh Ibnu Taimiyyah al-Harroni (w. 728 H) setelah 8 abad berlalu dari masa Rasulullah. Pernyataan yang seperti ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabi’i tabi’in maupun ulama-ulama salaf terdahulu, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal, bahkan tidak terdapat juga dalam karya murid-murid Imam Ahmad yang terkenal seperti Ibnul Jauzi dan al-Hafizh Ibnu Katsir. Demikianlah Salafi Wahabi mengklaim selalu mengikuti salaf shalih tetapi kenyataannya tidak ada seorangpun dari Salaf Shalih yang membagi tauhid kepada pembagian seperti ini. Lagi-lagi, Salafi Wahabi melempar Al-Qur’an, Sunnah dan Salaf Shalih ke tong sampah.

Jawaban:

Pembagian para ulama bahwa tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma’ wa Shifat adalah berdasarkan penelitian yang saksama terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits Nabi Pembagian ini bukanlah perkara baru (baca: bid’ah)[6], tetapi pembagian ini berdasarkan penelitian terhadap dalil. Hal ini persis dengan perbuatan para ulama ahli Bahasa yang membagi kalimat menjadi tiga: isim, fill, dan huruf.[7]

Bahkan, banyak sekali ayat-ayat yang meng¬gabung tiga macam tauhid ini bagi prang yang mau mencermatinya, seperti firman Alloh:

“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam [79]: 65)

Firman-Nya “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya” menunjukkan tauhid rububiyyah. “Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya” menunjukkan tauhid uluhiyyah. “Apakah kamu mengetahui sesuatu yang serupa denganNya” menunjukkan tauhid asma’ wa shifat.[8]

Lebih dari itu -jika kita jeli- surah pertama dalam al-Qur’an (al-Fatihah) mengandung tiga jenis tauhid ini, juga akhir surat dalam al-Qur’an (an-Nas). Seakan-akan hal itu mengisyaratkan kepada kita bahwa kandungan al-Qur’an adalah tiga jenis tauhid ini.[9] Syaikh Hammad al-Anshori berkata, “Alloh membuka kitab-Nya dengan Surah aI-Fatihah yang berisi tentang pentingnya tauhid dan menutup kitab-Nya dengan Surah an-Nas yang berisi tentang pentingnya tauhid. Hikmahnya adalah wahai sekalian manusia sebagaimana kalian hidup di atas tauhid maka wajib bagi kalian mati di atas tauhid.”[10]

Demikian juga, banyak ucapan para ulama salaf yang menunjukkan pembagian ini, seandainya kami menukilnya niscaya tidak akan termuat dalam majalah ini. Dalam kitabnya al-Mukhtashorul Mufid fi’ Bayani Dalail Aqsami Tauhid, Syaikh Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad menukil ucapan-ucapan ulama salaf yang menetapkan klasifikasi tauhid menjadi tiga ini, seperti al-Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Ibnu Mandah (182 H), Ibnu Jarir (310 H), ath-Thohawi (w. 321 H), Ibnu Hibban (354 H), Ibnu Baththoh (387 H), Ibnu Khuzaimah (395 H), ath-Thurtusi (520 H), al-Qurthubi (671 H). Lantas, akankah setelah itu kita percaya dengan ucapan orang yang mengatakan bahwa klasifikasi ini baru dimunculkan oleh Ibnu Taimiyyah pada abad kedelapan Hijriah seperti pernyataan penulis?! Pikirkanlah wahai orang yang berakal!!!

KAKAK SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

Pada hlm. 34 penulis mengatakan:

Sebaliknya, karena keyakinan menyimpangnya itu, kakaknya yang bersama Sulaiman ibnu Abdil Wahhab mengkritik fahamnya yang nyeleneh dengan begitu pedas, melalui dua bukunya, ash-Shawaiq al-Ilahiyyah fi ar-Raddi ‘ala al-Wahhabiyah dan kitab Fashlu al-Khitab fi ar-Radi ‘ala Muhammad bin Abdil Wahhab. Dua bukunya itu dirasa penting untuk di tulis, melihat adiknya yang sudah jauh menyimpang dari ajaran Islam dan akidah umat secara umum.

Jawaban:

Benar, kami tidak mengingkari bahwa Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, saudara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab termasuk orang yang menentang dakwah beliau. Namun, ada dua poin yang perlu diperhatikan bersama untuk menanggapi hal ini:

Pertama: Antara Nasab dan Dakwah yang Benar

Kita harus ingat bahwa adanya beberapa kerabat atau keluarga yang menentang dakwah tauhid bukanlah suatu alasan batilnya dakwah yang haq. Tidakkah kita ingat bahwa para nabi, para sahabat, para ahli tauhid, dan sebagainya, ada saja sebagian dari keluarga mereka baik bapak, anak, saudara, atau lainnya yang memusuhi dakwah mereka?! Kisah Nabi Nuh dengan anak dan istrinya, Nabi Ibrahim dan ayahnya, Nabi Muhammad dan pamannya merupakan kisah yang populer di kalangan masyarakat. Apakah semua itu menghalangi kebenaran dakwah tauhid, wahai hamba Alloh?! Sungguh benar sabda Nabi :

“Barang siapa amalnya lambat, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya.”[11]

Kedua: Kembalinya Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab

Mayoritas ulama[12] mengatakan bahwa Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab telah bertaubat dan menerima dakwah tauhid, sebagaimana disebutkan Ibnu Ghonnam[13], Ibnu Bisyr[14], Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’ad as-Syuwa’ir[15], dan sebagainya. Apakah hal ini diketahui oleh musuh-musuh dakwah?! Ataukah kebencian telah mengunci hati mereka?! Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh Syaikh Mas’ud an-Nadwi, “Termasuk orang yang menentang dakwah beliau (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah saudaranya sendiri, Sulaiman bin Abdul Wahhab (wafat 1208 H) yang menjadi qadhi di Huraimila’ sebagai pengganti ayahnya. Dia menulis beberapa tulisan berisi bantahan kepada saudaranya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang dipenuhi dengan kebohongan. Dan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ghonnam bahwa dia menyelisihi saudaranya hanya karena dengki dan cemburu saja. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menulis bantahan terhadap tulisan-tulisannya, tetapi pada akhirnya Alloh memberinya hidayah, (sehingga dia) bertaubat dan menemui saudaranya di Dar’iyyah pada tahun 1190 H yang disambut baik dan dimuliakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada buku Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab yang tercetak dengan judul ash-Showa’iq IIahiyyah fi ar-,Roddi ‘ala Wahhabiyyah. Musuh-musuh tauhid sangat gembira dengan buku ini, namun mereka sangat malu untuk menyebut taubatnya Sulaiman.”[16]

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB GEMAR MEMBACA KITAB NABI PALSU?

Pada him. 34 penulis mengatakan:

Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga gemar membaca berita dan kisah-kisah para pengaku kenabian seperti Musailamah al-Kadzdzab, Sajah, Aswad al’Unsi dan Thulaihah al-Asadi.

Jawaban:

Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata membantah tuduhan ini: “lni juga termasuk kebohongan dan kedustaan. Yang benar, beliau gemar membaca kitab-kitab tafsir dan hadits sebagaimana beliau katakan sendiri dalam sebagian jawabannya, ‘Dalam memahami Kitabulloh, kita dibantu dengan membaca kitab-kitab tafsir populer yang banyak beredar, yang paling bagus menurut kami adalah tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thobari dan ringkasannya karya Ibnu Katsir asy-Syafi’i, demikian pula al-Baidhowi, aI-Baghowi, Al-Khozin, al-Jalalain, dan sebagainya. Adapun tentang hadits, kita dibantu dengan membaca syarah-syarah hadits seperti syarah al-Qostholani dan al-Asqolani terhadap Shohih al-Bukhori, an-Nawawi terhadap (Shohih) Muslim, al-Munawi terhadap al-jami’ ash-Shoghir, dan kitab-kitab hadits lainnya, khususnya kutub sittah (enam kitab induk hadits) beserta syarahnya, kita juga gemar menelaah seluruh kitab dalam berbagai bidang, ushul dan kaidah, siroh, shorof, nahwu, dan semua ilmu umat’.”[17]

PEMBUNUHAN DAN PENGKAFIRAN

Pada hlm. 61-138 penulis menguraikan panjang lebar bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melakukan pembunuhan dan pengkafiran terhadap kaum muslimin, termasuk ulama. Inilah yang menjadi inti buku tersebut.

Jawaban:

Demikian penulis artikel memuntahkan isi hatinya tanpa kendali!! Aduhai alangkah murahnya dia mengobral kebohongan dan melempar tuduhan!! Tidakkah dia sedikit takut akan adzab dan mengingat akibat para pendusta yang akan memikul dosa?! Tidakkah dia menyadari bahwa dusta adalah ciri utama orang-orang yang hina?!!

Tuduhan yang satu ini begitu laris-manis tersebar semenjak dahulu hingga kini, padahal Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri telah menepis tuduhan ini dalam banyak kesempatan. Terlalu panjang kalau saya nukilkan seluruhnya,[18] maka kita cukupkan di sini sebagian saja:

  1. Dalam suratnya kepada penduduk Qoshim, beliau memberikan isyarat terhadap tuduhan musuh bebuyutannya (Ibnu Suhaim), dan berlepas diri dari tuduhan keji yang dilontarkan kepada beliau. Beliau berkata, “Alloh mengetahui bahwa orang tersebut telah menuduhku yang bukan-bukan, bahkan tidak pernah terbetik dalam benakku, di antaranya dia mengatakan bahwasanya aku mengatakan, ‘Manusia sejak 600 tahun silam tidak dalam keislaman, aku mengkafirkan orang yang bertawassul kepada orang-orang sholih, aku mengkafirkan al-Bushiri, aku mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Alloh….’ Jawabanku terhadap tuduhan ini, ‘Maha Suci Engkau ya Robb kami, sesungguhnya ini kedu¬staan yang amat besar.’”[19]
  2. Demikian juga dalam suratnya kepada Syaikh Abdurrohman as-Suwaidi -salah seorang ulama Irak- mengatakan bahwa semua tuduhan tersebut adalah makar para musuh yang ingin menghalangi dakwah tauhid. Beliau berkata, “Mereka mengerahkan Bala tentaranya yang berkuda dan berjalan kaki untuk memusuhi kami, di antaranya dengan menyebarkan kebohongan yang seharusnya orang berakaI pun malu untuk menceritakannya, apalagi menyebarkannya, salah satunya adalah apa yang Anda sebutkan, yaitu bahwa saya mengkafirkan seluruh manusia kecuali yang mengikuti saya, dan saya menganggap bahwa pernikahan mereka tidak sah. Aduhai, bagaimana bisa haI ini diterima oleh seorang yang berakal sehat? Adakah seorang muslim, kafir, sadar maupun gila sekalipun yang berucap seperti itu?![20]
  3. Syaikh Abdulloh bin Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan di atas, “Adapun tuduhan yang didustakan kepada kami dengan tujuan untuk menutupi kebenaran dan menipu manusia bahwa kami mengkafirkan manusia secara umum, manusia yang semasa dengan kami dan orang-orang yang hidup setelah tahun enam ratusan kecuali yang sepaham dengan kami. Berekor dari itu, bahwa kami tidak menerima bai’at seorang kecuali setelah dia mengakui bahwa dirinya dahulu adalah musyrik, demikian pula kedua orang tuanya mati dalam keadaan syirik kepada Alloh … semua ini hanyalah khurofat yang jawaban kami seperti biasanya, ‘Maha Suci Engkau ya Alloh, ini adalah kebohongan yang nyata.’ Barang siapa menceritakan dari kami seperti itu atau menisbatkan kepada kami maka dia telah berdusta dan berbohong tentang kami. Barang siapa menyaksikan keadaan kami dan menghadiri majelis ilmu kami serta bergaul dengan kami, niscaya dia akan mengetahui secara pasti bahwa semua itu adalah tuduhan palsu yang dicetuskan oleh musuh-musuh agama dan saudara-saudara setan untuk melarikan manusia dari ketundukan dan memurnikan tauhid hanya kepada Alloh saja dengan ibadah dan meninggalkan seluruh jenis kesyirikan.”[21]
  4. Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata, “Sesungguhnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab meniti jalan yang ditempuh oleh Nabi para sahabat, dan para imam pendahulu. Beliau tidak mengkafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan Allah dan Rosul-Nya dan disepakati kekufurannya oleh umat. Beliau mencintai seluruh ahli Islam dan ulama mereka. Beliau beriman dengan setiap kandungan al-Qur’an dan hadits shohih. Beliau juga melarang keras dari menumpahkan darah kaum muslimin, merampas harta dan kehormatan mereka. Barang siapa menisbatkan kepada beliau hal yang berseberangan dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah dari kalangan salaf umat ini maka dia telah dusta serta berkata tanpa dasar ilmu.”[22]

BEKERJA SAMA DENGAN INGGRIS MERONGRONG KEKHOLIFAHAN TURKI UTSMANI

Pada hlm. 120 penulis membuat judul “Wahabi bekerja sama dengan inggris merongrong kekholifahan Turki Utsmani”.

Jawaban:

Demikianlah, mereka tidak memiliki modal dalam dialog ilmiah kecuali hanya tuduhan dan ke-dustaan semata. Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tatkala mengatakan; “Semua bentuk kesyirikan dan beragam corak kebid’ahan dibangun di atas kebohongan dan tuduhan dusta. Oleh karenanya, setiap prang yang semakin jauh dari tauhid dan sunnah, maka dia akan lehih dekat kepada kesyirikan, kebid’ahan, dan kedustaan.”[23] Dan alangkah benarnya ucapan al-Hafizh Ibnul Qoyyim

Janganlah engkau takut akan tipu daya musuh

Karena senjata mereka hanyalah kedustaan[24]

Beberapa sosok setan berwujud manusia dari orang-orang Eropa berpikir tentang akibat yang akan menimpa mereka jika dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab yang didukung pemerintahan Su’ud (Saud) pertama memperluas pengaruhnya. Mereka melihat bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah Su’ud akan mengancam kepentingan mereka di kawasan timur secara umum.

Oleh karma itu, tidak ada jalan lain kecuali menghancurkan pemerintahan ini. Mereka pun menempuh berbagai daya dan upaya di dalam menghancurkan dakwah salafiyyah ini, di anta-ranya adalah:

Pertama: Penebaran opini publik di tengah negeri Islam melawan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka bangkitlah para penganut bid’ah dan khurofat memerangi dakwah Syaikh. Mereka adalah golongan mayoritas di saat itu, yang paham quburiyyun, khurofiyyun, bid’ah, dan syirik telah mendarah daging di dalarn hati mereka, bahkan parahnya kesultanan Ustmaniyyah generasi akhir adalah termasuk pemerintahan yang mendukung kesyirikan dan kebid’ahan ini. Ini semua terjadi setelah Inggris dan Francis menyebarkan fatwa yang mereka ambil dari ulama su’ (jahat) yang memfatwakan bahwa apa yang didakwahkan oleh Syaikh al-Imam adalah rusak.[25]

Kedua: Mereka menebarkan fitnah antara gerakan Syaikh al-Imam dengan pemimpin kesul-tanan Utsmaniyyah. Orang-orang Inggris dan Francis menebarkan racun ke dalam pikiran Sultan Mahmud II, bahwa gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bertujuan untuk memerdekakan jazirah Arab dan memisahkan diri dari kesultanan. Sultan pun merespons dan herupaya memberangus gerakan Syaikh, padahal seharusnya beliau meragukan nasihat dari kaum kuffar ini, lalu meneliti dan melakukan investigasi terhadap berita ini.[26]

Sesungguhnya Inggris dan Francis mulai dari awal telah membenci gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, terlebih setelah pemerintah Alu (KeIuarga) Su’ud beserta orang-orang Qowashim mampu melakukan serangan telak terhadap Armada Inggris pada tahun 1860 M sehingga perairan Teluk berada di bawah kekuasaannya.[27] Sesungguhnya asas-asas Islam yang murni menjadi fondasi dasar pemerintahan Su’ud pertama, dan tujuan utama didirikannya negara ini adalah untuk melawan kejahatan orang-orang asing di kawasan itu.[28]

Sungguh sangat “jauh panggang dari api” apabila dikatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab adalah dakwah boneka atau antek-antek Inggris, padahal dengan menyebarnya dakwah yang diberkahi ini ke pelosok dunia lain, melahirkan para pejuang-pejuang Islam. Di India, Syaikh Ahmad Irfan dan para pengikutnya adalah gerakan yang pertama kali membongkar kebobrokan Mirza GhuIam Ahmad al-Qodiyani (pendiri gerakan Ahmadiyah) yang semua orang tahu bahwa Qodiyaniyah ini adalah kepanjangan tangan dari kolonial Inggris. Mereka juga memekikkan jihad memerangi kolonial Inggris saat itu di negeri mereka.[29] Di Indonesia, tercatat ada Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Nan Gapuk, dan selainnya yang memerangi bid’ah, khurofat, dan maksiat kaum adat sehingga meletuslah Perang Padri, dan mereka semua ini adalah para pejuang Islam yang memerangi kolonialisme Belanda.[30] Belum lagi di Mesir, Sudan, Afrika, dan belahan negeri lainnya, yang mereka semua adalah para pejuang Islam yang membenci kolonialisme kaum kuffar Eropa.”[31]

CIRI KHAS WAHABI CUKUR PLONTOS?

Pada hlm. 139-180 penulis membawakan judul hadits-hadits Rosululloh tentang salafy wahabi, di antaranya pada hlm. 164 penulis mengatakan ciri¬ciri mereka adalah cukur plontos; sehingga pada him. 167 penulis mengatakan:

Ini adalah teks hadits yang sangat jelas tertuju kepada faham Muhammad bin Abdul Wahhab. Semasa hidupnya dahulu, dia telah memerintahkan setiap pengikutnya untuk mencukur habis rambut kepalanya sebelum mengikuti fahamnya.

Jawaban:

Tuduhan ini sangat mentah, tujuan di balik itu sangat jelas, yaitu melarikan manusia dari dakwah yang disebarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Aduhai, alangkah beraninya penulis dalam memanipulasi hadits Rosululloh dan menafsirkannya sesuai dengan selera hawa nafsunya semata!! Seperti inikah cara Anda dalam beragumentasi wahai hamba Alloh?!!

Syaikh Abdulloh bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata tatkala membantah tuduhan bahwa ulama dakwah mengkafirkan orang yang tidak mencukur rambut kepalanya, “Sesungguhnya ini adalah kedustaan dan kebohongan tentang kami. Seorang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir tidak mungkin melakukan hal ini, sebab kekufuran dan kemurtadan tidaklah terealisasikan kecuali dengan mengingkari perkara-perkara agama yang ma’lum bi dhoruroh (diketahui oleh semua). Jenis-jenis kekufuran baik berupa ucapan maupun perbuatan adalah perkara yang maklum bagi para ahli ilmu. Tidak mencukur rambut kepala bukanlah termasuk di antaranya (kekufuran atau kemurtadan), bahkan kami pun tidak berpendapat bahwa mencukur rambut adalah sunnah, apalagi wajib, apalagi kufur keluar dari Islam bila ditinggalkan.”[32]

NEJED, TEMPAT KELUARNYA TANDUK SETAN

Pada hlm. 151-152 penulis membawakan hadits bahwa sumber fitnah berasal dari Nejed, dan dari Nejed muncul dua tanduk setan, sehingga pada hlm. 156 penulis menukil ucapan Sayyid Alwi al-Haddad bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dua tanduk setan itu tiada lain adalah Musailamah al-Kadzdzab dan Muhammad bin Abdul Wahhab.

Jawaban: [33]

Sebenarnya apa yang dilontarkan oleh saudara penulis di atas bukanlah suatu hal yang baru, melainkan hanyalah daur ulang dari para pendahulunya yang mempromosikan kebohongan ini, dari orang-orang yang hatinya disesatkan Alloh. Semuanya berkoar bahwa maksud “Nejed” dalam hadits-hadits di atas adalah Hijaz dan maksud fitnah yang terjadi adalah dakwahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab!!!

Kebohongan ini sangat jelas sekali bagi orang yang dikaruniai hidayah ilmu dan diselamatkan dari hawa nafsu, ditinjau dari beberapa segi:

  1. 1.      Hadits itu saling menafsirkan

Bagi orang yang mau meneliti jalur-jalur hadits ini dan membandingkan lafazh-lafazhnya, niscaya tidak samar lagi bagi dia penafsiran yang benar tentang makna Nejed dalam hadits ini. Dalam lafazh yang dikeluarkan al-Imam ath-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir: 12/384 no. 13422 dari jalur Ismail bin Mas’ud dengan sanad hasan: Menceritakan kepada kami Ubaidulloh bin Abdillah bin Aun dari ayahnya dari Nafi’ dari lbnu Umar dengan lafazh:

“Ya Alloh berkahilah kami dalam Syam kami, ya Alloh berkahilah kami dalam Yaman kami.” Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau keempat kalinya, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah! Dalam Irak kami?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.”

Syaikh Hakim Muhammad Asyrof menulis buku khusus mengenai hadits ini berjudul Akmal al-Bayan fl Syarhi Hadits Najd Qornu Syaithon. Dalam kitab ini beliau mengumpulkan riwayat¬riwayat hadits ini dan menyebutkan ucapan para ulama ahli hadits, ahli Bahasa, dan ahli geografi, yang pada akhirnya beliau membuat kesimpulan bahwa maksud Nejed dalam hadits ini adalah Irak. Berikut kami nukilkan sebagian ucapannya, “Maksud dari hadits-hadits di muka bahwa negeri-negeri yang terletak di timur kota Madinah Munawwaroh[34] ; adalah sumber fitnah dan kerusakan, markas kekufuran dan penyelewengan, pusat kebid’ahan dan kesesatan. Lihatlah di peta Arab dengan cermat, niscaya akan jelas bagi Anda bahwa negara yang terletak di timur Madinah adalah Irak saja, tepatnya kota Kufah, Bashrah, dan Baghdad.”[35]

Dalam tempat lainnya beliau mengatakan, “Ucapan para pensyarah hadits, ahli Bahasa, dan pakar geografi dapat dikatakan satu kata bahwa Nejed bukanlah nama suatu kota tertentu, namun setiap tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya maka ia disebut Nejed.”[36]

  1. 2.      Sejarah dan fakta

Sejarah dan fakta lapangan membuktikan kebenaran hadits Nabi di atas bahwa Irak adalah sumber fitnah[37] baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, seperti keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, Perang jamaI, Penang Shiffin, fitnah Karbala, tragedi Tatar. Demikian pula munculnya kelompok-kelompok sesat seperti Khowarij yang muncul di kota Haruro’ (kota dekat Kufah), Rofidhoh (hingga sekarang masih kuat), Mu’tazilah, jahmiyyah, dan Qodariyyah, awal munculnya mereka adalah di Irak sebagaimana dalam hadits pertama Shohih Muslim.

  1. 3.      Antara kota dan penghuninya

Anggaplah seandainya “Nejed” yang dimaksud oleh hadits di atas adalah Nejed Hijaz, tetap saja tidak mendukung keinginan mereka, sebab hadits tersebut hanya mengabarkan terjadinya fitnah di suatu tempat, tidak memvonis perorangan seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terjadinya fitnah di suatu tempat tidaklah mengharuskan tercelanya setiap orang yang bertempat tinggal di tempat tersebut.

Demikianlah -wahai saudaraku seiman- keterangan para ulama ahli hadits tentang hadits ini, maka cukuplah mereka sebagai sumber tepercaya!

PENUTUP

Demikianlah sekelumit yang dapat kami bahas tentang buku ini. Sebenarnya masih sangat banyak tuduhan-tuduhan dusta dan penyimpangan yang ada dalam buku ini, namun semoga apa yang sudah kami paparkan dapat mewakili lainnya.[38] Kesimpulannya, buku ini harus diwaspadai oleh setiap orang dan sebagai gantinya hendaklah membaca buku-buku yang bermanfaat. Wallohu A’lam

Penulis : Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi

Sumber : Majalah Al-Furqon Edisi 12 Th. ke-10 Rojab 1432 H [Juni-Juli 2011]


[1] Lihat Syarh Aqidah Imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hlm. 22-24, bahkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menegaskan dalam aqidah beliau tersebut, “Saya tidak menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat MakhlukNya karena tidak ada yang serupa denganNya.”

[2] Thobaqot Hanabilah Kar. Al-Qodhi Ibnu Abi Ya’la : 1/283-284, Siyar A’lam Nubala’ Kar. Adz-Dzahabi: 3/3293, Manaqib Aimmah Arba’ah kar. Ibnu Abdil Hadi hlm. 121, I’tiqad Imam Syafi’i kar. Al-Hakkari hlm 21.

[3] Mukhtashar Al-‘Uluw hal. 278-279

[4] Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnal Wal Jama’ah kar. Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam kar. Al-Harowi: 4/390

[5] Syarah ushul I’tiqad kar. Al-Lalikai: 937, Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah kar. Ibnu Abi Izzi Al-Hanafi: 1/85

[6] Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad menulis sebuah kitab berjudul Al-Qaulus Sadid fir Roddi ‘ala Man Ankaro Taqsima Tauhid (Bantahan Bagus Terhadap Para Pengingkar Pembagian Tauhid) Dalam kitab tersebut, beliau menyebutkan dalil-dalil dan ucapan-ucapan ulama salaf yang menegaskan adanya pembagian tauhid ini dan membantah sebagian kalangan yang mengatakan bahwa pembagian tauhid ini termasuk perkara bid’ah.

[7] Lihat At-Tahdzir min Mukhtashorot Ash-Shobuni fi Tafsir. Hlm 331 –Ar-Rudud- oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dan Adhwaul Bayan kar. Imam Asy-Syinqithi: 3/488-493.

[8] Lihat al-Mawahib ar-Rabbaniyyah min al-Ayat al-Qur’aniyyah kar. Syaikh Abdurrohman as-Sa’di him. 60.

[9] Min Kunuz al-Qur’an al-Karim kar. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad: 1/149

[10] AI-Majmu’ fi Tarjamah Muhaddits Hammad al-Anshari: 2/531

[11] HR. Muslim: 2699

[12] Saya katakan “mayoritas” karena sebagian ulama mengatakan bahwa Syaikh Sulaiman tetap dalam permusuhannya, di antaranya adalah Syaikh Abdulloh al-Bassam dalam Ulama Nejed: 1/305 dan sepertinya Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad dalam Da’awi al Munawi’in hlm. 41-42 cenderung menguatkan pendapat ini.

[13] Tarikh Nejed : 1/143

[14] Unwan Majd hlm. 65

[15] Dalam makalahnya “Sulaiman bin Abdul Wahhab Syaikh Muftaro ‘Alaihi” dimuat dalam Majalah Buhuts Islamiyyah, edisi 60/Tahun 1421 H

[16] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum hlm. 48-50

[17] Al-Asinnah Al-Haddad hlm. 12-13

[18] Lihat Majmu’ah Muallafat Syaikh: 5/25, 48, 100, 189 dan 3/11. Lihat buku khusus masalah ini berjudul Manhaj Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab fi Takfir – kata pengantar Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql

[19] Majmu’ah Muallafat Syaikh : 5/11, 12

[20] Ibid. 5/36

[21] Al-Hadiyyah As-Saniyyah hlm. 40

[22] Al-Asinnah Al-Haddad fi ar-Raddi ‘ala Alwi Al-Haddad hlm. 56-57 secara ringkas

[23] Iqtidho Siroth Mustaqim : 2/281

[24] Al-Kafiyah Asy-Syafiyah no. 198

[25] Lihat ad-Daulah al-Utsmaniyyah kar. Dr Jamal Abdul Hadi hlm. 94 sebagaimana dalam ad-Daulah al-Utsmaniyyah Awamilin wa Asbabis Suquth kar. Dr. Ali Muhammad Ash-Sholabi (terj. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Khalifah Utsmaniyyah)

[26] Ibid. hlm. 95

[27] Ibid. hlm. 158

[28] Ibid. hlm. 156

[29] Lihat Al-A’lam Al-Arobi fi tarikh hadits dan Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruhu fi Alam Islami karya Dr. Shalih Al-‘Abud

[30] Lihat Pusaka Indonesia Riwayat Hidup Orang-orang Besar Tanah Air oleh Tamar Djaja cet. VI, 1965, Penerbit Bulan Bintang Jakarta, hlm. 339 dst.

[31] Dinukil dari tulisan Al-Ustadz Abu Salma berjudul “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Mata Para Peneyesat Ummat” yang dimuat dalam Majalah Adz-Dzakhiirah Edisi 17, Dzulqa’dah 1426 H.

[32] Ad-Durar As-Saniyyah : 10/275-276 cet. kelima

[33] Disadru dari kitab Al-Iroq Fi Ahadits Wa Atsar Al-Fitan oleh Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Al Salman cet. Maktabah Al-Furqon.

[34] “Ungkapan yang populer di kalangan ahli sejarah dan ahli hadits adalah Madinah Nabawiyyah. Adapun menyebutnya dengan Munawwaroh, maka saya belum mengetahuinya kecuali dalam kitab-kitab orang belakangan.” Demikian dikatakan Syaikh Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid dalam Juz fi Ziyaroh Nisa’ Lil Qubur hlm. 5.

[35] Akmal Bayan hlm 16-17 tahqiq Abdul Qadir As-Sindi, cet. Pertama , Pakistan 1402 H, dari Da’awi al-Munawi’in hlm. 190-191

[36] Ibid. hlm. 21

[37] Oleh karenanya para ulama menjadikan hadit ini sebagai salah satu tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad –shallallohu ‘alaihi wa sallam-. Lihat Umdatul Qori kar. Al-‘Aini 24/200 dan Silsilah Ash-Shohihah : 5/655, Takhrij Hadits Fadhoil Syam kar. Al-Albani hlm. 26-27

[38] Bagi anda yang ingin mengetahui bantahan syubhat dan tuduhan secara lebih lengkap, silakan membaca kitab Da’awi al-Munawi’in ‘an Da’wati Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kar. Dr. Abdul Aziz Abdul Lathif  dan buku kami Meluruskan Sejarah Wahhabi cet. Pustaka Al-Furqon

 

Mencari Kunci Rezeki di Saat Krisis Ekonomi

$
0
0

Mencari Kunci Rezeki di Saat Krisis Ekonomi

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

 

 

Tercatat dalam sejarah bahwa pada tahun 281 H, kekeringan melanda negeri ar-Ray dan Thabaristan. Harga-harga melambung, penduduk dalam kesulitan, sampai-sampai mereka memakan sebagian yang lain. Bahkan ada seorang laki-laki yang memakan anak laki-laki atau perempuannya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.[1]

Pada tahun 334 H, di kota Baghdad harga-harga melambung tinggi hingga para penduduknya memakan mayat, kucing, dan anjing. Di antara mereka ada juga yang menculik anak-anak lalu memanggang dan memakannya. Rumah-rumah ditukar dengan sepotong roti.[2]

Pada tahun 426 H, di Mesir harga barang melambung tinggi hingga orang-orang memakan bangkai, mayat, dan anjing. Ada juga seorang laki-laki yang membunuh bayi-bayi dan para wanita. Ia mengubur kepala dan belulangnya kemudian menjual dagingnya. Maka ketika laki-laki tersebut terbunuh, dagingnya juga dimakan. Pada saat itu tidak ada seorang pun yang berani menguburkan mayat pada siang hari. Mereka hanya berani menguburkan pada malam hari karena takut kuburnya dibongkar dan mayatnya dimakan…[3]

Membaca penggalan kisah sejarah di atas, kita jadi teringat dengan krisis ekonomi yang menjangkiti pada zaman sekarang sehingga banyak orang stres, bahkan bunuh diri pun menjadi sebuah fenomena tersendiri. Dan baru-baru saja, ketika pemerintah berencana untuk menaikkan harga BBM, kontan masyarakat bereaksi dan di sana-sini banjir demonstrasi sebagai bentuk protes dan usaha menggagalkan rancangan tadi. Lumayan, rakyat bisa bernapas lega sementara karena kenaikan BBM ditunda untuk sementara waktu. Namun, tetap saja rancangan kenaikan harga tersebut menghantui pikiran mereka dan membuat kebanyakan mereka pusing tujuh keliling, apalagi harga di lapangan sudah melambung sebelum ada keputusan pemerintah!!!

Lebih ironisnya, tak jarang di antara manusia yang terjerumus dalam kubang kegelapan dalam mengejar rezeki. Mereka mendatangi para dukun dan jin untuk mencari pesugihan, pelaris dagangan, atau agar diterima sebagai pegawai di kantor ini dan itu. Mereka tak lagi mengindahkan apakah cara yang mereka lakukan dibenarkan syari’at ataukah tidak, bahkan banyak yang menilai kalau kita mau mengikuti syari’at maka akan susah dapat rezeki, kata mereka: “Cari yang haram aja susah apalagi halal”!!! Sehingga mereka berprinsip dengan kaidah Yahudi: “Tujuan menghalalkan segala cara”!!!

Faktor Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi merupakan problematika yang sangat mengganggu pikiran banyak orang, terutama orang-orang yang berekonomi rendah. Tentu saja, di balik melambungnya harga barang tersebut ada faktor-faktor yang menyebabkannya, di antaranya:

  1. Turunnya harga barang karena faktor paceklik, hujan atau musibah-musibah alam lainnya yang ditakdirkan oleh Allah q\ sebagai bentuk ujian atau peringatan bagi umat manusia.

Oleh karena itu, hendaknya kita berintrospeksi karena bisa jadi krisis ekonomi yang menimpa bangsa saat ini adalah disebabkan perbuatan dosa agar kita segera menyadari dan kembali kepada ajaran agama yang suci. Allah q\ berfirman:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ

Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan disebabkan ulah perbuatan manusia. (QS. ar-Rum [30]: 41)

Alangkah benarnya ucapan Syaikh Ibnu Utsaimin tatkala berkata dalam khotbahnya tentang dampak kemaksiatan, “Demi Allah q\, sesungguhnya kemaksiatan itu sangat berpengaruh pada keamanan suatu negeri, kenyamanan, dan perekonomian rakyat. Sesungguhnya kemaksiatan menjadikan manusia saling bermusuhan satu sama lain.” [4]

  1. Termasuk faktor yang menyebabkan melambungnya harga barang adalah kelakuan para pebisnis dan pedagang yang menyelisihi syari’at seperti menimbun barang, mengurangi timbangan, penipuan dan sejenisnya.

Oleh karena itu, Islam mengharamkan hal-hal tersebut. Rasulullah n\ bersabda:

لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ

“Tidak ada yang menimbung barang kecuali seorang yang berdosa.” (HR. Muslim: 4207)

Solusi Islami Mengatasi Krisis Ekonomi

Setelah mengetahui beberapa faktor di atas, maka hendaknya kita semua banyak berdo’a dan banyak beristighfar kepada Allah q\ serta berusaha memperbaiki keimanan dan meningkatkan amal shalih kita. Perhatikanlah ucapan Nabi Nuh p\ kepada kaumnya:

فَقُلْتُ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارًۭا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًۭا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَ‌ٰلٍۢ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّـٰتٍۢ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَـٰرًۭا ﴿١٢﴾

Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun” niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh [71]: 10–12)

Allah q\ juga berfirman memberikan janji:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَـٰتٍۢ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَـٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ ﴿٩٦﴾

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. al-A’raf [7]: 96)

Dan lebih rinci akan kami sebutkan beberapa langkah islami untuk mengatasi krisis ekonomi:

  1. Melarang penimbunan barang. Maka merupakan kewajiban pemimpin (pemerintah) untuk melakukan kontrol dalam masalah ini, dan ini termasuk wilayah (wewenang) pemimpin bahwa ia diperbolehkan untuk menentukan harga barang.
  2. Melarang semua jenis jual beli yang melanggar syari’at yang menyebabkan melambungnya harga barang, seperti penipuan, mengurangi timbangan, iklan-iklan atau promosi yang tidak sesuai dengan kenyataannya, perjudian modern, dan lain-lain.
  3. Membiasakan hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
  4. Pengawasan pemerintah terhadap para pebisnis dan pedagang.
  5. Meningkatkan amal sosial dan membantu orang-orang yang tidak mampu dengan zakat, sedekah, kaffarah, dan sebagainya.[5]

Demikianlah Islam mengatasi problematik krisis ekonomi. Sungguh Islam merupakan sebuah agama yang indah dan sempurna. Tidak ada problematik apa pun melainkan solusi yang tepat telah dijelaskannya.

Alangkah bagusnya ucapan Syaikh al-Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di v\ tatkala mengatakan di awal risalahnya yang berjudul ad-Din ash-Shahih Yahullu Jami’a al-Masyakil (Agama yang Benar Merupakan Solusi Segala Problematik):

“Inilah sebuah risalah yang berkaitan dengan agama Islam yang menunjukkan ajaran terbaik dan membimbing hamba dalam aqidah dan akhlak serta mengarahkan mereka menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Serta penjelasan yang gamblang bahwa tidak ada cara untuk memperbaiki umat sepenuhnya kecuali dengan Islam. Dan penjelasan bahwa semua undang-undang yang menyelisihi agama Islam tidak dapat memperbaiki dunia dan akhirat kecuali apabila bersumber dari ajaran agam Islam.

Apa yang kami ungkapkan di atas telah dibuktikan kebenarannya oleh fakta dan pengalaman sebagaimana telah ditunjukkan kebenarannya oleh syari’at, fitrah, dan akal yang sehat, karena agama ini seluruhnya adalah mengajak kepada kebaikan dan membendung kerusakan.” [6]

Selanjutnya beliau (as-Sa’di) menjelaskan bahwa termasuk kebijakan Allah q\ tatkala menjadikan sebagian hamba-Nya ada yang kaya dan ada yang miskin agar mereka saling membantu dan bekerja sama dalam mewujudkan kebaikan untuk kedua belah pihak baik ibadah badan, jihad melawan musuh, program kebajikan, dan sebagainya dengan badan, harta, dan pangkat masing-masing.

Allah q\ memerintahkan kepada yang kaya untuk mengeluarkan zakat, sedekah, dan membantu kebutuhan orang miskin setiap waktu. Demikian juga Allah q\ memerintahkan kepada yang fakir untuk bersabar, bekerja yang halal, bersyukur kepada Allah q\, bersikap qana’ah (merasa cukup dengan pemberian Allah q\) dan pintar-pintar dalam pembelanjaan harta. Inilah petunjuk Islam kepada kaum kaya dan kaum miskin. Seandainya masing-masing mau melakukannya maka akan terwujudlah kebaikan di dunia dan akhirat.[7]

Optimis Dalam Menghadapi Kenaikan BBM

Ketahuilah wahai saudaraku seiman—semoga Allah q\ menjagamu—bahwa keterpurukan ekonomi yang menimpa kita sekarang ini bukanlah sesuatu hal yang baru muncul sekarang ini. Kefakiran bahkan sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad n\ dan para sahabat. Namun, tahukah kita bahwa semua itu tidak terlalu dikhawatirkan oleh Rasulullah n\. Beliau bersabda:

فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ. وَلَكِنِّى أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

“Bukanlah kefakiran yang kutakutkan atas kalian, melainkan yang aku khawatirkan pada kalian kalau dibentangkan dunia pada kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka lakukan lalu (dunia) membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR. Bukhari: 3791 dan Muslim: 2961)

Oleh karena itu, marilah kita hadapi semua ini dengan kuat dan optimisme yang tinggi. Kita harus yakin bahwa Allah q\ telah menentukan rezeki bagi kita semua. Allah q\ tidak akan mematikan kita sebelum rezeki yang ditentukan kepada kita telah sempurna. Firman-Nya:

وَمَا مِن دَآبَّةٍۢ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya. (QS. Hud [11]: 6)

Rasulullah n\ bersabda:

لَا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَكُنْ عَبْدٌ لِيَمُوْتَ حَتَّى يَبْلُغَ آخِرُ رِزْقٍ هُوَ لَهُ، فَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ: أَخْذِ الْحَلَالِ وَ تَرْكِ الْحَرَامِ

“Janganlah merasa rezeki kalian lambat, karena sesungguhnya tidak ada seorang hamba pun yang mati sehingga telah datang padanya rezeki terakhir yang ditentukan baginya. Karenanya, bertakwalah kalian kepada Allah q\ dan carilah cara yang baik dalam mencari rezeki, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram.” [8]

Imam Ibnu Katsir pernah membawakan sebuah kisah yang menakjubkan. Abdul Aziz al-Harrani berkata, “Suatu saat aku pernah membawa sebuah kantong berisi gandum, tiba-tiba ada seekor lebah yang mengambil sebutir gandum lalu pergi ke suatu tempat kemudian kembali lagi dan mengambil gandum lagi lalu pergi dan seterusnya. Akhirnya, saya mengikutinya ternyata lebah tersebut memberikan gandum tadi ke mulut seekor burung buta yang ada di atas pohon.” [9]

Serupa dengannya juga kisah Thahir al-Bashri ketika dia makan bersama kawan-kawan, lalu ada seekor kucing yang datang, maka dia pun melemparkan beberapa sisa makanan kepada kucing, lalu kucing itu pergi dengan cepat lalu kembali lagi dan mengambil lagi kemudian pergi lagi dengan cepat. Maka mereka pun yakin bahwa si kucing tidak makan untuk dirinya sendiri. Akhirnya mereka bersama-sama membuntuti kucing, ternyata dia pergi ke atap rumah dan memberikan makanannya kepada kucing lain yang buta.[10]

Subhanallah, kalau hewan-hewan tersebut saja mendapatkan rezeki lewat binatang lainnya, lantas kenapa kita ragu akan rezeki kita?!!

Namun, hal itu bukan berarti kita hanya berpangku tangan tanpa bergerak mencari rezeki. Tidak, sama sekali tidak, bahkan Islam menganjurkan kepada umatnya untuk bekerja dan Islam mencela pengangguran. Oleh karena itu, para nabi dan ulama juga bekerja. Di antara mereka ada yang menjadi pedagang, petani, tukang kayu, penggembala, dan lain-lain. Kemudian Islam juga menghendaki pemeluknya pintar dan tidak boros dalam pembelanjaan harta.

Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi v\ berkata, “Al-Qur’an telah menjelaskan kaidah-kaidah dalam masalah ekonomi, sebab perekonomian itu kembali kepada dua permasalahan:

  1. Pintar dalam mencari harta

Allah q\ telah membuka lebar-lebar segala pintu untuk mencari harta selagi tidak melanggar agama. Allah q\ berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًۭا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿١٠﴾

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. al-Jumu’ah [62]: 10)

  1. Pintar dalam membelanjakan harta

Allah q\ telah memerintahkan untuk hemat dan tidak boros dalam membelanjakan harta. Allah q\ berfirman menyifati hamba-hamba-Nya yang beriman:

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَ‌ٰلِكَ قَوَامًۭا ﴿٦٧﴾

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. al-Furqan [25]: 67)[11]

Mencari Kunci Rezeki yang Telah Dilupakan

Pada kesempatan ini akan kami sampaikan beberapa kunci untuk mendapatkan rezeki sebagaimana diajarkan oleh Islam karena Islam memang tidak hanya mengatur masalah ibadah semata, tetapi juga mengatur masalah dunia. Di antara kunci-kunci rezeki adalah[12]:

1.   Taubat dan istighfar

فَقُلْتُ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارًۭا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًۭا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَ‌ٰلٍۢ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّـٰتٍۢ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَـٰرًۭا ﴿١٢﴾

Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun” niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. (QS. Nuh [71]: 10–12)

Dan perlu diketahui bahwa taubat dan istighfar bukan hanya sekadar di lisan saja, melainkan meliputi penyesalan dalam hati dan tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Lisan beristighfar meminta ampun kepada Allah q\, sedang anggota badan memperbanyak amal shalih. Janganlah kita sombong, akuilah bahwa diri kita banyak melakukan dosa. Bukankah di antara kita masih banyak meninggalkan shalat lima waktu padahal perbuatan itu merupakan dosa besar?! Adakah di antara kita yang menyesal karena perbuatan dosa tersebut?!! Demi Allah q\, kemaksiatan yang kita lakukan sangat berpengaruh pada keamanan dan perekonomian bangsa.

2.   Takwa

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًۭا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS. ath-Thalaq [65]: 2–3)

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَـٰتٍۢ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَـٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ ﴿٩٦﴾

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. al-A’raf [7]: 96)

Dan maksud “takwa” adalah menjaga diri dari kemurkaan Allah q\ dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

3.   Tawakal

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ

Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS. ath-Thalaq [65]: 3)

Dari Umar bin Khaththab a\ berkata, “Rasulullah n\ bersabda, ‘Seandainya kalian bertawakal kepada Allah q\ dengan tawakal yang sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki, di waktu pagi dia pergi dalam keadaan perutnya kosong dan di sore hari pulang dengan perut yang kenyang.’ ” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dll.)

Tawakal adalah memasrahkan hati kepada Allah q\ dengan usaha. Oleh karena itu, tawakkal bukan berarti kita tidak berusaha, burung yang tawakkal bukan berarti dia hanya tinggal di sangkarnya, tetapi dia terbang dan pergi mencari makanan.

4.   Silaturrahmi

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ, أَوْ يُنْسَأَ فِيْ أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Dari Anas bin Malik a\ bahwasanya Rasulullah n\ bersabda, “Barangsiapa yang senang rezekinya diluaskan dan umurnya dipanjangkan, maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahmi.” (HR. Bukhari: 5986 dan Muslim: 2557)

Silaturrahmi adalah menyambung tali kekeluargaan, baik dengan ucapan yang baik, berkunjung ke rumahnya, mengirimi hadiah, membantu mereka dengan harta semampunya, bermuka manis ketika bertemu dengan mereka, dan sebagainya.

Masalah penting yang perlu diketahui ialah bahwa hakikat silaturrahmi bukanlah kita menyambung kepada kerabat kita yang menyambung kita, melainkan justru hakikat silaturrahmi adalah menyambung hubungan kerabat yang telah memutus hubungan dengan kita. Rasulullah n\ pernah bersabda:

لَيْسَ اْلوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ اْلوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Bukanlah orang yang menyambung tali silaturrahmi itu orang yang mengharapkan balasan, melainkan orang yang menjalin silaturrahmi itu adalah orang yang apabila diputus tali silaturrahminya maka ia menyambungnya.” (HR. Bukhari: 5991)

5.   Infaq di jalan Allah q\

وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن شَىْءٍۢ فَهُوَ يُخْلِفُهُۥ ۖ وَهُوَ خَيْرُ ٱلرَّ‌ٰزِقِينَ ﴿٣٩﴾

Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. (QS. Saba’ [34]: 39)

Yang dimaksud dengan infaq di sini adalah infaq yang dianjurkan dalam agama seperti infaq kepada orang-orang yang lemah, pembangunan masjid, dan sebagainya.

6.   Qana’ah

Sesungguhnya di antara sifat manusia adalah tamak dan merasa tidak puas dengan dunia sehingga mereka selalu merasa serba kekurangan dengan dunia (hal-hal duniawi, harta) yang telah dimilikinya. Seandainya saja dia mau memperhatikan banyak nikmat Allah q\ yang diberikan kepadanya, niscaya dia akan merasa bahwa dirinya adalah orang yang memiliki banyak harta. Maka jadilah kita wahai kaum muslimin orang-orang yang qana’ah (merasa cukup) dengan pemberian rezeki yang telah Allah q\ karuniakan kepada kita. Inilah rahasia orang kaya yang sebenarnya.

وَارْضَ بِمَا قَسَّمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ

“Bersikaplah ridha dengan pemberian Allah q\ padamu, niscaya kamu menjadi orang yang paling kaya.” [13]

Lihatlah orang-orang yang lebih bawah daripada kita, jangan melihat orang yang lebih atas daripada kita agar kita mensyukuri nikmat Allah q\ kepada kita. Bukankah banyak di antara saudara kita yang tidak bisa memakan sesuap nasi karena tidak mampu membelinya?! Atau tidak bisa memakan karena dia harus dirawat di atas ranjang?!

 

Akhirnya, marilah kita berdo’a kepada Allah q\ agar Allah q\ meluaskan rezeki-Nya yang halal kepada kita semua. Ya Allah q\, turunkanlah barokah-Mu dari langit dan bumi. Ya Allah q\, luaskanlah rezeki untuk kami dengan rezeki yang halal. Ya Allah q\, janganlah engkau sisakan sebuah dosa seorang dari kami kecuali Engkau telah mengampuninya, dan suatu hutang kecuali Engkau melunasinya, sakit kecuali Engkau menyembuhkannya, dan kesusahan kecuali Engkau memudahkannya.

 


[1]    Al-Bidayah wan Nihayah 6/81 oleh Ibnu Katsir

[2]    Idem 6/241

[3]    Idem 7/121

[4]    Atsarul Ma’ashi ’alal Fardi wal Mujtama’, Ibnu Utsaimin, hlm. 20

[5]    Manhaj al-Iqtishad al-Islami fi ’Ilaji Musykilatil Ghala’ hlm. 4–5 oleh Dr. Husian Syahatah

[6]    Al-Majmu’ah Kamilah li Muallafat Syaikh as-Sa’di 1/333

[7]    Idem 1/347–350

[8]    HR. al-Baihaqi, Ibnu Hibban, dan lain-lain; dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah: 2607

[9]    Al-Bidayah wan Nihayah 13/311

[10]  Idem 12/116

[11]  Lihat al-Islam Dinun Kamil hlm. 18–19.

[12]  Lihat pembahasannya lebih lengkap dalam Mafatih Rizqi fi Dhauil Kitab was Sunnah karya Dr. Fadhl Ilahi.

[13]  HR. Tirmidzi dan Ahmad; dihasankan Syaikh Albani dalam ash-Shahihah: 930

Viewing all 136 articles
Browse latest View live